Tuesday, December 11, 2007

Oleh-oleh dari Jakarta/Bandung

Sambil mendengarkan musik lewat earphone, saya memperhatikan seorang penjual di Stasiun kereta. Mereka menawarkan minuman kaleng buat wisatawan asing, yang hari ini terlihat sangat banyak. Sepintas saya perhatikan jenis minumannya. Sepertinya minuman bir. Wisatawan itupun terlihat menawar harga bir kaleng tersebut. Akhirnya terjadilah transaksi jual-beli. Penjual itu sangat bergembira, terlihat dari senyum lebarnya. "Besar po untungnya?", tanya hati saya dalam logat Jawa.

Setelah beberapa saat, penjual itu berjalan ke arah penjual lainnya, yang tadi ikut bergabung dengan penjual itu saat proses tawar menawar. Sambil berjalan, penjual yang beruntung tadi melambaikan uang ribuan sebanyak 2 lembar. Kali ini saya bisa mendengar suara penjual itu karena saya melepaskan earphone yang tadi menemani. "Nih, buat uang dengar", kata penjual tadi. Wah, besar juga untungnya. Dari 2 kaleng bir itu, dia bisa memberi temannya uang dengar sebesar Rp. 2 ribu. Berarti untungnya bisa lebih dari 2 kali uang dengarnya.

Tetapi bukan kisah itu, yang jadi kisah utama tulisan saya ini. Kisah di bawah inilah yang akan jadi cerita utama.

Akhirnya, setelah lama berdiri di stasiun (kurang lebih 1.5 jam), kereta jurusan Yogyakarta, yang akan saya tumpangi (tentunya dengan bayar) tiba. Takut terpeleset karena lantai dan tangga basah oleh air hujan pagi tadi, saya berjalan hati-hati waktu naik kereta. Innalillahi, betul juga, saya terpeleset. Tapi, alhamdulillah.... seorang wisatawan asing, yang berdiri tidak jauh, dengan sigap menangkap saya dan tongkat saya. Dengan dibantu oleh wisatawan itu, saya bisa berdiri lagi dan bisa masuk kereta. "Thank you very much," kataku.

Subhanallah, lebih dari separo penumpang di gerbong yang sama denganku adalah wisatawan asing. Mereka duduk di kursi deretan terdepan. Di belakang wisatawan, ada beberapa orang Indonesia. Sepertinya pemandu wisata. Kursi saya tepat di belakang pemandu-pemandu itu.

Tanpa banyak bicara dengan penumpang sebelah, saya langsung tidur. Kira-kira sudah 3 jam berlalu setelah kereta meninggalkan stasiun, saya terbangun karena mendengar suara sendok beradu dengan piring :D. Ternyata wisatawan-wisatawan itu sedang memesan makanan. Loh, kenapa memesan? Biasanya 'kan ada makanan gratis sebagai bagian layanan.

Atau nggak ada ya? Kecewa juga, padahal waktu berangkat, saya belum makan. Perut juga sudah memanggil-manggil untuk diisi. Karena sudah tidak tahan, akhirnya saya juga memesan makan, tepatnya nasi goreng. Lebih mahal kalau dibandingkan dengan harga nasi goreng di luar kereta. Tetapi jauh lebih murah dibandingkan saya turun kereta, beli nasi goreng, dan terus beli tiket kereta yang lain lagi karena ketinggalan kereta.

Satu jam kemudian, tibalah kereta di sebuah stasiun dan berhenti. Kalau tidak salah, Stasiun Gombong. Semua wisatawan asing yang duduk di deretan terdepan turun. Akhirnya, banyak tempat duduk yang kosong, lebih dari separo.

Baru beberapa menit meninggalkan Stasiun Gombong, petugas kereta datang membagi-bagikan nasi goreng, "Nasi goreng.... layanan kereta". Nah, lo. Kenapa baru dibagikan sekarang? Biasanya 'kan dibagikan tidak lama setelah kereta berangkat dari stasiun awal? Berarti wisatawan asing tadi tidak dapat. Padahal mereka membayar tiket dengan harga yang sama dengan penumpang yang lain.

"Pindah ke depan saja, Pak. Akan kosong kok ", begitu kata petugas kereta. "Biasanya kalau hari Sabtu memang seperti ini, banyak wisatawan asing. Mereka selalu turun di Stasiun Gombong", lanjutnya. Sambil menikmati nasi goreng kedua di kereta, saya mendengarkan obrolan seorang petugas kereta dengan penumpang lain.

Ooohhh, jadi mereka sudah hapal, kalau hari Sabtu selalu ada banyak wisatawan asing yang akan turun di Stasiun Gombong. Kalaupun tidak hapal, petugas kereta pasti tahu hal itu dari tiket. Kalau petugas kereta tahu banyak yang turun di Stasiun Gombong, mengapa mereka tidak segera membagikan nasi gorengnya? Agar mereka tidak perlu beli makan, dan mendapatkan haknya. Malah akhirnya wisatawan asing itu harus mengeluarkan uang untuk beli makanan.

Untung juga, ya. Pertama, tidak perlu mengeluarkan nasi goreng. Kalau dihitung lumayan juga. Kedua, karena nasi gorengnya tidak diberikan, mereka harus beli makan. Pokoknya dua kali untung.

Sengaja? Nggak tahu. Kok pemandu wisata, yang juga orang Indonesia, diam saja? Nggak tahu juga.

Tetapi kalau itu sengaja, berarti "Dongeng Kancil" berhasil menyampaikan pesannya, "Orang pintar (lebih tahu) sudah seharusnya membodohi (membohongi) orang bodoh (orang yang tidak tahu)". Bukan pesan, "Orang pintar seharusnya memberi tahu orang bodoh agar tahu".

No comments: