Wednesday, April 25, 2007

"Ada penyakit di Eskrim."

Cerita tentang anak memang tidak ada habisnya. Ada saja kejadian yang menarik kita, termasuk saya. Dan juga menarik untuk ditulis di blog ini :). Dan inilah ceritanya.

Sudah jadi kebiasaan kami, bahwa kami sangat selektif terhadap makanan. Karena kami berasumsi bahwa makanan berpengaruh terhadap perkembangan fisik, yang di antaranya adalah perkembangan otak. Sehingga makanan yang mengandung zat-zat yang berbahaya, kami cegah untuk tidak masuk ke tubuh anak-anak kami. Misalnya zat pewarna tekstil, pengawet makanan, dan pemanis buatan. Karena menyesuaikan dengan bahasa anak, kami menggunakan istilah "ada penyakit" untuk menyebutkan makanan yang mengandung zat-zat berbahaya tersebut.

Untuk makanan yang menyebutkan bahan-bahan pembuatnya, tugas kami menjadi sedikit lebih ringan. Kami cukup menunjukkan bahan-bahan mana yang kami sebut sebagai "ada penyakit" tadi. Karena anak kami sudah bisa membaca, akhirnya anak kami tersebut sudah dapat memilih makanan yang aman. Dia tinggal mengecek apakah ada bahan makanan yang berbahaya, yang sudah kami sebutkan. Kalau ada bahan yang aneh, yang belum dia lihat, biasanya dia langsung menanyakan ke kami. Alhamdulillah, anak kami cukup konsisten dengan hal ini.

Sampai suatu hari, anak kami dikasih tahu temannya yang bernama Nik. Sambil berteriak dari rumahnya, Nik bilang, "Mas, katanya mamaku, eskrim itu ada penyakitnya lho", sambil menyebutkan jenis dan merek eskrim tersebut. Anak kami yang sudah sering makan eskrim tersebut menjadi kaget. Juga sambil berteriak dari rumah, anak kami dengan yakin bilang bahwa eskrim tersebut tidak ada penyakitnya karena dia sudah baca sendiri bahan makanan yang terkandung di dalam eskrim tersebut.

Memang istilah "ada penyakit" sudah digunakan anak kami ke teman-temannya. Sehingga istilah tersebut sudah terbiasa dipakai untuk menyatakan bahan makanan berbahaya.

Akhirnya, adu mulut pun terjadi, mempertahankan pendapatnya. Anak kami tetap pada pendapatnya karena sudah baca sendiri. Sedangkan si Nik mempertahankan pendapatnya karena mamanya yang ngasih tahu.

Isteri saya yang berada di dalam rumah tidak berani keluar karena pada saat itu mama si Nik ada di situ. Padahal anak kami sudah sampai bilang bahwa mama Nik berbohong. Artinya, anak kami berani bilang bahwa mama Nik bohong di depan orang yang dimaksud.

Bingung juga kami menjelaskan. Karena esok harinya, anak kami minta dibelikan eskrim yang dimaksud untuk membuktikan bahwa dia benar. Setelah kami belikan, dengan menyebutkan satu-persatu ke kami, anak kami menanyakan apakah ada bahan yang berbahaya. Dengan yakin pula, kami menjawab, memang tidak ada satupun dari bahan yang disebutkan tadi, terdapat bahan berbahaya.

Benar-benar bingung, bahan mana sih yang menurut mama Nik adalah berbahaya?

Selengkapnya...

Sunday, April 8, 2007

Rejeki, Amanah, atau Ujian?

Beberapa hari ini saya mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-teman, baik dari teman-teman dosen dan peneliti maupun dari rekan-rekan mahasiswa. Ucapan selamat tersebut berkaitan dengan diterimanya proposal penelitian saya, yang selanjutnya akan didanai oleh Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) - Depdiknas. Pendaanaan itu disebut sebagai hibah. Penelitian tersebut saya rencanakan selama 3 tahun, yang tiap tahunnya membutuhkan dana sekitar Rp. 40 jt.

Alhamdulillah, itu yang terucap pertama kali. Ada 2 hal yang memang harus saya syukuri. Pertama, saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian secara resmi. Memang, penelitian tidak resmi sudah sering saya lakukan. Saya sebut tidak resmi karena memang tidak terdaftar di manapun, dan tidak terjadwal. Istilahnya, semau gue lah. Kalau mau saya lanjutkan, saya lanjutkan. Kalau tidak mau, ya saya tinggalkan. Dan juga bersifat insidentil, misalnya kalau ingin membuat paper atau ada mahasiswa yang mencari judul tugas akhir. Namun untuk penelitian ini, saya tidak bisa berbuat seperti itu.

