Tuesday, December 18, 2007

Taksi

Selama ini saya banyak menulis tentang ketidak-jujuran. Kali ini saya akan menulis tentang kejujuran yang saya temui. Hebatnya, kali ini di kota yang terkenal "lebih jahat dari ibu tiri", saya menemukan kejujuran itu.

Turun dari kereta di Stasiun Gambir, seperti biasa saya nyari taksi yang ngetem. Seperti biasa juga, saya naik taksi yang memang sudah dikenal baik. Akhirnya, saya dapat sebuah taksi yang dipiloti oleh sopir dengan logat daerahnya yang kental.

Namun, tidak biasanya, saya lupa daerah tujuan. Nama gedungnya sih saya ingat, Wisma Aldiron. Tetapi saya lupa daerahnya. Padahal Pak Sopirnya lupa dengan nama gedung itu. "Daerah mana ya?". Karena lupa, jawaban saya seperti ini "Eh, mana ya? Kok saya lupa. Apa Pancoran ya?", masih dengan wajah ragu-ragu.

"Oh iya. Betul. Pancoran, pak", kata Pak Sopir, jadi ingat dengan gedung itu.

Masih dengan ragu-ragu, saya ikuti taksi berjalan. Tambah bingung juga waktu ditanya Pak Sopir, "Mau lewat mana?". "Terserah, Pak, saya juga nggak tahu. Saya nggak buru-buru kok", jawabku. Loh, kok saya bilang begitu. Semakin ketahuan dong, kalau saya benar-benar lupa dengan tujuan.

Selama perjalanan, saya benar-benar takut. Apalagi ternyata Pak Sopir mengambil jalan yang berbeda dari biasanya saya lalui. Saya seperti melewati tempat-tempat yang asing. Atau ini akibat saya lupa? Bukan sekali ini saya ke gedung itu dari Stasiun Gambir. Biasanya saya masih tetap bisa mengenali, walaupun saya lupa.

Saat mendekati Tugu Pancoran, saya baru bisa mengenali daerah itu. Dari arah datangnya taksi ke gedung, saya menyadari bahwa memang jalur yang diambil Pak Sopir taksi kali ini berbeda dengan taksi-taksi yang pernah saya pakai. Tidak heran kalau tadi saya tidak mengenali daerah-daerah yang kami lewati.

Di argo meter, saya baca harga yang harus saya bayar. Oh, segitu. Tidak jauh beda dengan sebelum-sebelumnya. Artinya, Pak Sopir tidak berniat untuk berputar-putar agar argonya bisa menunjukkan angka yang lebih besar. Mungkin maksud Pak Sopir untuk menghindari kemacetan yang sering terjadi di Jakarta. Apalagi waktu itu termasuk jam sibuk karena saatnya orang-orang berangkat ke kentor dan anak-anak sekolah berangkat ke sekolah.

"Terima kasih, Pak Sopir. Meskipun penumpangmu ini tidak tahu jalan, engkau tidak memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak."

Selengkapnya...

Tuesday, December 11, 2007

Oleh-oleh dari Jakarta/Bandung

Sambil mendengarkan musik lewat earphone, saya memperhatikan seorang penjual di Stasiun kereta. Mereka menawarkan minuman kaleng buat wisatawan asing, yang hari ini terlihat sangat banyak. Sepintas saya perhatikan jenis minumannya. Sepertinya minuman bir. Wisatawan itupun terlihat menawar harga bir kaleng tersebut. Akhirnya terjadilah transaksi jual-beli. Penjual itu sangat bergembira, terlihat dari senyum lebarnya. "Besar po untungnya?", tanya hati saya dalam logat Jawa.

Setelah beberapa saat, penjual itu berjalan ke arah penjual lainnya, yang tadi ikut bergabung dengan penjual itu saat proses tawar menawar. Sambil berjalan, penjual yang beruntung tadi melambaikan uang ribuan sebanyak 2 lembar. Kali ini saya bisa mendengar suara penjual itu karena saya melepaskan earphone yang tadi menemani. "Nih, buat uang dengar", kata penjual tadi. Wah, besar juga untungnya. Dari 2 kaleng bir itu, dia bisa memberi temannya uang dengar sebesar Rp. 2 ribu. Berarti untungnya bisa lebih dari 2 kali uang dengarnya.

Tetapi bukan kisah itu, yang jadi kisah utama tulisan saya ini. Kisah di bawah inilah yang akan jadi cerita utama.

Akhirnya, setelah lama berdiri di stasiun (kurang lebih 1.5 jam), kereta jurusan Yogyakarta, yang akan saya tumpangi (tentunya dengan bayar) tiba. Takut terpeleset karena lantai dan tangga basah oleh air hujan pagi tadi, saya berjalan hati-hati waktu naik kereta. Innalillahi, betul juga, saya terpeleset. Tapi, alhamdulillah.... seorang wisatawan asing, yang berdiri tidak jauh, dengan sigap menangkap saya dan tongkat saya. Dengan dibantu oleh wisatawan itu, saya bisa berdiri lagi dan bisa masuk kereta. "Thank you very much," kataku.

Subhanallah, lebih dari separo penumpang di gerbong yang sama denganku adalah wisatawan asing. Mereka duduk di kursi deretan terdepan. Di belakang wisatawan, ada beberapa orang Indonesia. Sepertinya pemandu wisata. Kursi saya tepat di belakang pemandu-pemandu itu.

Tanpa banyak bicara dengan penumpang sebelah, saya langsung tidur. Kira-kira sudah 3 jam berlalu setelah kereta meninggalkan stasiun, saya terbangun karena mendengar suara sendok beradu dengan piring :D. Ternyata wisatawan-wisatawan itu sedang memesan makanan. Loh, kenapa memesan? Biasanya 'kan ada makanan gratis sebagai bagian layanan.

Atau nggak ada ya? Kecewa juga, padahal waktu berangkat, saya belum makan. Perut juga sudah memanggil-manggil untuk diisi. Karena sudah tidak tahan, akhirnya saya juga memesan makan, tepatnya nasi goreng. Lebih mahal kalau dibandingkan dengan harga nasi goreng di luar kereta. Tetapi jauh lebih murah dibandingkan saya turun kereta, beli nasi goreng, dan terus beli tiket kereta yang lain lagi karena ketinggalan kereta.

Satu jam kemudian, tibalah kereta di sebuah stasiun dan berhenti. Kalau tidak salah, Stasiun Gombong. Semua wisatawan asing yang duduk di deretan terdepan turun. Akhirnya, banyak tempat duduk yang kosong, lebih dari separo.

Baru beberapa menit meninggalkan Stasiun Gombong, petugas kereta datang membagi-bagikan nasi goreng, "Nasi goreng.... layanan kereta". Nah, lo. Kenapa baru dibagikan sekarang? Biasanya 'kan dibagikan tidak lama setelah kereta berangkat dari stasiun awal? Berarti wisatawan asing tadi tidak dapat. Padahal mereka membayar tiket dengan harga yang sama dengan penumpang yang lain.

"Pindah ke depan saja, Pak. Akan kosong kok ", begitu kata petugas kereta. "Biasanya kalau hari Sabtu memang seperti ini, banyak wisatawan asing. Mereka selalu turun di Stasiun Gombong", lanjutnya. Sambil menikmati nasi goreng kedua di kereta, saya mendengarkan obrolan seorang petugas kereta dengan penumpang lain.

Ooohhh, jadi mereka sudah hapal, kalau hari Sabtu selalu ada banyak wisatawan asing yang akan turun di Stasiun Gombong. Kalaupun tidak hapal, petugas kereta pasti tahu hal itu dari tiket. Kalau petugas kereta tahu banyak yang turun di Stasiun Gombong, mengapa mereka tidak segera membagikan nasi gorengnya? Agar mereka tidak perlu beli makan, dan mendapatkan haknya. Malah akhirnya wisatawan asing itu harus mengeluarkan uang untuk beli makanan.

