Sunday, April 1, 2012

Monoteisme dan Evolusi (2): Bukti-Bukti Monoteisme dan Perubahan Menjadi Politeisme

Pada bagian 2 ini, saya tambahkan subjudul untuk mempermudah pemahaman. Subjudul ini tidak ada di makalah aslinya.


Monoteisme Bangsa Primitif
Sehingga, kita menemukan keyakinan terhadap satu Tuhan yang Maha Besar diantara semua suku-suku yang disebut primitif, yang telah ditemukan. Suku Maya di Amerika Tengah meyakini satu Tuhan yang menciptakan segala sesuatu, yang mereka panggil Itzamna [11], Kaum Mende di Sierra Leone, Afrika Barat, meyakini satu Tuhan yang menciptakan alam semesta dan roh-roh, yang mereka panggil Ngewo [12], di Babilon Kuno sesembahan utama penduduk kota itu, Marduk [13], dipandang sebagai Tuhan yang Maha Besar. Di Hinduisme, Brahma adalah satu Tuhan yang absolut, abadi, dan bukan-manusia, yang tidak mempunyai permulaan dan akhir[14].

Di agama Yoruba, yang dianut oleh lebih dari 10 juta orang di Afrika Barat (utamanya Nigeria), terdapat satu Tuhan yang Maha Besar, Olorius/Olodumare (Penguasa langit). Meskipun demikian, agama Yoruba modern dicirikan oleh berbagai bentuk upacara peribadahan Orisha yang mengubah agama ini menjadi lebih dekat ke politeisme.

Dari Monoteisme Menjadi Politeisme
Satu dari ahli-ahli barat pertama yang mengakui pengaruh penting trend dari monoteisme menjadi politeisme ekstrim adalah Stephen Langdon, dari Oxford. Langdon mengambil pandangan bahwa Sumerian adalah peradaban sejarah yang paling tua dan dia mencatat “Dalam pandangan saya sejarah peradaban manusia yang paling tua adalah proses kemunduran secara tajam dari monoteisme ke politeisme ekstrim dan kepercayaan yang tersebar luas tentang roh-roh. Dalam pendirian yang sangat tepat, ini adalah sejarah kejatuhan manusia.”[15]

Edward McCrady, yang menulis tentang keagamaan orang India, mengamati bahwa bahkan Rig Veda (Book 1, p.164) menunjukkan bahwa tuhan-tuhan di masa-masa awal dipandang secara sederhana sebagai perwujudan yang bemacam-macam dari Zat Ketuhanan Yang Maha Tunggal, dia menyatakan bahwa: “Mereka menyebut-Nya dengan Indra, Mythra, Varunna, Agnee – semuanya adalah istilah (sebutan/nama) yang berbeda untuk satu Tuhan Yang Maha Bijaksana.”[16]

Sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa Bangsa Primitif
Ahli sejarah China kadang-kadang membagi periode sejarah kuno ke dalam tiga periode: periode utama, periode menengah, dan periode dekat. Periode pertama kira-kira merentang dari abad ke-21 sampai abad ke-12 sebelum Masehi. Menurut Ron Williams, yang membaca tulisan China, setiap periode memiliki ciri-ciri keagamaan tersendiri, dan periode pertama secara terang adalah monoteistik. Williams juga mencatat bahwa: “Pada periode sejarah China ini, Penguasa yang Besar adalah Tunggal dan tidak dapat dibagi, tidak dapat berubah, tidak ada yang menyamai, mengatur secara absolut dan sendirian di atas segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki tanpa ada kekuatan yang dapat menghalanginya, dan kehendak-Nya selalu hak.”[17]

Dalam serial jurnal The Great Ages of Man, satu volumenya diterbitkan berkaitan dengan China kuno, yang ditulis oleh Edward H. Schafer ,yang mencatat: “Satu dari yang paling tua dan pasti paling besar dari tuhan-tuhan adalah Tuhan Langit Ti'en. Pada masa-masa awal Ti'en dipandang sebagai Raja Besar di langit, lebih megah dari segala yang ada di bumi. Selanjutnya kebanyakan memandang Ti'en sebagai sumber energi non-manusia, sumber energi yang menggerakkan dunia.”[18]

Kerja lain yang sangat penting pada monoteisme awal dari orang-orang primitif adalah oleh Wilhelm Schmidt, yang asalnya pekerja produktif di Jerman, diterbitkan pada tahun 1930 dalam terjemahan bahasa Inggris sebagai sebuah volume tunggal. Dalam studinya Schmidt mendapatkan bahwa dia menemukan budaya primitif pada tingkatan budaya yang paling rendah, mempunyai konsep Tuhan yang lebih murni. Dia mencatat bahwa seperti seseorang berkembang dari pemburu saja menjadi pengumpul makanan, dan dari penyimpan makanan menjadi penanam makanan seperti pengembara pastor yang menjaga jemaahnya, menjadi penanam makanan yang menetap pada suatu tempat, dan di atas skala masyarakat semi-urban, seseorang menemukan keyakinan sederhana terhadap Tuhan yang Maha Besar, yang tidak mempunyai isteri dan keluarga. Menurut Schmidt kita menemukan bentuk keyakinan ini antara Pygmies di Afrika tengah, orang Australia-tenggara Aborigin, orang Amerika asli di California-utara-tengah, Algonquians primitif, dan Koryaks serta Ainu pada batas-batas tertentu. Untuk menyimpulkan penemuannya secara ringkas, kata-kata dia sendiri adalah: “Kembali ke masyarakat paling primitif, Pygmies di Afrika atau orang Australia-tengah Aborigin atau orang-Amerika tengah Indian – semua mempunyai satu Tuhan yang Maha Besar yang kepada-Nya-lah mereka membuat persembahan... semua masyarakat ini juga mempunyai tata-cara doa yang pendek...”[19]

Andrew Lang mencatat bahwa "Aborigin Australia mungkin memiliki salah satu kebudayaan yang paling sederhana dari semua masyarakat yang dikenal, tetapi mereka memiliki konsep-konsep keagamaan yang begitu tinggi, yang akan lumrah untuk menjelaskan bahwa konsep itu merupakan akibat dari pengaruh Eropa. "[20] Pada saat penulisan Lang merasa bahwa penjelasan ini dibenarkan karena dalam lingkungannya konsep mereka tentang Tuhan dipandang sebagai yang paling 'berevolusi' dan 'beradab.'

Lang juga menyebutkan bahwa penduduk Kepulauan Andaman, yang dia pandang berada pada tingkat kebudayaan yang sama dengan Aborigin, meyakini satu Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan itu sebagai Zat yang tidak bisa dilihat, abadi, pencipta segala sesuatu (kecuali kejahatan), mengetahui segala yang ada di hati dan pikiran, Zat yang marah terhadap dusta dan perilaku buruk, membantu orang yang dalam kesukaran dan penderitaan. Lebih lanjut, konsep Tuhan mereka adalah bahwa Dia adalah Hakim terhadap jiwa yang telah mati dan pada masa depan Dia akan memimpin pengadilan yang agung.

Informasi yang diberikan ke Lang itu datang dari anggota-anggota yang lebih tua dari masyarakat tersebut, yang tidak mengenal masyarakat lain pada saat itu. Seperti yang Lang katakan, “... pengaruh luar sepertinya telah dikesampingkan lebih dari biasanya (dalam konsep Tuhan mereka).”[21]

Sameul Zwemer berbicara tentang ciri-ciri Bushmen yang monoteistik, seperti kebanyakan orang dari kebudayaan Arctic yang dia pertahankan, yaitu “Terang ... bahkan untuk penelitian yang sambil lalu.”[22] Dalam papernya dia tidak hanya menyampaikan ulang apa yang telah diteliti oleh orang lain, sebut saja hasil penelitian bahwa orang-orang primitif mempunyai pengetahuan tentang satu Tuhan yang Maha Besar, melainkan lebih menyatakan bahwa Tuhan yang Maha Besar, yang mereka kenal, secara inti adalah satu Zat yang sama dengan sifat-sifat yang sama. Canon Titcombe mencatat ketika berbicara tentang Zulus, mengutip seorang mantan bishop dari Natal yang mempunyai pengetahuan tentang Zulus dari tangan pertama ketika mereka masih utuh secara budaya, bahwa mereka tidak mempunyai sesembahan selain mengakui Zat Tunggal yang Maha Besar, yang dikenal sebagai Zat yang Agung, yang Maha Kuasa, yang Pertama, dll.[23] Titcombe juga mencatat konsep satu Tuhan di antara penduduk asli Madagaskar.[24]

