Virus Kepalsuan
Kategori:
Media Massa
Tulisan ini saya sadur dari Kolom Analisis, harian Kedaulatan Rakyat, yang dimuat pada tanggal 22 Januari 2007. Tulisan tersebut ditulis oleh Bambang Purwoko, dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM, Yogyakarta. Kalau apa yang dilansir Pak Bambang ini benar adanya, sudah saatnya kita melakukan introspeksi.
Virus Kepalsuan
Oleh: Bambang Purwoko
Ada banyak cara untuk melihat watak dan perilaku masyarakat Indonesia. Film dan sinetron adalah salah satunya. Jika film dan sinetron kita lebih banyak berisi adegan kebohongan, sedangkan penonton pun senang dan menikmatinya, berarti kita hidup di tengah masyarakat penikmat kepalsuan. Atau bahkan diri kita adalah bagian dari kepalsuan itu. Penyakit akut virus kepalsuan sudah menjalar di mana-mana.
Kepalsuan dan kebohongan menjadi watak kehidupan di hampir semua bagian. Banyaknya kecelakaan mengerikan pada sarana transportasi massal dalam beberapa tahun terakhir adalah produk dari kepalsuan. Pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus kota, angkutan kota, dan sarana transportasi lain banyak yang sudah tidak layak jalan. Tetapi lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas tidak hirau dengan masalah itu. Surat izin kelayakan tetap saja dikeluarkan. Surat izin kelayakan palsu, tentu saja. Negara mengalami impotensi dan tidak mampu melindungi masyarakat dari bobroknya sistem dan sarana tranportasi. Negara juga impoten di bidang yang lain.
Gaya hidup modern, pertumbuhan ekonomi, bahkan perilaku religius pun ditampilkan penuh kepalsuan. Di bidang politik, kepalsuan terjadi secara lebih menggila lagi. Pembuatan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, sampai ke Peraturan Menteri adalah contoh betapa kepalsuan telah merasuk di level elite sehingga berdampak pada semakin rusaknya kehidupan masyarakat.
Dalam bayangan kita sebagai masyarakat awam, UU, PP, atau Peraturan Menteri adalah kebijakan publik yang dibuat berdasarkan norma-norma ideal untuk kepentingan masyarakat. Para pembuat kebijakan diasumsikan adalah mereka yang memiliki kepribadian dan orientasi yang selalu didedikasikan untuk rakyat. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Undang-undang, PP, dan sejenisnya adalah produk permainan dan rebutan kepentingan ekonomi politik para elite. Peraturan perundang-undangan lebih banyak dibuat berdasarkan kepentingan dan kebutuhan para pembuatnya. Bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Munculnya isu dan pelicin Rp. 2,5 M dari Asosiasi DPRD untuk memuluskan pasal 'rapelan' dalam penyusunan PP 37/2006 sebenarnya bukanlah hal yang mengagetkan. Selama ini, proses penyusunan UU selalu sarat dengan tudingan jual beli pasal. Masyarakat sudah lama tahu bahwa harga atau biaya pengesahan sebuah pasal dalam UU bisa mencapai jutaan rupiah untuk satu anggota legislatif. Artinya, biaya pembuatan UU mulai dari proses penyusunan, pembahasan sampai pengesahan bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Terkatung-katungnya proses penyusunan dan pembahasan RUU Keistimewaan DIY selama bertahun-tahun, bisa jadi, juga disebabkan oleh tidak kuatnya dukungan anggaran bagi RUU tersebut.
Biaya yang besar dalam pembuatan Undang-undang mengindikasikan dua hal penting. Pertama, para pembuat kebijakan menganggap bahwa pembuatan UU adalah sebuah proyek yang bisa dimanipulir untuk meraup keuntungan finansial, baik untuk pribadi maupun kelompok politiknya. Kedua, karena titik berat orientasi pembuatan UU lebih pada keuntungan finansial, perhatian terhadap substansi materi dan kebutuhan masyarakat sebagai subjek yang diatur tidak dianggap sebagai hal penting.
Adalah keliru kalau kita membayangkan bahwa mereka yang berada di pusat kekuasaaan (baik eksekutif maupun legislatif) adalah mereka yang peduli kepada rakyat. Juga keliru kalau orang daerah berharap bahwa pejabat-pejabat di Jakarta adalah meereka yang selalu memikirkan dan bekerja untuk memajukan daerah. Walaupun bekerja di Departemen atau Direktorat yang mengurusi daerah, mereka bahkan tidak sepenuhnya paham berbagai persoalan di daerah. Apalagi berpikir dan bertindak untuk memajukan daerah.
Anggota legislatif di pusat kebanyakan hanya sibuk mengurusi masalah-masalah yang sekiranya membawa keuntungan bagi dirinya selama masa kerjanya yang lima tahun, atau membawa keuntungan jangka panjang bagi partainya. Beberapa teman anggota DPR mengeluhkan kinerja koleganya secara umum. Baik karena alasan sistemik ataupun karena keterbatasan individu. Sebagian besar anggota DPR tidaklah bekerja untuk rakyat. Mereka sibuk dengan urusan-urusan sendiri.