Kedua, ada limpahan rejeki. Sebagian dari dana yang saya ajukan tadi adalah honorarium untuk peneliti, termasuk saya sebagai peneliti utama. Sedikit buka rahasia, sekitar 15% dari dana tersebut akan masuk ke kantong saya. Tidak besar sih, jika dibandingkan dengan penghasilan mengerjakan proyek dari luar institusi. Tetapi kepuasan meneliti memang tidak bisa diganti dengan uang. Apalagi jika hasilnya dapat dimanfaatkan oleh orang banyak.

Namun, ada yang tidak boleh dilupakan. Dana hibah tersebut adalah dana bantuan dari pemerintah lewat Dikti, bertujuan untuk membantu peneliti agar dapat melakukan penelitian dan menghasilkan produk yang berguna. Berarti peneliti sudah diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola uang negara untuk kepentingan penelitian. Karena pemerintah adalah kepanjangan tangan rakyat, berarti saya juga sudah diberi kepercayaan oleh rakyat.

Sebuah amanah yang tidak ringan. Dengan kepercayaan itu, saya dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan penelitian sehingga penelitian saya berhasil. Memang keberhasilan penelitian ditentukan oleh Yang Di Atas. Namun, saya punya kewajiban untuk berusaha, tetap konsisten, dan tentunya tidak lupa berdoa agar berhasil. Ada ratusan juta manusia yang akan meminta pertanggung-jawaban ke saya. Kalau tidak bisa di dunia, pasti bisa diminta di alam yang lain.

Selain itu, penggunaan dana juga harus selalu saya ingat. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, dari sekian juta dana yang saya usulkan, 15% adalah gaji saya dan sisanya untuk keperluan penelitian. Berarti 85% bukan uang saya, yang sekarang ada di tangan saya. Jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan honorarium saya.

Sangat memungkinkan, seandainya saya mengubah proporsi tersebut, tanpa sepengetahuan Dikti. Caranya juga tidak sulit, yaitu dengan memanipulasi laporan akhir tahun, yang setiap tahun akan saya buat. Contohnya adalah memanipulasi pengeluaran. Misalnya, saya membeli sebuah alat dengan harga Rp. 10 jt, tetapi saya minta ke tokonya untuk membuat bon pembelian dengan harga yang lebih tinggi, misal Rp. 14 jt. Artinya, uang yang saya keluarkan Rp. 10 jt, tetapi saya laporkan Rp. 14 jt. Benarkah cara yang demikian? Menurut saya, itu tidak benar. Tidak perlu sulit-sulit untuk mencari alasan bahwa itu tidak benar, yaitu Tidak Jujur.

Jadi, manakah yang tepat menggambarkan hibah? Rejeki, amanah, atau ujian?

Selengkapnya...

Thursday, April 5, 2007

Masalah Nama Samaran

Kemarin sore, bertemu dengan Pak T. Pak T ini saya singgung pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Daging Korban". Saat bertemu kemarin, beliau membahas tentang orang-orang yang terkait dalam tulisan, yang nama-namanya selalu saya samarkan, termasuk Pak T. Beliau mempermasalahkan nama-nama yang selalu saya samarkan tersebut. Padahal, masih menurut beliau, blog ini 'kan bicara tentang kejujuran, kok nama-namanya malah tidak jujur.

Memang benar apa yang Pak T sampaikan. Tetapi, Insya Allah, penyamaran ini hanya masalah privasi. Bahwa tokoh-tokoh yang muncul, harus dilindungi kerahasiannya. Menurut saya memang itu kode etik dalam jurnalisme. Apalagi blog ini bersifat global, dimana setiap orang bisa membaca blog saya.

Blog ini memang saya setting agar semua orang bisa membaca, tanpa perlu saya daftarkan ataupun menjadi anggota blogspot. Resikonya, setiap orang, tanpa perkecualian, akan dapat mengkases. Sebagai bentuk tanggung jawab, adalah kewajiban saya untuk merahasiakan tokoh-tokoh yang saya munculkan.

Selain itu, penekanan untuk setiap tulisan saya adalah perbuatannya, bukan pada pelakunya. Dan Insya Allah, kejadian dan pelaku adalah benar-benar ada. Tidak ada yang fiktif.

Namun, saya ucapkan terima kasih atas masukan Pak T. Dan atas masukan itu, akan ada perubahan pada blog ini, yaitu kemungkinan penulisan nama-nama sebenarnya. Tentunya setelah mendapat ijin dari yang bersangkutan. Contohnya adalah Pak T, yang nama sebenarnya adalah Pak Tito Yuwono, Dosen Teknik Elektro, Universitas Islam Indonesia.


Terima kasih, Pak Tito. Jazakallahu khairan katsiira...

Selengkapnya...

Wednesday, April 4, 2007

Harga-harga Psikologis

Sebenarnya sudah cukup lama saya ingin menulis ini. Namun, karena kesibukan baru kesempatan kali ini saya bisa menulisnya.