Kesimpulan
Semua bukti-bukti ini mengarahkan Paul Radin untuk menyimpulkan, setelah menyebutkan kerja Lang: “wawasan intuisinya telah dikuatkan secara berlimpah”.[25] Tambahan lagi, E.O. James menyimpulkan dalam sebuah paper yang diterbitkan oleh Jurnal of the Royal Anthropological Institute: “Maka, tidak mungkin untuk mempertahankan sebuah evolusi yang unilateral (sepihak dan satu) dalam wawasan dan praktek keagamaan seperti yang disarankan oleh 'Tiga Tingkat' dari Frazer, Tylor dan Comte. Meskipun demikian, baik spekulasi bahwa ide tentang Tuhan tumbuh dalam peribadatan nenek moyang seperti yang disebarkan oleh Herbert Spencer maupun model evolusi Frazer dari politeisme dan animisme ke monoteisme tidak dapat dirujukkan dengan satu Tuhan-kesukuan yang Maha Besar, yang merupakan ciri dari konsep yang primitif tentang Tuhan, yaitu konsep satu-Tuhan yang selalu berulang.”[26]

Proses kemunduran monoteisme dapat dilihat pada Budhisme yang berawal pada abad ke-6 sebagai gerakan pembaruan dalam Hinduisme. Namun masa berikutnya, patung-patung dan gambar-gambar raksasa dalam jumlah besar dari Budha didirikan dan dikelilingi dengan bunga, dupa, dll. Lebih lanjut, pengikut Budhisme menyelenggarakan sejumlah upacara (ritual) kepada patung-patung tersebut, yang mencakup sujud, ruku (ketundukan), dll. Sebagai tambahan, Dalai Lama dari Tibet diibadahi sebagai tuhan yang berwujud manusia (man-god), dengan sujudnya para pengagum terhadapnya. Hal seperti ini juga dapat diamati dalam gerakan Sufi Naqsyabandi dengan pemimpinnya saat ini Naazim Qubrusi, dan juga 'pembuat mukjizat' seperti Sai Bab dan 'Ayatullah' Khomaini. Semua manusia ini diibidahi selain Allah dan menunjukkan proses kemunduran monoteisme menjadi politeisme.

Catatan Kaki:
[11] John Hinnels, Dictionary of Religions (Penguin Books: 1884), p. 93 (Back..)
[12] Ibid, p. 210 (Back..)
[13] Ibid, p. 204 (Back..)
[14] Ibid, p. 68 (Back..)
[15] Stephen H. Langdon, “Mythology of all Races,” in Semitic Mythology Journal (Vol. 5, Archaeological Institute of America: 1931), p. xviii/p.18 (Back..)
[16] Edward McCrady, “Genesis and Pagan Cosmologies,” Trans. Vict. Institute; Vol. 72 (1940), p.55 (Back..)
[17] Ron Williams, “Early Chinese Monotheism,” a thesis paper presented before the Kelvin Institute (Toronto, 1938) (Back..)
[18] Edward H. Schafer, “Ancient China,” in The Great Ages of Man (New York: Time Life, 1967) p. 58 (Back..)
[19] Wilhelm Schmidt, The Origin and Growth of Religion – Facts and Theories, (London: 1931) p. 131, (translated by HJ Rose) (Back..)
[20] Andrew Lang, The Making of Religion (London: Longmans Green, 1909) pp. 175-182, 196 (Back..)
[21] Ibid, p. 196 (Back..)
[22] Samuel Zwemer, “The Origin of Religion – By Evolution or by Revelation,” (Trans. Vict. Institute, Volume 67; 1937) p. 189 (Back..)
[23] J.H. Titcombe, “Prehistoric Monotheism,” (Trans. Vict. Institute, Vol. 8, 1937) p. 145 (Back..)
[24] Ibid, p. 144 (Back..)
[25] Paul Radin, Primitive Men as Philosophers (New York: 1956) p. 346 (Back..)
[26] E.O. James, “Religion and Reality,” in The Journal of the Royal Anthropological Institute (Vol. 79, 1950) p. 28
(Back..)



Makalah asli: Monotheism and Evolution


Selengkapnya...

