Harga-harga Psikologis
Kategori:
masyarakat umum
Sebenarnya sudah cukup lama saya ingin menulis ini. Namun, karena kesibukan baru kesempatan kali ini saya bisa menulisnya.
Kalau kita ke toko, supermarket, atau pusat-pusat perbelanjaan, tentunya sudah biasa menjumpai harga-harga yang tidak bulat. Harga-harga itu ada kemungkinan tidak bisa dibayar dengan uang pas. Sebagai contoh adalah Rp. 1580. Harga itu tidak mungkin dibayar dengan uang pas karena tidak ada receh Rp 10, misalnya. Demikian juga kalau dibayar Rp. 1600, pasti tidak ada uang kembalian. Untungnya, pihak toko tidak mau dibayar kurang, maunya tetap dibayar lebih, yaitu Rp. 1600. Kalau total belanjaan sedikit, presentasi uang yang kita bayar di luar harga barang yang kita beli, akan besar. Tetapi kalau total belanjaan kita banyak, memang tidak akan terasa.
Keuntungan yang bisa didapatkan pembeli, jika harga setiap barang itu lebih murah dari toko lain maka akan terasa hemat. Namun hal itu berlaku jika belanjaan banyak. Kalau tidak, akan sama saja, karena tidak adanya uang kembalian.
Keuntungan buat penjual, dengan harga yang lebih murah, akan menarik pelanggan. Meskipun selisihnya mungkin hanya beberapa rupiah. Sebagai contoh, harga di toko lain Rp. 2000, sedangkan di toko kita adalah Rp. 1980. Sekilas, pembeli akan melihat harga di toko kita lebih murah, yaitu sekitar seribuan. Sedangkan di toko lain, harganya sekitar dua ribuan. Meskipun nanti pada akhirnya, uang yang dibayarkan akan sama, karena tidak adanya uang kembalian.
Selain masalah harga tersebut, yang saya sebut sebagai pemanfaatan faktor psikologis, konon katanya harga tersebut juga untuk mengakali pajak. Mungkin benar, mungkin juga tidak. Karena tidak mungkin dengan selisih beberapa rupiah, pajaknya akan beda. Maksud saya dengan perbedaan di sini adalah perbedaan prosentase pajak.
Terlepas motivasi di belakang harga-harga itu, konsentrasi pembahasan saya sebenarnya bukan pada 'kita sebagai pembeli', namun lebih ke seandainya 'kita sebagai penjual'. Kalau kita sebagai pembeli, pasti setiap orang setuju tidak akan mempermasalahkan kelebihan yang kita bayarkan karena nilai itu terlalu kecil.
Namun, jika kita sebagai penjual maka sebenarnya kita telah melakukan kebohongan yang sangat besar, yang kita lakukan terhadap banyak orang. Kita telah melakukan pemaksaan setiap orang untuk membayar di luar dari harga yang seharusnya sudah disepakati. Harga yang sudah disepakati adalah harga yang tertulis di produk. Pada saat pembeli memilih barang yang akan dibeli, sebenarnya pembeli dan penjual sudah sepakat tentang harga. Namun kesepakatan itu kita langgar dengan pembayaran yang lebih karena alasan tidak ada uang kembalian.
Kenapa itu kebohongan? Karena pada saat kita menentukan harga itu, kita sudah tahu bahwa tidak mungkin pembeli akan membayar dengan uang pas. Dan harga itu harus dibulatkan ke atas tergantung uang terkecil yang beredar.
Fenomena yang lain, pembulatan tidak hanya ke uang terkecil. Sebagai contoh adalah uang Rp. 50 dan Rp. 100. Meskipun uang kecil tersebut masih ada, namun kadang-kadang pembulatan ke atas dilakukan ke ribuan terdekat. Alasannya sama, tidak ada uang kembalian. Seandainya kita penjual, kalau harga kita kemungkinan besar akan memunculkan kembalian dalam recehan tersebut, maka kita wajib menyediakan recehan itu sebanyak mungkin.
Saya teringat waktu belanja alat elektronik di Jerman. Barang-barang yang mereka jual sebagian berharga ratusan Euro. Karena masalah pajak, ada harga-harga yang memunculkan kembalian hanya 10 sen. Tetapi ternyata mereka juga menyediakan recehan tersebut.
Ada 2 hal yang memalukan saya. Sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah atheis, sedangkan kita mengaku beragama. Namun ternyata mereka lebih jujur. Mereka memiliki penghasilan yang lebih besar dari kita. Namun ternyata mereka (pembeli dan penjual) lebih perhatian terhadap uang kecil mereka dan tidak meremehkannya.
Terakhir, seandainya kita penjual, kita tidak seharusnya menjual pulsa Rp. 50.000 dengan harga Rp. 49.500, kalau kita tidak punya uang receh Rp. 500. Karena itu benar-benar kebohongan yang nyata.
Kalau kita ke toko, supermarket, atau pusat-pusat perbelanjaan, tentunya sudah biasa menjumpai harga-harga yang tidak bulat. Harga-harga itu ada kemungkinan tidak bisa dibayar dengan uang pas. Sebagai contoh adalah Rp. 1580. Harga itu tidak mungkin dibayar dengan uang pas karena tidak ada receh Rp 10, misalnya. Demikian juga kalau dibayar Rp. 1600, pasti tidak ada uang kembalian. Untungnya, pihak toko tidak mau dibayar kurang, maunya tetap dibayar lebih, yaitu Rp. 1600. Kalau total belanjaan sedikit, presentasi uang yang kita bayar di luar harga barang yang kita beli, akan besar. Tetapi kalau total belanjaan kita banyak, memang tidak akan terasa.
Keuntungan yang bisa didapatkan pembeli, jika harga setiap barang itu lebih murah dari toko lain maka akan terasa hemat. Namun hal itu berlaku jika belanjaan banyak. Kalau tidak, akan sama saja, karena tidak adanya uang kembalian.
Keuntungan buat penjual, dengan harga yang lebih murah, akan menarik pelanggan. Meskipun selisihnya mungkin hanya beberapa rupiah. Sebagai contoh, harga di toko lain Rp. 2000, sedangkan di toko kita adalah Rp. 1980. Sekilas, pembeli akan melihat harga di toko kita lebih murah, yaitu sekitar seribuan. Sedangkan di toko lain, harganya sekitar dua ribuan. Meskipun nanti pada akhirnya, uang yang dibayarkan akan sama, karena tidak adanya uang kembalian.
Selain masalah harga tersebut, yang saya sebut sebagai pemanfaatan faktor psikologis, konon katanya harga tersebut juga untuk mengakali pajak. Mungkin benar, mungkin juga tidak. Karena tidak mungkin dengan selisih beberapa rupiah, pajaknya akan beda. Maksud saya dengan perbedaan di sini adalah perbedaan prosentase pajak.
Terlepas motivasi di belakang harga-harga itu, konsentrasi pembahasan saya sebenarnya bukan pada 'kita sebagai pembeli', namun lebih ke seandainya 'kita sebagai penjual'. Kalau kita sebagai pembeli, pasti setiap orang setuju tidak akan mempermasalahkan kelebihan yang kita bayarkan karena nilai itu terlalu kecil.
Namun, jika kita sebagai penjual maka sebenarnya kita telah melakukan kebohongan yang sangat besar, yang kita lakukan terhadap banyak orang. Kita telah melakukan pemaksaan setiap orang untuk membayar di luar dari harga yang seharusnya sudah disepakati. Harga yang sudah disepakati adalah harga yang tertulis di produk. Pada saat pembeli memilih barang yang akan dibeli, sebenarnya pembeli dan penjual sudah sepakat tentang harga. Namun kesepakatan itu kita langgar dengan pembayaran yang lebih karena alasan tidak ada uang kembalian.
Kenapa itu kebohongan? Karena pada saat kita menentukan harga itu, kita sudah tahu bahwa tidak mungkin pembeli akan membayar dengan uang pas. Dan harga itu harus dibulatkan ke atas tergantung uang terkecil yang beredar.
Fenomena yang lain, pembulatan tidak hanya ke uang terkecil. Sebagai contoh adalah uang Rp. 50 dan Rp. 100. Meskipun uang kecil tersebut masih ada, namun kadang-kadang pembulatan ke atas dilakukan ke ribuan terdekat. Alasannya sama, tidak ada uang kembalian. Seandainya kita penjual, kalau harga kita kemungkinan besar akan memunculkan kembalian dalam recehan tersebut, maka kita wajib menyediakan recehan itu sebanyak mungkin.
Saya teringat waktu belanja alat elektronik di Jerman. Barang-barang yang mereka jual sebagian berharga ratusan Euro. Karena masalah pajak, ada harga-harga yang memunculkan kembalian hanya 10 sen. Tetapi ternyata mereka juga menyediakan recehan tersebut.
Ada 2 hal yang memalukan saya. Sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah atheis, sedangkan kita mengaku beragama. Namun ternyata mereka lebih jujur. Mereka memiliki penghasilan yang lebih besar dari kita. Namun ternyata mereka (pembeli dan penjual) lebih perhatian terhadap uang kecil mereka dan tidak meremehkannya.
Terakhir, seandainya kita penjual, kita tidak seharusnya menjual pulsa Rp. 50.000 dengan harga Rp. 49.500, kalau kita tidak punya uang receh Rp. 500. Karena itu benar-benar kebohongan yang nyata.
1 comment:
Pak, saya sering *dipaksa* beli permen saat membeli sesuatu di toko dekat rumah saya, karena tidak ada kembalian,,, hehe...
Post a Comment