Tuesday, December 18, 2007

Taksi

Selama ini saya banyak menulis tentang ketidak-jujuran. Kali ini saya akan menulis tentang kejujuran yang saya temui. Hebatnya, kali ini di kota yang terkenal "lebih jahat dari ibu tiri", saya menemukan kejujuran itu.

Turun dari kereta di Stasiun Gambir, seperti biasa saya nyari taksi yang ngetem. Seperti biasa juga, saya naik taksi yang memang sudah dikenal baik. Akhirnya, saya dapat sebuah taksi yang dipiloti oleh sopir dengan logat daerahnya yang kental.

Namun, tidak biasanya, saya lupa daerah tujuan. Nama gedungnya sih saya ingat, Wisma Aldiron. Tetapi saya lupa daerahnya. Padahal Pak Sopirnya lupa dengan nama gedung itu. "Daerah mana ya?". Karena lupa, jawaban saya seperti ini "Eh, mana ya? Kok saya lupa. Apa Pancoran ya?", masih dengan wajah ragu-ragu.

"Oh iya. Betul. Pancoran, pak", kata Pak Sopir, jadi ingat dengan gedung itu.

Masih dengan ragu-ragu, saya ikuti taksi berjalan. Tambah bingung juga waktu ditanya Pak Sopir, "Mau lewat mana?". "Terserah, Pak, saya juga nggak tahu. Saya nggak buru-buru kok", jawabku. Loh, kok saya bilang begitu. Semakin ketahuan dong, kalau saya benar-benar lupa dengan tujuan.

Selama perjalanan, saya benar-benar takut. Apalagi ternyata Pak Sopir mengambil jalan yang berbeda dari biasanya saya lalui. Saya seperti melewati tempat-tempat yang asing. Atau ini akibat saya lupa? Bukan sekali ini saya ke gedung itu dari Stasiun Gambir. Biasanya saya masih tetap bisa mengenali, walaupun saya lupa.

Saat mendekati Tugu Pancoran, saya baru bisa mengenali daerah itu. Dari arah datangnya taksi ke gedung, saya menyadari bahwa memang jalur yang diambil Pak Sopir taksi kali ini berbeda dengan taksi-taksi yang pernah saya pakai. Tidak heran kalau tadi saya tidak mengenali daerah-daerah yang kami lewati.

Di argo meter, saya baca harga yang harus saya bayar. Oh, segitu. Tidak jauh beda dengan sebelum-sebelumnya. Artinya, Pak Sopir tidak berniat untuk berputar-putar agar argonya bisa menunjukkan angka yang lebih besar. Mungkin maksud Pak Sopir untuk menghindari kemacetan yang sering terjadi di Jakarta. Apalagi waktu itu termasuk jam sibuk karena saatnya orang-orang berangkat ke kentor dan anak-anak sekolah berangkat ke sekolah.

"Terima kasih, Pak Sopir. Meskipun penumpangmu ini tidak tahu jalan, engkau tidak memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak."

5 comments:

Anonymous said...

Kejujuran pak sopir vs. sangka buruk si penumpang? Si penumpang (begitu) menghargai kejujuran pak sopir karena sebelumnya ia telah bersangka buruk bahwa pak sopir akan "memanfaatkan" ketidaktahuannya. Jika si penumpang tak bersangka buruk, apakah ia akan tetap menghargai kejujuran pak sopir?

توفيق هداية said...

Hehehe... iya kali, Pak.
Tapi memang kejujuran itu sebenarnya sesuatu yang biasa. Sesuatu yang sebenarnya memang harus dilakukan. Tidak akan terlihat kalau tidak ada pembandingnya, yang tidak jujur.
Jadi, kalau semua orang melakukan sebenarnya, orang lain tidak akan pernah melihat itu adalah kejujuran.

Anonymous said...

harus nya pake algoritma ant-co pak!
pencarian jalur terpendek!

hehehehe! kan usah ada gmaps mobile pak dari hp bisa di akses! semacam GPS gitu!jadi kita tau jalan lewat pengindraan satelit!

coz kemaren pas naek gunung pake gmaps lumayan enak,jadi nga nyasar2

hanya berbagi pengalaman saja pak!sekalian mampir2 maen ke blog dosen :P

توفيق هداية said...

bagaimana kalau dijadikan penelitian? judul "kasar"nya "pencarian jalur terpendek di gmaps"

Anonymous said...

haduh pak taufik ini!

malah ngajak penelitian!
ni semester 4 ambil 24 sks praktikum 3! belum les les segala pak!

kale penelitian bisa gundul kepala nya dimasa muda saya pak!