Untung juga, ya. Pertama, tidak perlu mengeluarkan nasi goreng. Kalau dihitung lumayan juga. Kedua, karena nasi gorengnya tidak diberikan, mereka harus beli makan. Pokoknya dua kali untung.

Sengaja? Nggak tahu. Kok pemandu wisata, yang juga orang Indonesia, diam saja? Nggak tahu juga.

Tetapi kalau itu sengaja, berarti "Dongeng Kancil" berhasil menyampaikan pesannya, "Orang pintar (lebih tahu) sudah seharusnya membodohi (membohongi) orang bodoh (orang yang tidak tahu)". Bukan pesan, "Orang pintar seharusnya memberi tahu orang bodoh agar tahu".

Selengkapnya...

Wednesday, October 3, 2007

Iklan Sirup

Mohon maaf, kalau tulisan ini di luar topik. Nggak tahan saja melihat iklan yang akan saya ceritakan ini, yang sepertinya hanya akan diputar di bulan Ramadhan. Tetapi memang adalah perlu untuk sekali-kali menulis di luar topik.

Seperti yang sudah saya singgung di awal, iklan ini tentang minuman sirup (tidak perlu saya sebutkan mereknya). Diputar di bulan Ramadhan, dan kemungkinan hanya di Bulan Ramadhan karena berdasarkan isi ceritanya.

Cerita iklan diawali dengan seorang pemuda yang sedang menyapu. Saat menyapu, dia melihat anak-anak melempari pohon rambutan milik tetangga si pemuda. Saat itu juga, pemuda tersebut meneriaki anak-anak itu dan mengusir mereka pergi. Pemuda ini termasuk orang tidak punya, sedangkan tetangga pemilik pohon rambutan adalah orang kaya.

Setelah semua anak pergi, pemuda tersebut memunguti rambutan yang sudah jatuh dan menaruhnya ke dalam keranjang bambu. Lumayan banyak juga. Selanjutnya rambutan yang sudah terkumpul diantar ke pemilik pohon. Seorang Ibu, pemilik rumah, menerima rambutan itu dengan wajah dingin sambil bilang "oooo.....". Pemuda itu meninggalkan pemilik rumah dengan wajah nyengir.

Sore harinya, ibu tadi mengirim es sirup, tentunya sirup merek iklan tsb, yang dicampur dengan rambutan ke pemuda itu. Tetap dengan wajah tanpa senyum, ibu itu memberikan es sirup tersebut (Episode yang baru, ada senyumnya). Dan tentu si pemuda menyambut dengan senyum ceria.

Ada dua hal yang perlu dicermati, pertama kenapa saat menerima rambutan ibu tadi menerima dengan wajah dingin tanpa ucapan terima kasih. Kedua si pemuda juga dengan ekspresi wajah nyengir. Intepretasi terhadap iklan ini tergantung penonton karena memang iklan tsb menggunakan bahasa tubuh.

Kalau intepretasi saya tentang ibu tadi, balasan berbentuk materi lebih penting dari non materi. Sirup sebagai simbol materi adalah yang diberikan oleh ibu tersebut. Sedangkan ucapan terima kasih yang tulus dan wajah dengan senyum adalah simbol non materi, yang tidak diberikan. Ibu tersebut lebih suka memberikan sirup daripada senyuman dan ucapan terima kasih.

Sedangkan intepretasi saya tentang pemuda tadi, saat dia membantu, dia mengharapkan sedikit rambutan diberikan ke dia. Tetapi ternyata ibu tadi tidak memberikan rambutan yang sudah dikumpulkan. Makanya wajahnya jadi nyengir. Mungkin kurang ikhlas.

Dan memang, sepertinya itu yang terjadi di masyarakat kita. Kita lebih suka memberikan balasan materi daripada non-materi terhadap orang lain yang membantu kita. Kalau dua-duanya tidak masalah. Tetapi jangan sampai yang non-materi tidak diberikan sama sekali.

Demikian juga dari sisi orang yang membantu orang lain. Janganlah kecewa kalau orang tidak memberikan penghargaan terhadap apa yang kita lakukan. Kita harus benar-benar ikhlas dalam membantu.

Kalau dari sudut pandang saya sendiri, sungguh saya sangat senang jika orang yang saya bantu berhasil. Dan, Insya Allah, tidak ada keinginan untuk mendapatkan balasan materi. Tetap menganggap saya sebagai teman dan tidak segan untuk minta bantuan lagi, sudah merupakan balasan yang sangat menyenangkan.

Selengkapnya...

Monday, September 17, 2007

Puasa Melatih Kejujuran

Tulisan ini saya ambil dari isi kutbah Jum'at di Masjd Ulil Albab, UII, tanggal 14 September 2007. Karena intinya sesuai dengan tema blok ini, maka saya tulis ulang. Tentunya, hanya isinya yang sama, sedangkan kalimat-kalimatnya berbeda dan juga lebih singkat.

Saat ini, umat Islam sedang menjalankan ibadah wajib, Puasa Ramadhan. Dalam puasa ini, setiap muslim yang berpuasa dilarang makan dan minum mulai dari terbit fajar (Subuh) sampai terbenamnya matahari (Maghrib). Terlepas dari larangan yang lain, dalam kutbah tersebut hanya membahas larangan utama tersebut.

Seperti biasa, orang tidak selamanya berkumpul dengan yang lain. Adakalanya sendiri. Di saat sendiri seperti itu, tidak ada orang yang mengawasi. Demikian juga dengan orang yang sedang berpuasa. Nah, di saat sendiri seperti itu, orang yang berpuasa akan punya kesempatan makan dan minum. Tidak sulit buat orang tersebut untuk makan dan minum sekenyang-kenyangnya, dan setelah itu orang lain juga akan tetap percaya kalau orang tersebut bilang masih sedang puasa.

Namun kenapa tidak ada orang berpuasa yang melakukan demikian? Kalaupun ada, pasti dalam hatinya orang tersebut yakin bahwa dia sebenarnya tidak puasa.

Jawabnya, karena setiap orang merasa yakin bahwa Allah SWT selalu mengawasi. Tidak ada gunanya mereka berbohong ke orang lain berpuasa, karena mereka sebenarnya tidak bisa bohong ke hati mereka sendiri dan Allah SWT.

Dengan demikian, jika kita memang benar-benar berpuasa, maka kita dilatih untuk jujur. Dan kita dilatih selama 1 bulan penuh.

Alangkah indahnya jika setiap saat, di luar bulan Ramadhan, kita juga merasakan hal yang sama. Bahwa setiap langkah dan tindakan selalu ada Allah SWT yang selalu mengawasi. Karena ada yang mengawasi, tidak akan ada kejahatan yang terkait dengan ketidakjujuran seperti korupsi, manipulasi, penipuan, pemalsuan, penggelapan, selingkuh, dll.

Selengkapnya...

Friday, August 3, 2007

Halo, Ini dengan Pak Taufiq?

Itulah ucapan pertama dari telpon seberang, yang menghubungi handphone saya. Karena memang saya yang menerima, langsung saya jawab, "betul". Meskipun saat itu, saya sedang asyik-asyiknya mendengarkan sebuah presentasi dalam acara Rapat Koordinasi Fakultas. Tambah semangat lagi menerima telpon, saat penelpon bilang, "Nomor hp milik isteri Bapak mendapat hadiah dari XXX (sebuah perusahaan telekomunikasi) sebagai pelanggan teraktif tahun 2006. Hadiah berupa uang Rp. 10 juta dan pulsa sebesar Rp. 1 juta. dst".