Kalau kita ke toko, supermarket, atau pusat-pusat perbelanjaan, tentunya sudah biasa menjumpai harga-harga yang tidak bulat. Harga-harga itu ada kemungkinan tidak bisa dibayar dengan uang pas. Sebagai contoh adalah Rp. 1580. Harga itu tidak mungkin dibayar dengan uang pas karena tidak ada receh Rp 10, misalnya. Demikian juga kalau dibayar Rp. 1600, pasti tidak ada uang kembalian. Untungnya, pihak toko tidak mau dibayar kurang, maunya tetap dibayar lebih, yaitu Rp. 1600. Kalau total belanjaan sedikit, presentasi uang yang kita bayar di luar harga barang yang kita beli, akan besar. Tetapi kalau total belanjaan kita banyak, memang tidak akan terasa.

Keuntungan yang bisa didapatkan pembeli, jika harga setiap barang itu lebih murah dari toko lain maka akan terasa hemat. Namun hal itu berlaku jika belanjaan banyak. Kalau tidak, akan sama saja, karena tidak adanya uang kembalian.

Keuntungan buat penjual, dengan harga yang lebih murah, akan menarik pelanggan. Meskipun selisihnya mungkin hanya beberapa rupiah. Sebagai contoh, harga di toko lain Rp. 2000, sedangkan di toko kita adalah Rp. 1980. Sekilas, pembeli akan melihat harga di toko kita lebih murah, yaitu sekitar seribuan. Sedangkan di toko lain, harganya sekitar dua ribuan. Meskipun nanti pada akhirnya, uang yang dibayarkan akan sama, karena tidak adanya uang kembalian.

Selain masalah harga tersebut, yang saya sebut sebagai pemanfaatan faktor psikologis, konon katanya harga tersebut juga untuk mengakali pajak. Mungkin benar, mungkin juga tidak. Karena tidak mungkin dengan selisih beberapa rupiah, pajaknya akan beda. Maksud saya dengan perbedaan di sini adalah perbedaan prosentase pajak.

Terlepas motivasi di belakang harga-harga itu, konsentrasi pembahasan saya sebenarnya bukan pada 'kita sebagai pembeli', namun lebih ke seandainya 'kita sebagai penjual'. Kalau kita sebagai pembeli, pasti setiap orang setuju tidak akan mempermasalahkan kelebihan yang kita bayarkan karena nilai itu terlalu kecil.

Namun, jika kita sebagai penjual maka sebenarnya kita telah melakukan kebohongan yang sangat besar, yang kita lakukan terhadap banyak orang. Kita telah melakukan pemaksaan setiap orang untuk membayar di luar dari harga yang seharusnya sudah disepakati. Harga yang sudah disepakati adalah harga yang tertulis di produk. Pada saat pembeli memilih barang yang akan dibeli, sebenarnya pembeli dan penjual sudah sepakat tentang harga. Namun kesepakatan itu kita langgar dengan pembayaran yang lebih karena alasan tidak ada uang kembalian.

Kenapa itu kebohongan? Karena pada saat kita menentukan harga itu, kita sudah tahu bahwa tidak mungkin pembeli akan membayar dengan uang pas. Dan harga itu harus dibulatkan ke atas tergantung uang terkecil yang beredar.

Fenomena yang lain, pembulatan tidak hanya ke uang terkecil. Sebagai contoh adalah uang Rp. 50 dan Rp. 100. Meskipun uang kecil tersebut masih ada, namun kadang-kadang pembulatan ke atas dilakukan ke ribuan terdekat. Alasannya sama, tidak ada uang kembalian. Seandainya kita penjual, kalau harga kita kemungkinan besar akan memunculkan kembalian dalam recehan tersebut, maka kita wajib menyediakan recehan itu sebanyak mungkin.

Saya teringat waktu belanja alat elektronik di Jerman. Barang-barang yang mereka jual sebagian berharga ratusan Euro. Karena masalah pajak, ada harga-harga yang memunculkan kembalian hanya 10 sen. Tetapi ternyata mereka juga menyediakan recehan tersebut.

Ada 2 hal yang memalukan saya. Sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah atheis, sedangkan kita mengaku beragama. Namun ternyata mereka lebih jujur. Mereka memiliki penghasilan yang lebih besar dari kita. Namun ternyata mereka (pembeli dan penjual) lebih perhatian terhadap uang kecil mereka dan tidak meremehkannya.

Terakhir, seandainya kita penjual, kita tidak seharusnya menjual pulsa Rp. 50.000 dengan harga Rp. 49.500, kalau kita tidak punya uang receh Rp. 500. Karena itu benar-benar kebohongan yang nyata.

Selengkapnya...