Wednesday, March 28, 2012

Monoteisme dan Evolusi (1) : Evolusi Agama dan Konsep Monoteisme Islam

Pengantar Penerjemah

Teori evolusi juga mempengaruhi pemikiran tentang lahirnya agama-agama di dunia, yang dikenal sebagai evolusi agama. Menurut teori ini, lahirnya agama adalah hasil dari evolusi keyakinan politeisme/animisme menjadi monoteisme, yang merupakan ciptaan manusia dan tidak ada campur tangan ketuhanan. Seperti teori evolusi, klaim ini tidak didukung oleh bukti sama sekali. Bukti yang berlimpah justeru menunjukkan bahwa agama pada jaman primitif adalah monoteisme, yang pada masa selanjutnya merosot menjadi politeisme.

Dalam Islam sudah jelas bahwa awalnya umat manusia menganut monoteisme kemudian berubah menjadi politeisme. Kemudian Allah سبحانه و تعالى, Tuhan yang Maha Besar dan Maha Esa, telah mengirimkan utusan-utusan ke setiap kaum untuk memperingatkan mereka agar beribadah hanya kepada Tuhan yang Maha Besar dan Maha Esa itu, yang berarti agar kembali monoteisme. Sangatlah wajar kalau ditemukan bukti bahwa antara bangsa yang mereka sudah lama tidak berinteraksi, ditemukan ajaran monoteisme terhadap satu Tuhan yang Maha Besar yang memiliki sifat-sifat yang sama.

Bukti-bukti tersebut yang akan ditunjukkan dalam makalah yang saya terjemahkan ini. Meskipun demikian, makalah ini tidak bermaksud menunjukkan bahwa jika ada agama monoteisme saat ini maka agama tersebut adalah benar. Sangat logis jika semua agama monoteisme itu harus diukur dan menyesuaikan diri dengan ajaran dari utusan terakhir dari Tuhan yang Maha Besar, yaitu Rasulullah Muhammad صلي الله علىه وسلم.

(akhir dari pengantar penerjemah)


Monoteisme dan Evolusi

Terdapat klaim oleh banyak Afrocentris, orientalis dan antropologis bahwa monoteisme adalah ciptaan bangsa Mesir kuno, yang diawali oleh dinasti Firaun ke-18, Akhenaten/Amenhotep ke-4, pada abad ke-14 sebelum Masehi?![1] Pernyataan yang tegas ini secara mengejutkan datang dari pihak akademisi ‘yang terhormat’, profesor-profesor barat yang berharap agar secara buta orang-orang mengikuti ‘bukti’ mereka, ketika dalam kenyataannya tidak satupun bukti itu mereka tunjukkan dalam hal itu. Sebagai contoh, argumen ini telah diajukan oleh Julian Baldick dalam makalahnya yang berjudul Black God – The Afroasiatic Roots of the Jewish, Christian and Muslim Religious (London: I.B. Tauris, 1997).

Disebabkan oleh pengaruh pemikiran evolusi Darwin, banyak sejarawan, ahli ilmu sosial dan antropologis telah menyimpulkan bahwa agama dimulai dengan penyembahan umat manusia terhadap kekuatan alam yang diakibatkan oleh kekaguman mereka terhadap pengaruh perubahan yang besar dan merusak dari lingkungan dan alam. Hingga petir, kilat, gempa bumi, gunung berapi, dll diyakini sebagai sesuatu yang mengandung hal ghaib. Kemudian manusia mencari cara untuk menenangkan hal ghoib tersebut melalui bermacam tata cara, upacara, doa, dan persembahan. Penduduk asli Amerika Utara, yang meyakini akan roh ghoib dari sungai dan hutan, digunakan sebagai contoh dari tingkat awal dalam evolusi agama, yang dikenal sebagai animisme.