Sebagai pelanggan teraktif? Rasa-rasanya memang iya, karena saya termasuk rajin membayar nomor dari Kartu Pascabayar tersebut, dan selalu menghabiskan limit penggunaan :). Tetapi, saya 'kan belum setahun menggunakan kartu tersebut. Bahkan bisa dibilang, untuk tahun 2006, kami baru menggunakan 2 bulan.

Mengabaikan keheranan itu dan cerita dari teman-teman tentang penipuan, saya layani penelpon tadi. Dan penelpon tersebut menyampaikan tujuannya bahwa dia akan mengirim hadiah tersebut lewat transfer antar rekening Bank. Karena sudah sore, waktu itu sudah pukul 16.?? WIB, dia tidak bisa mentransfer ke Bank. Satu-satunya cara adalah lewat ATM.

Tambah heran dan saya mulai curiga. Jadi teringat tentang penipuan lewat SMS. Tetap mencoba mengabaikan, karena penipuan biasanya 'kan lewat SMS, tetapi saat ini lewat telpon. Saya cek nomor telpon yang tertera di HP, terbaca 021..... Belum sadar, kalau nomor itu juga bisa nomor HP, saya lanjutkan.

Penelpon tersebut akan mentransfer hadiah dengan cara, saya harus ke mesin ATM membawa kartu ATM saat itu juga karena hari itu adalah hari terakhir pengiriman hadiah. Dan lewat mesin ATM itu, penelpon akan memandu pengiriman uang. He.. he.. he.., kalau ini sih sudah jelas, penipuan. Masak mau dikirimi uang, saya yang harus ke ATM?

Namun, mendengar kemampuan bicaranya yang meyakinkan, saya sempat bingung bagaimana menutup pembicaraan. Akhirnya, dengan sedikit "menyombongkan diri", saya bilang: "Sepertinya lebih baik saya menolak hadiah ini, Pak. Karena saat ini saya sedang rapat, dan tidak ingin meninggalkannya karena memang rapat penting. ".

Dan selesailah pembicaraan karena penelpon tersebut bilang bahwa dia tidak memaksa. ....

Selengkapnya...

Thursday, August 2, 2007

Lewat jalan pintas

Untuk memperingati Hari Ulang Tahun berdirinya institusi tempat saya bekerja, diadakan lomba jalan sehat keluarga. Setiap karyawan, baik administratif maupun edukatif, dianjurkan untuk ikut dan membawa keluarga. Bagus, sih, sekaligus bisa mengakrabkan keluarga. Yang menarik adalah saat pelaksanaan lomba.

Rute jalan sehat bisa digambarkan dalam bentuk persegipanjang. Lumayan jauh dan bisa bikin kaki pegal-pegal. Dengan semangat tinggi, sebagian besar mengikuti lomba, namun ada beberapa anggota keluarga tidak ikut serta. Ya nggak masalah, karena ada anggota keluarga lain yang sudah menjadi wakilnya.

Yang jadi masalah, sebelum melewati satu sisi persegipanjang, beberapa peserta ada yang memotong rute. Mereka melewati jalan pintas, sehingga rutenya menjadi lebih pendek. Karena memang bukan acara formal KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia), tidak ada juri yang mengawasi. Tidak ada yang melarang.

Memang tidak butuh juri untuk mengawasi pelaksanaan lomba. Kita hanya butuh diri-sendiri untuk mengawasi diri kita sendiri agar tetap di jalur yang sebenarnya. Demikian itu jika kita sadar tujuan dari pelaksanaan lomba. Kalau kita tidak menyadari tujuan dari lomba, sah-sah saja kalau mau mengambil jalan pintas.

Selengkapnya...

Wednesday, April 25, 2007

"Ada penyakit di Eskrim."

Cerita tentang anak memang tidak ada habisnya. Ada saja kejadian yang menarik kita, termasuk saya. Dan juga menarik untuk ditulis di blog ini :). Dan inilah ceritanya.

Sudah jadi kebiasaan kami, bahwa kami sangat selektif terhadap makanan. Karena kami berasumsi bahwa makanan berpengaruh terhadap perkembangan fisik, yang di antaranya adalah perkembangan otak. Sehingga makanan yang mengandung zat-zat yang berbahaya, kami cegah untuk tidak masuk ke tubuh anak-anak kami. Misalnya zat pewarna tekstil, pengawet makanan, dan pemanis buatan. Karena menyesuaikan dengan bahasa anak, kami menggunakan istilah "ada penyakit" untuk menyebutkan makanan yang mengandung zat-zat berbahaya tersebut.

Untuk makanan yang menyebutkan bahan-bahan pembuatnya, tugas kami menjadi sedikit lebih ringan. Kami cukup menunjukkan bahan-bahan mana yang kami sebut sebagai "ada penyakit" tadi. Karena anak kami sudah bisa membaca, akhirnya anak kami tersebut sudah dapat memilih makanan yang aman. Dia tinggal mengecek apakah ada bahan makanan yang berbahaya, yang sudah kami sebutkan. Kalau ada bahan yang aneh, yang belum dia lihat, biasanya dia langsung menanyakan ke kami. Alhamdulillah, anak kami cukup konsisten dengan hal ini.

Sampai suatu hari, anak kami dikasih tahu temannya yang bernama Nik. Sambil berteriak dari rumahnya, Nik bilang, "Mas, katanya mamaku, eskrim itu ada penyakitnya lho", sambil menyebutkan jenis dan merek eskrim tersebut. Anak kami yang sudah sering makan eskrim tersebut menjadi kaget. Juga sambil berteriak dari rumah, anak kami dengan yakin bilang bahwa eskrim tersebut tidak ada penyakitnya karena dia sudah baca sendiri bahan makanan yang terkandung di dalam eskrim tersebut.

Memang istilah "ada penyakit" sudah digunakan anak kami ke teman-temannya. Sehingga istilah tersebut sudah terbiasa dipakai untuk menyatakan bahan makanan berbahaya.

Akhirnya, adu mulut pun terjadi, mempertahankan pendapatnya. Anak kami tetap pada pendapatnya karena sudah baca sendiri. Sedangkan si Nik mempertahankan pendapatnya karena mamanya yang ngasih tahu.

Isteri saya yang berada di dalam rumah tidak berani keluar karena pada saat itu mama si Nik ada di situ. Padahal anak kami sudah sampai bilang bahwa mama Nik berbohong. Artinya, anak kami berani bilang bahwa mama Nik bohong di depan orang yang dimaksud.

Bingung juga kami menjelaskan. Karena esok harinya, anak kami minta dibelikan eskrim yang dimaksud untuk membuktikan bahwa dia benar. Setelah kami belikan, dengan menyebutkan satu-persatu ke kami, anak kami menanyakan apakah ada bahan yang berbahaya. Dengan yakin pula, kami menjawab, memang tidak ada satupun dari bahan yang disebutkan tadi, terdapat bahan berbahaya.

Benar-benar bingung, bahan mana sih yang menurut mama Nik adalah berbahaya?

Selengkapnya...

Sunday, April 8, 2007

Rejeki, Amanah, atau Ujian?

Beberapa hari ini saya mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-teman, baik dari teman-teman dosen dan peneliti maupun dari rekan-rekan mahasiswa. Ucapan selamat tersebut berkaitan dengan diterimanya proposal penelitian saya, yang selanjutnya akan didanai oleh Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) - Depdiknas. Pendaanaan itu disebut sebagai hibah. Penelitian tersebut saya rencanakan selama 3 tahun, yang tiap tahunnya membutuhkan dana sekitar Rp. 40 jt.

