Friday, January 19, 2007

Politisi, Peneliti, dan Dosen

Apa sih perbedaan antara Politisi, Peneliti, dan Dosen? Salah satu dosen saya, waktu masih kuliah S1, menjawab dengan tegas. Menurut beliau, perbedaan antara ketiga profesi itu adalah:
  • Politisi : boleh salah dan boleh bohong
  • Peneliti : boleh salah, tetapi tidak boleh bohong
  • Dosen : tidak boleh salah, dan tidak boleh bohong.
Yang dimaksud oleh dosen saya tadi, tentunya berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan, bukan pada individu-individunya. Di luar pekerjaannya, sah-sah saja setiap individu melanggar jawaban dosen saya tadi.

Saya tidak akan mengulas tentang politisi lebih detail karena saya tidak kenal profesi tersebut. Tetapi kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Sebagai contoh dalam kondisi perpecahan antar golongan. Agar bisa mendamaikan, besar kemungkinan seorang politisi harus berbohong. Istilah politis-nya bermuka 12. Pada satu golongan, dia harus berpura-pura seolah-olah mendukung, atau setidak-tidaknya simpati agar bisa diterima. Kalau tidak, pasti akan ditolak mentah-mentah. Demikian juga pada golongan lain. Setelah semua golongan menerima, proses pendamaian baru bisa dilakukan.

Dalam hal berbuat salah, politisi pun diperbolehkan. Sering kita dengar istilah salah kebijakan. Seorang politisi, sesuai dengan posisinya, memang bisa salah dalam membuat kebijakan. Kesalahan itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan hukum sehingga tidak bisa dihukum. Dan politisi berhak untuk bilang 'bisa diperbaiki tahun depan' atau 'jangan serahkan posisi yang sama ke saya lagi'.

Saya tidak tahu, atau dalam kapasitas yang sesuai, untuk menilai apakah kedua sifat itu baik. Yang bisa saya pastikan hanyalah bahwa sifat itu jelek jika selalu dibawa politisi di mana pun dia berada, di luar aktifitas sebagai politisi.

Sebelum dibahas lebih jauh, perlu saya tekankan bahwa kata yang digunakan untuk membedakan ketiga profesi tersebut adalah boleh dan tidak boleh. Boleh bukan berarti harus. Boleh berbohong, misalnya, bukan berarti harus selalu berbohong. Sedangkan tidak boleh berarti harus dihindari.

Profesi beriktunya adalah peneliti. Buat peneliti memang bisa saja berbuat salah. Misalnya karena kesalahan prediksi (hipotesa) atau teori yang dipakai. Namun, seorang peneliti dituntut untuk menyampaikan hasil penelitiannya apa adanya, tidak boleh bohong dan tidak ada yang disembunyikan, meskipun hasilnya salah. Apapun hasil penelitian, baik salah maupun benar, pasti ada manfaatnya, terutama buat penelitian selanjutnya atau penelitian lainnya.

Yang akan saya sampaikan adalah contoh yang berkaitan dengan hal itu. Seorang mahasiswa meneliti hubungan antara lama kerja polisi dengan kadar karbonmonoksida dalam darah. Karbonmonoksida adalah gas buangan dari kendaraan bermotor. Dugaan awal, memang ada kaitan positif antara kedua variabel, dengan asumsi karena sudah lama bekerja, polisi banyak menghirup udara yang terpolusi dengan karbonmonoksida. Asumsi yang logis. Namun, setelah dilakukan penelitian, ternyata tidak selalu demikian. Artinya, dugaan awal adalah salah.

Meskipun salah, tetapi kalau disampaikan apa adanya, penelitian berikutnya dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Misalnya menambah variabel yang lain. Atau justeru dapat meneliti adanya kemungkinan penetralisir karbonmonoksida dalam darah, misalnya dari makanan/minuman yang dikonsumsi atau olahraga/gerak yang dilakukan oleh polisi.

Yang paling berat, adalah profesi dosen. Seorang dosen memang tidak diperbolehkan memberikan materi yang salah. Alasannya sederhana, jika materi yang disampaikan salah maka kesalahan tersebut akan dapat melekat terus ke anak didik.