Akhirnya diatesis muncul di mana semua kekuatan supranatural dibatasi dalam dua tuhan utama, biasanya tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan. Menurut evolusionis, contoh pada tahap ini dapat dilihat pada agama Zoroaster di Persia. Sebelum kemunculan ‘pembaharu’ Persia, Zaratustra [2], orang-orang Persia dianggap telah meyakini roh-roh kekuatan alam, dewa-dewa (tuhan-tuhan) yang bersifat kesukuan, dan dewa-dewa yang bersifat keluarga. Menurut bukti yang terkumpul dan diartikan oleh antropologis, selama masa Zaratustra dewa-dewa kesukuan dikurangi menjadi 2: Ahura Mazda yang menciptakan kebaikan dan Angora Mazda yang menciptakan kejahatan. Ketika suku-suku digantikan dengan bangsa-bangsa, berikutnya dewa-dewa kesukuan digantikan dengan satu dewa kebangsaan dan monoteisme dianggap dilahirkan. Jadi menurut sudut pandang ini, yang dipegang oleh banyak Afrocentris, ahli-ahli ilmu sosial, orientalis dan antropologis, monoteisme tidak mempunyai asal-usul ketuhanan. Monoteisme hanyalah hasil dari evolusi ketakhayulan manusia pada masa-masa awal, yang dilandasi oleh lemahnya pengetahuan yang ilmiah. [3]

Ulama hadits terkemuka Syekh Nasiruddin al-Albani [4] رحمه الله mengatakan ”telah tetap dalam Islam dan syari’ah bahwa pada awalnya umat manusia adalah bangsa yang satu di atas Tauhid yang benar, kemudian secara bertahap sirik menguasai mereka. Dalil untuk hal ini adalah firman Allah سبحانه و تعالى,

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ

Manusia itu adalah satu umat, kemudian Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. (Al-Baqarah: 213)

Ibnu Abbas [5] رضي الله عنه berkata “Antara Nabi Nuh علىه السلام dan Nabi Adam علىه السلام terdapat 10 generasi, semuanya di atas syari’ah kebenaran, tetapi kemudian mereka berpecah belah. Kemudian Allah سبحانه و تعالى mengutus Nabi-nabi untuk membawa kabar gembira dan juga memperingatkan kaumnya.”

Syekh al-Albani رحمه الله kemudian melanjutkan bahwa dalil ini menyangkal filosof dan ateis yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia secara alami adalah syirik [6], dan bahwa Tauhid berevolusi dalam kehidupan manusia. Ayat di atas menyangkal pernyataan ini, sesuai dengan hadits shahih berikut.

Nabi Muhammad صلي الله علىه وسلم meriwayatkan langsung dari Allah سبحانه و تعالى, bahwa Allah سبحانه و تعالى berfirman, “Aku ciptakan semua hamba-hambaku di atas agama yang benar (Tauhid, bebas dari syirik), kemudian setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka itu. Mereka mengharamkan sesuatu buat orang-orang, yang telah Aku halalkan buat mereka, dan mereka memerintahkan orang-orang untuk menyekutukan-Ku yang tidak pernah Aku turunkan kewenangan untuk itu.”[7] Juga Nabi Muhammad صلي الله علىه وسلم bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, tetapi orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi. [8]

Selanjutnya Syekh al-Albani رحمه الله menyatakan bahwa “setelah penjelasan yang terang ini, penting bagi setiap Muslim untuk mengetahui bagaimana syirik menyebar di antara orang-orang mukmin setelah sebelumnya mereka adalah umat yang satu. Menyangkut firman Allah سبحانه و تعالى, Yang Maha Sempurna, tentang Nuh علىه السلام

وَقَالُواْ لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدّاً وَلاَ سُوَاعاً وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'aq dan Nasr. (Nuh:23)

Telah banyak diriwayatkan dari Salaf dalam banyak hadits, bahwa kelima sesembahan ini adalah ahli ibadah. Akan tetapi, ketika mereka meninggal dunia, Setan membisiki orang-orang untuk duduk-duduk di kuburan mereka dan mengenang mereka. Kemudian setan muncul dalam bentuk manusia pada generasi berikutnya dan mengatakan kepada mereka untuk membuat patung-patung mereka. Selanjutnya setan mengatakan kepada generasi selanjutnya untuk beribadah kepada patung-patung ini seperti yang telah dilakukan oleh nenek-moyang dan leluhur mereka. Kisah ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thobari رحمه الله dan yang lainnya. Dalam Ad-Durr al-Mandhur (6/269) 'Abdullah bin Humaid meriwayatkan dari Abu Muttahar, yang berkata bahwa Yazid ibnul-Muhallab disebut-sebut Abu Ja'far al-Baqir رحمه الله, kemudian dia berkata, “dia terbunuh di tempat pertama kali sesuatu selain Allah diibadahi. Kemudian dia menyebutkan Wadd dan berkata, “Wadd adalah seorang muslim yang dicintai oleh kaumnya. Ketika dia meninggal dunia, kaum itu mulai berkumpul di sekitar kuburannya di tanah Babil (Babilonia) untuk meratap dan berkabung. Abu Ja'far رحمه الله menyebutkan bahwa berhala itu kemudian disebut 'Wadd'. "[9]