Alhamdulillah, itu yang terucap pertama kali. Ada 2 hal yang memang harus saya syukuri. Pertama, saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian secara resmi. Memang, penelitian tidak resmi sudah sering saya lakukan. Saya sebut tidak resmi karena memang tidak terdaftar di manapun, dan tidak terjadwal. Istilahnya, semau gue lah. Kalau mau saya lanjutkan, saya lanjutkan. Kalau tidak mau, ya saya tinggalkan. Dan juga bersifat insidentil, misalnya kalau ingin membuat paper atau ada mahasiswa yang mencari judul tugas akhir. Namun untuk penelitian ini, saya tidak bisa berbuat seperti itu.

Kedua, ada limpahan rejeki. Sebagian dari dana yang saya ajukan tadi adalah honorarium untuk peneliti, termasuk saya sebagai peneliti utama. Sedikit buka rahasia, sekitar 15% dari dana tersebut akan masuk ke kantong saya. Tidak besar sih, jika dibandingkan dengan penghasilan mengerjakan proyek dari luar institusi. Tetapi kepuasan meneliti memang tidak bisa diganti dengan uang. Apalagi jika hasilnya dapat dimanfaatkan oleh orang banyak.

Namun, ada yang tidak boleh dilupakan. Dana hibah tersebut adalah dana bantuan dari pemerintah lewat Dikti, bertujuan untuk membantu peneliti agar dapat melakukan penelitian dan menghasilkan produk yang berguna. Berarti peneliti sudah diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola uang negara untuk kepentingan penelitian. Karena pemerintah adalah kepanjangan tangan rakyat, berarti saya juga sudah diberi kepercayaan oleh rakyat.

Sebuah amanah yang tidak ringan. Dengan kepercayaan itu, saya dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan penelitian sehingga penelitian saya berhasil. Memang keberhasilan penelitian ditentukan oleh Yang Di Atas. Namun, saya punya kewajiban untuk berusaha, tetap konsisten, dan tentunya tidak lupa berdoa agar berhasil. Ada ratusan juta manusia yang akan meminta pertanggung-jawaban ke saya. Kalau tidak bisa di dunia, pasti bisa diminta di alam yang lain.

Selain itu, penggunaan dana juga harus selalu saya ingat. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, dari sekian juta dana yang saya usulkan, 15% adalah gaji saya dan sisanya untuk keperluan penelitian. Berarti 85% bukan uang saya, yang sekarang ada di tangan saya. Jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan honorarium saya.

Sangat memungkinkan, seandainya saya mengubah proporsi tersebut, tanpa sepengetahuan Dikti. Caranya juga tidak sulit, yaitu dengan memanipulasi laporan akhir tahun, yang setiap tahun akan saya buat. Contohnya adalah memanipulasi pengeluaran. Misalnya, saya membeli sebuah alat dengan harga Rp. 10 jt, tetapi saya minta ke tokonya untuk membuat bon pembelian dengan harga yang lebih tinggi, misal Rp. 14 jt. Artinya, uang yang saya keluarkan Rp. 10 jt, tetapi saya laporkan Rp. 14 jt. Benarkah cara yang demikian? Menurut saya, itu tidak benar. Tidak perlu sulit-sulit untuk mencari alasan bahwa itu tidak benar, yaitu Tidak Jujur.

Jadi, manakah yang tepat menggambarkan hibah? Rejeki, amanah, atau ujian?

Selengkapnya...

Thursday, April 5, 2007

Masalah Nama Samaran

Kemarin sore, bertemu dengan Pak T. Pak T ini saya singgung pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Daging Korban". Saat bertemu kemarin, beliau membahas tentang orang-orang yang terkait dalam tulisan, yang nama-namanya selalu saya samarkan, termasuk Pak T. Beliau mempermasalahkan nama-nama yang selalu saya samarkan tersebut. Padahal, masih menurut beliau, blog ini 'kan bicara tentang kejujuran, kok nama-namanya malah tidak jujur.

Memang benar apa yang Pak T sampaikan. Tetapi, Insya Allah, penyamaran ini hanya masalah privasi. Bahwa tokoh-tokoh yang muncul, harus dilindungi kerahasiannya. Menurut saya memang itu kode etik dalam jurnalisme. Apalagi blog ini bersifat global, dimana setiap orang bisa membaca blog saya.

Blog ini memang saya setting agar semua orang bisa membaca, tanpa perlu saya daftarkan ataupun menjadi anggota blogspot. Resikonya, setiap orang, tanpa perkecualian, akan dapat mengkases. Sebagai bentuk tanggung jawab, adalah kewajiban saya untuk merahasiakan tokoh-tokoh yang saya munculkan.

Selain itu, penekanan untuk setiap tulisan saya adalah perbuatannya, bukan pada pelakunya. Dan Insya Allah, kejadian dan pelaku adalah benar-benar ada. Tidak ada yang fiktif.

Namun, saya ucapkan terima kasih atas masukan Pak T. Dan atas masukan itu, akan ada perubahan pada blog ini, yaitu kemungkinan penulisan nama-nama sebenarnya. Tentunya setelah mendapat ijin dari yang bersangkutan. Contohnya adalah Pak T, yang nama sebenarnya adalah Pak Tito Yuwono, Dosen Teknik Elektro, Universitas Islam Indonesia.


Terima kasih, Pak Tito. Jazakallahu khairan katsiira...

Selengkapnya...

Wednesday, April 4, 2007

Harga-harga Psikologis

Sebenarnya sudah cukup lama saya ingin menulis ini. Namun, karena kesibukan baru kesempatan kali ini saya bisa menulisnya.

Kalau kita ke toko, supermarket, atau pusat-pusat perbelanjaan, tentunya sudah biasa menjumpai harga-harga yang tidak bulat. Harga-harga itu ada kemungkinan tidak bisa dibayar dengan uang pas. Sebagai contoh adalah Rp. 1580. Harga itu tidak mungkin dibayar dengan uang pas karena tidak ada receh Rp 10, misalnya. Demikian juga kalau dibayar Rp. 1600, pasti tidak ada uang kembalian. Untungnya, pihak toko tidak mau dibayar kurang, maunya tetap dibayar lebih, yaitu Rp. 1600. Kalau total belanjaan sedikit, presentasi uang yang kita bayar di luar harga barang yang kita beli, akan besar. Tetapi kalau total belanjaan kita banyak, memang tidak akan terasa.

Keuntungan yang bisa didapatkan pembeli, jika harga setiap barang itu lebih murah dari toko lain maka akan terasa hemat. Namun hal itu berlaku jika belanjaan banyak. Kalau tidak, akan sama saja, karena tidak adanya uang kembalian.

Keuntungan buat penjual, dengan harga yang lebih murah, akan menarik pelanggan. Meskipun selisihnya mungkin hanya beberapa rupiah. Sebagai contoh, harga di toko lain Rp. 2000, sedangkan di toko kita adalah Rp. 1980. Sekilas, pembeli akan melihat harga di toko kita lebih murah, yaitu sekitar seribuan. Sedangkan di toko lain, harganya sekitar dua ribuan. Meskipun nanti pada akhirnya, uang yang dibayarkan akan sama, karena tidak adanya uang kembalian.

Selain masalah harga tersebut, yang saya sebut sebagai pemanfaatan faktor psikologis, konon katanya harga tersebut juga untuk mengakali pajak. Mungkin benar, mungkin juga tidak. Karena tidak mungkin dengan selisih beberapa rupiah, pajaknya akan beda. Maksud saya dengan perbedaan di sini adalah perbedaan prosentase pajak.