Salah saja tidak boleh, apalagi berbohong karena berbohong akan menghasilkan materi yang salah. Misalnya, materi yang benar bilang bahwa 'binatang sapi memiliki 4 kaki'. Sebenarnya dosen menguasai materi tersebut, tetapi kemudian dosen berbohong dan bilang bahwa 'binatang sapi memiliki 3 kaki'. Jelas hasilnya akan berbeda dan salah.

Contoh yang lain, dosen sebenarnya tidak tahu, baik dari buku maupun pengamatan langsung tentang jumlah kaki binatang kaki seribu. Kemudian ditanya anak didik. Karena malu dianggap tidak bisa, dosen tersebut menjawab sekenanya. Ada 2 kemungkinan, jawaban dosen tersebut benar atau salah. Kalau benar, bisa jadi tidak apa-apa. Kalau salah, bisa memalukan anak didiknya kalau ditanya orang lain. Bahkan kemungkinan salahnya lebih besar dari kemungkinan benarnya. Bukankah lebih baik kalau dijawab 'tidak tahu' atau 'belum menemukan referensi'?

Meskipun paling berat, ternyata dosenlah yang paling beruntung. Dalam profesinya, seorang dosen bisa dipastikan juga seorang peneliti. Dan kedua profesi tersebut menuntut untuk tidak berbohong. Artinya, sebagian besar waktu dosen diharuskan untuk berkata sejujurnya.

Kalau boleh saya perinci, keuntungan yang dimiliki oleh dosen adalah
  1. Mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk tidak berbohong karena waktu luang di luar kerja (setelah dikurangi waktu tidur) lebih sedikit dibandingkan waktu kerja.
  2. Mempunyai kesempatan berlatih berkata jujur. Latihan apapun jika dilakukan dengan benar akan membuat penguasaannya menjadi sempurna.


Jadi, saya ucapkan selamat buat orang-orang yang memiliki profesi sebagai dosen, termasuk bapak dan ibu guru. Semoga kesempatan latihan yang diberikan benar-benar bisa meningkatkan penguasaan, yang pada akhirnya dapat diterapkan di kehidupan di luar waktu kerja.

Namun, itu berlaku jika dosen (guru) menyadari sepenuhnya tentang profesi dosen.

2 comments:

Unknown said...

mas, menurut pendapat ku , ketika profesi semua boleh salah...( sebagai sifat manusia ) dan ketiganya tidak boleh bohong ...Gimana iya toh ?

توفيق هداية said...

Maksudnya begini, Mas:
Yang dimaksud dosen (guru, ustadz) tdk boleh salah, artinya materi yang disampaikan harus sudah dibuktikan kebenarannya baik oleh dia sendiri, orang lain, atau sumber-sumber lain yang bisa dipercaya. Tdk boleh menyampaikan materi yg didasarkan oleh asumsi ataupun kira-kira, atau masih dalam tahap teori (kecuali memang sdh dikatakan bahwa materi tersebut masih teori, yg artinya semua orang paham bahwa materi tersebut masih perlu pembuktian).
Sedangkan yg dimaksud dengan politisi boleh berbohong, itu sesuai pendapat politisi itu sendiri. Selain itu, memang adakalanya bohong itu diperlukan oleh politisi. Seperti contoh saya di atas, yaitu saat mendamaikan persengketaan. Tetapi tentu saja ada batas-batasnya.
Misalnya, ada A dan B yg bersengketa. Adalah biasa buat masing-masing membicarakan kejelekan lawannya ke orang lain. Si politisi boleh berbohong (atau mungkin malah wajib) ke A (sebagai contoh), bahwa si B tdk mengatakan kejelekan si A ke politisi itu meskipun dalam kenyataannya si B telah melakukan sebaliknya. Kalau tidak berbohong, yang terjadi bukan pendamaian antara A dan B, tetapi malah sebaliknya.
Tetapi sekali lagi, berbohong ini juga ada batas-batasnya. Dan kata yang saya pakai adalah "boleh berbohong", yang tidak berarti "harus berbohong".