Tersedia secara luas, fakta yang membuktikan bahwa konsep monoteis manusia terhadap satu Tuhan merosot menjadi peribadahan terhadap berhala, manusia, dan manusia suci, serta dewa-dewa. Islam meyakini bahwa manusia awalnya beribadah kepada Tuhan semata, kemudian setelahnya menyimpang ke berbagai bentuk politeisme seperti yang sudah disampaikan. Islam memegang teguh keyakinan bahwa Tuhan mengirim rasul-rasul kepada semua suku dan bangsa di muka bumi untuk membimbing mereka kembali ke jalan monoteisme.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللَّهَ وَاجْتَنِبُواْ الْطَّـغُوتَ
Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah thoghut,” ... (An-Nahl:36)

Ulama Ibnu Atsir
رحمه الله, menyebutkan bahwa “Fitrah yang dibawa setiap manusia sejak lahir adalah kecenderungan pada agama yang benar, dan jika manusia itu dibiarkan, dia akan tetap di atas fitrah ini. Namun, orang yang menyimpang dari fitrah, mereka melakukannya karena mengikuti kelemahan manusia dan mengikuti orang lain secara buta. [10]

Catatan kaki:
[1] Firaun ini yang kemudian mengumumkan dirinya sebagai tuhan di muka bumi (Back..)
[2] Dalam bahasa Yunani: Zoroaster (Back..)
[3] Dr. Abu Aminah Bilaal Philips, Fundamentals of Tawheed – Islaamic Monotheism(International Islamic Publishing House: 1994) pp. 183 – 190
(Back..)

[4] Beliau dilahirkan di Albania dan tumbuh di Syria, tempat beliau menjadi salah satu dari ulama besar, dan dia tercatat menjadi ulama hadits abad ini dan salah satu pembaharu Islam (yang dimaksud bukan pembaharu ajaran Islam, pen.). Kadang-kadang beliau mengajar di Universitas Islam Madinah dan mempersembahkan banyak buku-bukunya ke perpustakaan universitas itu. Beliau membukukan penelitian yang menonjol tentang hadits, seperti as Silsilah al-Hadits as shahihah dan adh-Dha’ifah. Beliau juga menulis Tahdziir as Sajid, at-Tawassul, Fiqh ul-Waqi’, dll. (Back..)

[5] ‘Abdullah bin Abbas (meninggal pada tahun 68 H/687 M), beliau adalah sepupu Nabi Muhammad dan satu dari ulama Qur’an paling unggul di antara para sahabat. Beliau dikenal sebagai ahli tafsir Al-Qur’an dan juga ahli hukum dan ulama hadist yang menonjol. Tafsir Qur’an beliau menyusun sebagian dari tafsir-tafsir Al-Qur’an. Namun, banyak tafsir yang dinisbatkan ke beliau adalah tidak shahih. Apa yang dinamakan Tafsir Ibnu Abbas, yang disusun oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi bukanlah hasil karya beliau. (Back..)

[6] Syirik adalah beribadah secara langsung kepada sesuatu selain Allah, termasuk penyembahan berhala, penyembahan orang-orang sholeh dan pemberhalaan seperti takhayul, ramalan telapak tangan, ramalan ‘daun teh’ (tea leaf reading), peneropongan bola kristal, tukang sihir, sihir, pengakuan mengetahui alam ghoib, dll. (Back..)

[7] Hadits qudsi adalah hadits yang diwahyukan secara langsung dari Allah kepada Muhammad saw. Teks ini diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari sahabat ‘Iyyaah bin Himar al-Mujash’i ra. (Back..)

[8] Penyembah api, Majusi dalam bahasa Arab, Zoroastrian dalam bahasa Inggris. (Back..)
[9] Syekh al-Albani, Tadheer as-Saajid min Ittikhaadhil Quboor il-Masaajid, p.101-106 (Back..)
[10] An-Nihayah (3/457) (Back..)


Selengkapnya...