Terlepas motivasi di belakang harga-harga itu, konsentrasi pembahasan saya sebenarnya bukan pada 'kita sebagai pembeli', namun lebih ke seandainya 'kita sebagai penjual'. Kalau kita sebagai pembeli, pasti setiap orang setuju tidak akan mempermasalahkan kelebihan yang kita bayarkan karena nilai itu terlalu kecil.

Namun, jika kita sebagai penjual maka sebenarnya kita telah melakukan kebohongan yang sangat besar, yang kita lakukan terhadap banyak orang. Kita telah melakukan pemaksaan setiap orang untuk membayar di luar dari harga yang seharusnya sudah disepakati. Harga yang sudah disepakati adalah harga yang tertulis di produk. Pada saat pembeli memilih barang yang akan dibeli, sebenarnya pembeli dan penjual sudah sepakat tentang harga. Namun kesepakatan itu kita langgar dengan pembayaran yang lebih karena alasan tidak ada uang kembalian.

Kenapa itu kebohongan? Karena pada saat kita menentukan harga itu, kita sudah tahu bahwa tidak mungkin pembeli akan membayar dengan uang pas. Dan harga itu harus dibulatkan ke atas tergantung uang terkecil yang beredar.

Fenomena yang lain, pembulatan tidak hanya ke uang terkecil. Sebagai contoh adalah uang Rp. 50 dan Rp. 100. Meskipun uang kecil tersebut masih ada, namun kadang-kadang pembulatan ke atas dilakukan ke ribuan terdekat. Alasannya sama, tidak ada uang kembalian. Seandainya kita penjual, kalau harga kita kemungkinan besar akan memunculkan kembalian dalam recehan tersebut, maka kita wajib menyediakan recehan itu sebanyak mungkin.

Saya teringat waktu belanja alat elektronik di Jerman. Barang-barang yang mereka jual sebagian berharga ratusan Euro. Karena masalah pajak, ada harga-harga yang memunculkan kembalian hanya 10 sen. Tetapi ternyata mereka juga menyediakan recehan tersebut.

Ada 2 hal yang memalukan saya. Sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah atheis, sedangkan kita mengaku beragama. Namun ternyata mereka lebih jujur. Mereka memiliki penghasilan yang lebih besar dari kita. Namun ternyata mereka (pembeli dan penjual) lebih perhatian terhadap uang kecil mereka dan tidak meremehkannya.

Terakhir, seandainya kita penjual, kita tidak seharusnya menjual pulsa Rp. 50.000 dengan harga Rp. 49.500, kalau kita tidak punya uang receh Rp. 500. Karena itu benar-benar kebohongan yang nyata.

Selengkapnya...

Tuesday, January 23, 2007

Daging (lagi) 'Sapi'

Yang saya ceritakan ini adalah kejadian yang dihadapi isteri saya langsung, bukan dari TV, yang telah memberitakan hal yang sama beberapa waktu lalu. Terjadi di kampung halaman isteri saya, di kota kecil yang bernama Magetan. Kejadian ini sudah berlangsung lama, mulai dari isteri saya masih SD sampai sekarang.

Salah seorang tetangga orang tua isteri saya memiliki profesi sebagai penjual daging, yang sekaligus memiliki tempat pemotongan sendiri. Tetangga itu adalah muslim, dan tinggal di lingkungan muslim juga.

Daging yang biasa mereka jual biasanya tidak dipasarkan di kampung kami, melainkan ke luar kampung. Seluruh tetangga tahu bahwa sebagian besar daging yang dijual adalah daging babi. Karena mereka muslim, tentunya tidak mau membeli daging dari tetangga tersebut, yang selanjutnya saya panggil sebagai Bu X.

Bu X mencampur daging babi itu dengan daging sapi. Sebelum dicampur, daging-daging babi itu dilumuri dengan darah agar terlihat merah seperti daging sapi. Meskipun begitu, tetangga tetap tahu karena mereka tidak mungkin menyembunyikan babi-babi hidupnya yang belum disembelih. Maka kemungkinannya hanya satu, dijual di luar kampung.

Bagi muslim, sudah jelas tertulis dalam Kitab Suci-nya bahwa memakan daging babi itu dilarang. Dan muslim juga meyakini bahwa ajaran muslim itu sebenarnya untuk semua umat manusia. Artinya, kalau seorang muslim dilarang makan daging babi maka dia juga dilarang memberikan daging babi ke orang lain untuk dikonsumsi, apapun agamanya. Kalau memberi saja dilarang, maka menjual pun dilarang.

Lebih parah lagi kalau menjualnya tidak terang-terangan, artinya tidak pernah menyebutkan bahwa daging yang dijual itu adalah daging babi. Dan jauh lebih parah lagi, jika daging itu disebutkan sebagai daging sapi.

Selengkapnya...

Daging Korban

Rekan kerja, yang juga tetangga beda RT, berkunjung ke tempat saya. Sebut saja Pak T. Seperti biasa, kunjungan ini hanya dalam rangka silaturahmi saja. Meskipun begitu, ternyata obrolan yang terjadi sangat luas, mulai dari masalah di tempat kerja sampai kegiatan di kampung. Kegiatan terakhir di kampung, dengan Pak T ini sebagai salah satu panitianya, adalah mengelola binatang korban. Kegiatan ini sebagai bagian dari acara keagamaan dalam Agama Islam pada hari besar Idul Adha.

Saat isteri saya menghidangkan minuman, Pak T bertanya ke isteri saya, "Daging korbannya dimasak apa, Bu?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, kami kaget karena kami merasa tidak mendapat daging korban. Sebelum mendapat pertanyaan dari Pak T ini kami sebenarnya biasa-biasa saja waktu tidak mendapat daging korban. Apalagi pemahaman kami selama ini daging korban hanya diberikan ke keluarga tak mampu. Dan Alhamdulillah, kami sudah cukup mampu sehingga tidak perlu mendapat daging korban.

Tetapi dari Pak T, saya mendapat pemahaman baru bahwa sebenarnya yang berhak mendapat daging korban tidak hanya keluarga yang tidak mampu. Kalau semua keluarga tidak mampu sudah mendapat daging korban, keluarga yang tergolong mampu pun akan mendapatkannya.

Sebagai panitia, Pak T mengetahui dengan pasti bahwa nama saya terdaftar sebagai penerima daging korban. Pak T sendiri sudah menanyakan ke pelaksana pembagian daging korban apakah saya sudah mengambil daging korban karena sampai sore saya tidak terlihat. Waktu itu kami memang jalan-jalan ke Galeria Mall, memberi kesempatan anak saya untuk main. Pak T mendapat jawaban bahwa daging korban saya sudah diambilkan oleh seseorang.

Tentu saja kami bertambah kaget. Kami tidak menerima daging korban tersebut. Tambahan lagi, pagi harinya kami tidak mendapat surat untuk pengambilan daging korban. Kalau kami mendapat surat itu, pasti kami akan mengambilnya.

Jika ada keterangan yang berbeda seperti kasus itu, ada 2 kemungkinan, salah satu bohong atau semuanya bohong. Ada 3 kemungkinan pelaku dan kebohongan yang dilakukan:
  • Saya dan isteri, sebenarnya sudah dapat tetapi bilang tidak dapat
  • Orang yang mengambilkan, mengambilkan ternyata diambil sendiri
  • Panitia pelaksana, sebenarnya belum ada yang mengambil

Dan Alhamdulillah, saya dan isteri saya tidak berbohong.

Daging korbannya sendiri bukan hal yang penting buat saya. Yang menjadi pertanyaan penting buat saya, dalam acara ritual keagamaan saja masih ada yang tidak jujur. Apalagi dalam acara korban seperti itu, yang memegang amanat dari orang-orang yang telah menyerahkan binatang korban. Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan yang lain?

Selengkapnya...

Monday, January 22, 2007

SIM Buat Spongebob

Sambil menemani anak pertama - yang masih duduk di bangku TK - sedang sarapan pagi, saya ikut menonton TV. Acara yang kami tonton pada pukul 06 pagi adalah film seri kartun berjudul SPONGEBOB SQUAREPANTS. Terjemahan bebas dari judul film tersebut adalah Spongebob Si Celana Kotak. Bagi yang pernah menonton dalam Versi Bahasa Jerman, judulnya diterjemahkan menjadi SPONGEBOB SCHWAMPKOPF (Spongebob Si Otak Cerdas).

Saya tidak tahu apakah episode yang saya ceritakan ini memang oleh penulisnya ditujukan untuk memuat pesan moral. Pesan moral yang saya tangkap, yang kebetulan berkaitan dengan blog saya.

Ceritanya berawal dari keinginan Spongebob untuk bisa mengendarai mobil, atau tepatnya kapal, karena Spongebob hidup di dasar laut yang bernama Bikini Bottom. Selanjutnya Spongebob mengikuti kursus milik Nyonya Puff (semoga penulisannya benar). Mungkin sudah aturan di Amerika Serikat, tempat film kartun Spongebob dibuat, bahwa yang mengeluarkan SIM Kapal adalah guru yang mengajar di tempat kursus. Tentunya SIM bisa diberikan setelah lulus test yang diadakan oleh guru tersebut.

Setelah mengikuti kursus beberapa kali, yang setiap kursus selalu diakhiri dengan test, Spongebob tidak pernah lulus. Test mengendarai kapal ini terdiri dari 2 jenis test, test tulis dan test praktik mengemudi. Test praktik mengemudi adalah test yang paling berat buat Nyonya Puff. Setiap kali test mengemudi, Nyonya Puff harus duduk di samping pengemudi, dengan pengemudi tentunya adalah Spongebob. Saya sebut berat karena test selalu berakhir dengan kecelakaan yang berat, yang mengakibatkan Nyonya Puff harus dirawat di Rumah Sakit.

Mungkin karena sudah bosan mengalami kecelakaan, Nyonya Puff berusaha untuk meluluskan Spongebob. Agar Spongebob tidak curiga, Nyonya Puff berkata bahwa kelulusan test hanya bisa didasarkan pada test tulis. Test tulisnya pun dibuat sangat mudah dengan 1 pertanyaan, yaitu 'Sebutkan apa yang diperoleh Spongebob selama mengikuti kursus?'. Meskipun Spongebob tidak bisa menjawab, Nyonya Puff tetap meluluskan Spongebob, yang artinya Spongebob mendapatkan SIM.

Nyonya Puff sadar bahwa sebenarnya dia telah berbohong. Yang lebih mengerikan, ia sadar bahwa sebenarnya dia telah menciptakan monster dengan kebohongan itu, monster jalanan. Untuk menutupi rasa bersalah, Nyonya Puff menghibur diri bahwa itu tidak mungkin karena Spongebob tidak punya kapal. Baru saja berpikir seperti itu, orang tua Spongebob datang untuk mengucapkan terima kasih dan sekaligus memberi kabar tentang hadiah kapal baru yang diberikan ke Spongebob.

Nyonya Puff benar-benar sadar bahwa dia telah menciptakan monster. Agar tidak terjadi, Nyonya Puff berencana untuk mencuri kapal Spongebob. Namun, saat mencuri, Nyonya Puff ketahuan dan tertangkap. Akhir cerita, Nyonya Puff dipenjara.

Ada bagian yang tidak bisa saya ceritakan di tulisan ini karena sulit digambarkan dengan kata-kata. Lebih seru kalau menonton filmnya langsung. Misalnya, bagaimana bayangan-bayangan jelek yang akan terjadi jika Spongebob berada di jalanan, dan serunya perebutan kapal antara Nyonya Puff dan Spongebob. Semuanya berawal dari ketidak-jujuran Nyonya Puff.

Selengkapnya...

Virus Kepalsuan

Tulisan ini saya sadur dari Kolom Analisis, harian Kedaulatan Rakyat, yang dimuat pada tanggal 22 Januari 2007. Tulisan tersebut ditulis oleh Bambang Purwoko, dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM, Yogyakarta. Kalau apa yang dilansir Pak Bambang ini benar adanya, sudah saatnya kita melakukan introspeksi.

Virus Kepalsuan
Oleh: Bambang Purwoko

Ada banyak cara untuk melihat watak dan perilaku masyarakat Indonesia. Film dan sinetron adalah salah satunya. Jika film dan sinetron kita lebih banyak berisi adegan kebohongan, sedangkan penonton pun senang dan menikmatinya, berarti kita hidup di tengah masyarakat penikmat kepalsuan. Atau bahkan diri kita adalah bagian dari kepalsuan itu. Penyakit akut virus kepalsuan sudah menjalar di mana-mana.

Kepalsuan dan kebohongan menjadi watak kehidupan di hampir semua bagian. Banyaknya kecelakaan mengerikan pada sarana transportasi massal dalam beberapa tahun terakhir adalah produk dari kepalsuan. Pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus kota, angkutan kota, dan sarana transportasi lain banyak yang sudah tidak layak jalan. Tetapi lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas tidak hirau dengan masalah itu. Surat izin kelayakan tetap saja dikeluarkan. Surat izin kelayakan palsu, tentu saja. Negara mengalami impotensi dan tidak mampu melindungi masyarakat dari bobroknya sistem dan sarana tranportasi. Negara juga impoten di bidang yang lain.

Gaya hidup modern, pertumbuhan ekonomi, bahkan perilaku religius pun ditampilkan penuh kepalsuan. Di bidang politik, kepalsuan terjadi secara lebih menggila lagi. Pembuatan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, sampai ke Peraturan Menteri adalah contoh betapa kepalsuan telah merasuk di level elite sehingga berdampak pada semakin rusaknya kehidupan masyarakat.

Dalam bayangan kita sebagai masyarakat awam, UU, PP, atau Peraturan Menteri adalah kebijakan publik yang dibuat berdasarkan norma-norma ideal untuk kepentingan masyarakat. Para pembuat kebijakan diasumsikan adalah mereka yang memiliki kepribadian dan orientasi yang selalu didedikasikan untuk rakyat. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Undang-undang, PP, dan sejenisnya adalah produk permainan dan rebutan kepentingan ekonomi politik para elite. Peraturan perundang-undangan lebih banyak dibuat berdasarkan kepentingan dan kebutuhan para pembuatnya. Bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Munculnya isu dan pelicin Rp. 2,5 M dari Asosiasi DPRD untuk memuluskan pasal 'rapelan' dalam penyusunan PP 37/2006 sebenarnya bukanlah hal yang mengagetkan. Selama ini, proses penyusunan UU selalu sarat dengan tudingan jual beli pasal. Masyarakat sudah lama tahu bahwa harga atau biaya pengesahan sebuah pasal dalam UU bisa mencapai jutaan rupiah untuk satu anggota legislatif. Artinya, biaya pembuatan UU mulai dari proses penyusunan, pembahasan sampai pengesahan bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Terkatung-katungnya proses penyusunan dan pembahasan RUU Keistimewaan DIY selama bertahun-tahun, bisa jadi, juga disebabkan oleh tidak kuatnya dukungan anggaran bagi RUU tersebut.

Biaya yang besar dalam pembuatan Undang-undang mengindikasikan dua hal penting. Pertama, para pembuat kebijakan menganggap bahwa pembuatan UU adalah sebuah proyek yang bisa dimanipulir untuk meraup keuntungan finansial, baik untuk pribadi maupun kelompok politiknya. Kedua, karena titik berat orientasi pembuatan UU lebih pada keuntungan finansial, perhatian terhadap substansi materi dan kebutuhan masyarakat sebagai subjek yang diatur tidak dianggap sebagai hal penting.

Adalah keliru kalau kita membayangkan bahwa mereka yang berada di pusat kekuasaaan (baik eksekutif maupun legislatif) adalah mereka yang peduli kepada rakyat. Juga keliru kalau orang daerah berharap bahwa pejabat-pejabat di Jakarta adalah meereka yang selalu memikirkan dan bekerja untuk memajukan daerah. Walaupun bekerja di Departemen atau Direktorat yang mengurusi daerah, mereka bahkan tidak sepenuhnya paham berbagai persoalan di daerah. Apalagi berpikir dan bertindak untuk memajukan daerah.

Anggota legislatif di pusat kebanyakan hanya sibuk mengurusi masalah-masalah yang sekiranya membawa keuntungan bagi dirinya selama masa kerjanya yang lima tahun, atau membawa keuntungan jangka panjang bagi partainya. Beberapa teman anggota DPR mengeluhkan kinerja koleganya secara umum. Baik karena alasan sistemik ataupun karena keterbatasan individu. Sebagian besar anggota DPR tidaklah bekerja untuk rakyat. Mereka sibuk dengan urusan-urusan sendiri.

Bagaimana kita harus menyikapi masalah-masalah ini? Pastilah kita sepakat bahwa virus kepalsuan harus diberantas tuntas. Tetapi, darimana harus mulai? Tidak ada solusi yang mudah untuk jangka pendek. Penguatan kesadaran politik rakyat menjadi salah satu aspek penting. Kalau politisi-politisi kita di lembaga legislatif tidak berpihak kepada rakyat, solusinya ya jangan pilih partainya. Bagaimana dengan mereka yang duduk sebagai pejabat di departemen-departemen pemerintah? Kita hanya berharap bahwa presiden (dan para stafnya yang kompeten dan berdedikasi pada semua level) bisa segera merealisir janjinya untuk bersikap lebih tegas lagi dalam manajemen pemerintahan dan pelayanan publik.

Selengkapnya...

Friday, January 19, 2007

Politisi, Peneliti, dan Dosen

Apa sih perbedaan antara Politisi, Peneliti, dan Dosen? Salah satu dosen saya, waktu masih kuliah S1, menjawab dengan tegas. Menurut beliau, perbedaan antara ketiga profesi itu adalah:
  • Politisi : boleh salah dan boleh bohong
  • Peneliti : boleh salah, tetapi tidak boleh bohong
  • Dosen : tidak boleh salah, dan tidak boleh bohong.
Yang dimaksud oleh dosen saya tadi, tentunya berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan, bukan pada individu-individunya. Di luar pekerjaannya, sah-sah saja setiap individu melanggar jawaban dosen saya tadi.

Saya tidak akan mengulas tentang politisi lebih detail karena saya tidak kenal profesi tersebut. Tetapi kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Sebagai contoh dalam kondisi perpecahan antar golongan. Agar bisa mendamaikan, besar kemungkinan seorang politisi harus berbohong. Istilah politis-nya bermuka 12. Pada satu golongan, dia harus berpura-pura seolah-olah mendukung, atau setidak-tidaknya simpati agar bisa diterima. Kalau tidak, pasti akan ditolak mentah-mentah. Demikian juga pada golongan lain. Setelah semua golongan menerima, proses pendamaian baru bisa dilakukan.

Dalam hal berbuat salah, politisi pun diperbolehkan. Sering kita dengar istilah salah kebijakan. Seorang politisi, sesuai dengan posisinya, memang bisa salah dalam membuat kebijakan. Kesalahan itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan hukum sehingga tidak bisa dihukum. Dan politisi berhak untuk bilang 'bisa diperbaiki tahun depan' atau 'jangan serahkan posisi yang sama ke saya lagi'.

Saya tidak tahu, atau dalam kapasitas yang sesuai, untuk menilai apakah kedua sifat itu baik. Yang bisa saya pastikan hanyalah bahwa sifat itu jelek jika selalu dibawa politisi di mana pun dia berada, di luar aktifitas sebagai politisi.

Sebelum dibahas lebih jauh, perlu saya tekankan bahwa kata yang digunakan untuk membedakan ketiga profesi tersebut adalah boleh dan tidak boleh. Boleh bukan berarti harus. Boleh berbohong, misalnya, bukan berarti harus selalu berbohong. Sedangkan tidak boleh berarti harus dihindari.

Profesi beriktunya adalah peneliti. Buat peneliti memang bisa saja berbuat salah. Misalnya karena kesalahan prediksi (hipotesa) atau teori yang dipakai. Namun, seorang peneliti dituntut untuk menyampaikan hasil penelitiannya apa adanya, tidak boleh bohong dan tidak ada yang disembunyikan, meskipun hasilnya salah. Apapun hasil penelitian, baik salah maupun benar, pasti ada manfaatnya, terutama buat penelitian selanjutnya atau penelitian lainnya.

Yang akan saya sampaikan adalah contoh yang berkaitan dengan hal itu. Seorang mahasiswa meneliti hubungan antara lama kerja polisi dengan kadar karbonmonoksida dalam darah. Karbonmonoksida adalah gas buangan dari kendaraan bermotor. Dugaan awal, memang ada kaitan positif antara kedua variabel, dengan asumsi karena sudah lama bekerja, polisi banyak menghirup udara yang terpolusi dengan karbonmonoksida. Asumsi yang logis. Namun, setelah dilakukan penelitian, ternyata tidak selalu demikian. Artinya, dugaan awal adalah salah.

Meskipun salah, tetapi kalau disampaikan apa adanya, penelitian berikutnya dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Misalnya menambah variabel yang lain. Atau justeru dapat meneliti adanya kemungkinan penetralisir karbonmonoksida dalam darah, misalnya dari makanan/minuman yang dikonsumsi atau olahraga/gerak yang dilakukan oleh polisi.

Yang paling berat, adalah profesi dosen. Seorang dosen memang tidak diperbolehkan memberikan materi yang salah. Alasannya sederhana, jika materi yang disampaikan salah maka kesalahan tersebut akan dapat melekat terus ke anak didik.

Salah saja tidak boleh, apalagi berbohong karena berbohong akan menghasilkan materi yang salah. Misalnya, materi yang benar bilang bahwa 'binatang sapi memiliki 4 kaki'. Sebenarnya dosen menguasai materi tersebut, tetapi kemudian dosen berbohong dan bilang bahwa 'binatang sapi memiliki 3 kaki'. Jelas hasilnya akan berbeda dan salah.

Contoh yang lain, dosen sebenarnya tidak tahu, baik dari buku maupun pengamatan langsung tentang jumlah kaki binatang kaki seribu. Kemudian ditanya anak didik. Karena malu dianggap tidak bisa, dosen tersebut menjawab sekenanya. Ada 2 kemungkinan, jawaban dosen tersebut benar atau salah. Kalau benar, bisa jadi tidak apa-apa. Kalau salah, bisa memalukan anak didiknya kalau ditanya orang lain. Bahkan kemungkinan salahnya lebih besar dari kemungkinan benarnya. Bukankah lebih baik kalau dijawab 'tidak tahu' atau 'belum menemukan referensi'?

Meskipun paling berat, ternyata dosenlah yang paling beruntung. Dalam profesinya, seorang dosen bisa dipastikan juga seorang peneliti. Dan kedua profesi tersebut menuntut untuk tidak berbohong. Artinya, sebagian besar waktu dosen diharuskan untuk berkata sejujurnya.

Kalau boleh saya perinci, keuntungan yang dimiliki oleh dosen adalah
  1. Mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk tidak berbohong karena waktu luang di luar kerja (setelah dikurangi waktu tidur) lebih sedikit dibandingkan waktu kerja.
  2. Mempunyai kesempatan berlatih berkata jujur. Latihan apapun jika dilakukan dengan benar akan membuat penguasaannya menjadi sempurna.


Jadi, saya ucapkan selamat buat orang-orang yang memiliki profesi sebagai dosen, termasuk bapak dan ibu guru. Semoga kesempatan latihan yang diberikan benar-benar bisa meningkatkan penguasaan, yang pada akhirnya dapat diterapkan di kehidupan di luar waktu kerja.

Namun, itu berlaku jika dosen (guru) menyadari sepenuhnya tentang profesi dosen.

Selengkapnya...

Wednesday, January 10, 2007

Kancil dan Anjing

Barusan anak pertama saya menunjukkan buku-buku yang dia beli di sekolah. Kalau bisa disebut sebagai 'beli' karena anak saya belum bayar. Memang kadang-kadang anak saya membeli buku di counter buku sebuah penerbit yang ditempatkan di sekolah. Mereka mengijinkan anak-anak untuk membeli buku dengan pembayaran ditunda keesokan harinya. Contohnya adalah anak saya yang memang tidak mungkin kami beri uang saku, yang besarnya cukup untuk membeli sebuah buku sekalipun. Kami biarkan anak saya melakukan itu, dengan tujuan agar senang membaca buku, apalagi jika dia sendiri yang memilih dan membelinya. Dan juga kalau misalnya kami tidak cocok, buku tersebut bisa dikembalikan keesokan harinya.

Salah satu buku yang dia beli berjudul "Dongeng sebelum tidur". Sesuai dengan judulnya buku ini berisi dongeng-dongeng untuk pengantar tidur. Sebagian dongeng-dongeng tersebut pernah dibacakan ayah saya waktu saya masih kecil. Yang menarik perhatian saya saat ini adalah dongeng fabel tentang kancil, khususnya yang berjudul Kancil dan Anjing.

Ringkasan dari cerita tersebut adalah sebagai berikut:
Pak Tani berhasil menangkap kancil, yang beberapa hari ini telah mencuri mentimun-mentimun di kebunnya. Kancil itu dikurung di sebuah sangkar, dan rencananya akan disembelih untuk dimasak sate. Maka pergilah Pak Tani ke pasar untuk membeli bumbu-bumbu.
Saat Pak Tani pergi, datanglah anjing ke tempat kancil dikurung. Karena heran, si anjing bertanya kepada kancil kenapa dia berada di sangkar. Maka berkatalah si kancil: "Apakah engkau tidak tahu bahwa saya akan dijadikan menantu Pak Tani. Dan saat ini Pak Tani sedang mempersiapkan pesta perkawinan saya dengan anaknya itu".
Selanjutnya terjadilah percakapan yang seru akibat perkataan si kancil tersebut. Si anjing merasa bahwa dia lebih berhak menjadi menantu Pak Tani karena sudah lama bekerja membantu di situ, dan meminta si kancil agar dia dapat memberikan posisinya. Tentunya si kancil tidak akan mudah melepaskan posisinya. Tetapi karena terus didesak, akhirnya si kancil merelakan tempatnya.
Si kancil dilepas oleh si anjing, sedangkan si anjing masuk sangkar. Saat Pak Tani pulang, terkejutlah dia melihat bahwa si kancil telah hilang dan digantikan oleh si anjing. Akhir cerita, si kancil gembira karena terbebas dari kematian, sedangkan si anjing mendapat hukuman dari Pak Tani.

Memang banyak nasehat yang diberikan oleh dongeng tersebut, yang diharapkan dapat diserap oleh anak-anak yang mendengar dan membacanya. Namun, jika tanpa diarahkan oleh buku/orang tua, mana yang akan ditiru oleh anak-anak, kancil atau anjing? Dilihat dari akhir cerita, pasti anak-anak akan meniru kancil karena hanya kancil yang bahagia. Namun, tindakan kancil yang manakah sebenarnya pantas untuk ditiru? Mencurinya? Tentunya tidak. Jelas-jelas mencuri itu tidak baik. Tanpa memandang agama, semua orang pasti setuju. Atau kecerdikannya? Mungkin ini jawaban yang benar. Tetapi kalau kecerdikan itu digunakan untuk membohongi orang lain? Menurut saya, lebih baik jangan ditiru.

Selengkapnya...

Monday, January 8, 2007

"Mama N bohong"

Pulang dari kantor memang sudah terlalu sore. Atau lebih tepatnya sudah petang. Capek, sih. Namun biasanya, masih saya sempatkan untuk bermain dengan anak pertama saya sambil ngobrol. Namun saat itu, bukan anak saya yang cerita, tetapi isteri saya. Isteri saya cerita tentang anak saya, tentang apa yang disampaikan anak saya tadi siang.

Siang tadi, anak saya bermain dengan anak tetangga. Sebut saja bernama N. N ini lebih muda 1.5 tahun dibandingkan dengan anak saya. Siang itu mereka bermain dengan riang. Berbagai permainan sudah mereka lakukan sampai waktu lewat jam 12 siang. Datanglah mama N mau mengajak anaknya pulang.

"N, pulang yuk. Kita mau pergi ke rumah Eyang (kakek/nenek)". Begitulah apa yg disampaikan mama N, mungkin bertujuan untuk membuat anaknya mau pulang. Maka pulanglah si N.

Ditinggal temannya, anak saya agak sedikit kecewa, belum puas dengan permainan mereka. Dia pun berdiri dekat jendela yang menghadap jalan. Karena rumah saya dan rumah keluarga N dekat, kami bisa melihat keluarga N jika keluar dari rumah lewat jendela tersebut. Mungkin anak saya ingin memastikan bahwa keluarga N akan pergi.

Setelah lama ditunggu, ternyata keluarga N tidak keluar. Anak saya tahu pasti bahwa N tidak pergi ke rumah Eyangnya. Sambil uring-uringan, anak saya bilang ke mamanya. Kira-kira seperti ini apa yang disampaikan:
"Ma, ternyata mama N bohong. Katanya mau pergi. Ternyata mereka tidak kemana-mana. Mama N bohong. Wong sudah besar, kok bohong ya, Ma? Anak kecil saja tidak boleh bohong. Tetapi kalau orang besar boleh bohong. ".
Isteri saya kaget juga mendengar ungkapan hati tersebut. Ungkapan dari seorang anak yang berumur 5 tahun. Dan isteri saya tidak bisa berucap apa-apa untuk membela "orang besar".

Selama ini, memang kami berusaha untuk mengajarkan kejujuran terhadap anak saya. Dan kami sendiri berusaha untuk jujur dan menepati janji. Jangan heran kalau kami lebih suka membiarkan anak saya menangis meminta sesuatu yang tidak bisa kami penuhi, daripada berjanji memenuhi yang kami sendiri tidak merasa yakin mampu memenuhi permintaanya. Meskipun janji yang kemungkinan kosong tersebut bisa membikin anak saya berhenti menangis.

Kalau kami tidak memenuhi janji, yang terbayang di anak saya bukan masalah janjinya, tetapi kebohongan kami. Itulah masalah terbesarnya, yang pada akhirnya hilanglah kepercayaan anak saya terhadap kami sebagai orang tua. Kalau anak saya tidak percaya ke kami, siapa lagi yang bisa dia percaya selain orang-orang di luar rumah kami tentunya.

Selengkapnya...