Bagaimana kita harus menyikapi masalah-masalah ini? Pastilah kita sepakat bahwa virus kepalsuan harus diberantas tuntas. Tetapi, darimana harus mulai? Tidak ada solusi yang mudah untuk jangka pendek. Penguatan kesadaran politik rakyat menjadi salah satu aspek penting. Kalau politisi-politisi kita di lembaga legislatif tidak berpihak kepada rakyat, solusinya ya jangan pilih partainya. Bagaimana dengan mereka yang duduk sebagai pejabat di departemen-departemen pemerintah? Kita hanya berharap bahwa presiden (dan para stafnya yang kompeten dan berdedikasi pada semua level) bisa segera merealisir janjinya untuk bersikap lebih tegas lagi dalam manajemen pemerintahan dan pelayanan publik.
Kepalsuan dan kebohongan menjadi watak kehidupan di hampir semua bagian. Banyaknya kecelakaan mengerikan pada sarana transportasi massal dalam beberapa tahun terakhir adalah produk dari kepalsuan. Pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus kota, angkutan kota, dan sarana transportasi lain banyak yang sudah tidak layak jalan. Tetapi lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas tidak hirau dengan masalah itu. Surat izin kelayakan tetap saja dikeluarkan. Surat izin kelayakan palsu, tentu saja. Negara mengalami impotensi dan tidak mampu melindungi masyarakat dari bobroknya sistem dan sarana tranportasi. Negara juga impoten di bidang yang lain.
Gaya hidup modern, pertumbuhan ekonomi, bahkan perilaku religius pun ditampilkan penuh kepalsuan. Di bidang politik, kepalsuan terjadi secara lebih menggila lagi. Pembuatan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, sampai ke Peraturan Menteri adalah contoh betapa kepalsuan telah merasuk di level elite sehingga berdampak pada semakin rusaknya kehidupan masyarakat.
Dalam bayangan kita sebagai masyarakat awam, UU, PP, atau Peraturan Menteri adalah kebijakan publik yang dibuat berdasarkan norma-norma ideal untuk kepentingan masyarakat. Para pembuat kebijakan diasumsikan adalah mereka yang memiliki kepribadian dan orientasi yang selalu didedikasikan untuk rakyat. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Undang-undang, PP, dan sejenisnya adalah produk permainan dan rebutan kepentingan ekonomi politik para elite. Peraturan perundang-undangan lebih banyak dibuat berdasarkan kepentingan dan kebutuhan para pembuatnya. Bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Munculnya isu dan pelicin Rp. 2,5 M dari Asosiasi DPRD untuk memuluskan pasal 'rapelan' dalam penyusunan PP 37/2006 sebenarnya bukanlah hal yang mengagetkan. Selama ini, proses penyusunan UU selalu sarat dengan tudingan jual beli pasal. Masyarakat sudah lama tahu bahwa harga atau biaya pengesahan sebuah pasal dalam UU bisa mencapai jutaan rupiah untuk satu anggota legislatif. Artinya, biaya pembuatan UU mulai dari proses penyusunan, pembahasan sampai pengesahan bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Terkatung-katungnya proses penyusunan dan pembahasan RUU Keistimewaan DIY selama bertahun-tahun, bisa jadi, juga disebabkan oleh tidak kuatnya dukungan anggaran bagi RUU tersebut.
Biaya yang besar dalam pembuatan Undang-undang mengindikasikan dua hal penting. Pertama, para pembuat kebijakan menganggap bahwa pembuatan UU adalah sebuah proyek yang bisa dimanipulir untuk meraup keuntungan finansial, baik untuk pribadi maupun kelompok politiknya. Kedua, karena titik berat orientasi pembuatan UU lebih pada keuntungan finansial, perhatian terhadap substansi materi dan kebutuhan masyarakat sebagai subjek yang diatur tidak dianggap sebagai hal penting.
Adalah keliru kalau kita membayangkan bahwa mereka yang berada di pusat kekuasaaan (baik eksekutif maupun legislatif) adalah mereka yang peduli kepada rakyat. Juga keliru kalau orang daerah berharap bahwa pejabat-pejabat di Jakarta adalah meereka yang selalu memikirkan dan bekerja untuk memajukan daerah. Walaupun bekerja di Departemen atau Direktorat yang mengurusi daerah, mereka bahkan tidak sepenuhnya paham berbagai persoalan di daerah. Apalagi berpikir dan bertindak untuk memajukan daerah.
Anggota legislatif di pusat kebanyakan hanya sibuk mengurusi masalah-masalah yang sekiranya membawa keuntungan bagi dirinya selama masa kerjanya yang lima tahun, atau membawa keuntungan jangka panjang bagi partainya. Beberapa teman anggota DPR mengeluhkan kinerja koleganya secara umum. Baik karena alasan sistemik ataupun karena keterbatasan individu. Sebagian besar anggota DPR tidaklah bekerja untuk rakyat. Mereka sibuk dengan urusan-urusan sendiri.
Bagaimana kita harus menyikapi masalah-masalah ini? Pastilah kita sepakat bahwa virus kepalsuan harus diberantas tuntas. Tetapi, darimana harus mulai? Tidak ada solusi yang mudah untuk jangka pendek. Penguatan kesadaran politik rakyat menjadi salah satu aspek penting. Kalau politisi-politisi kita di lembaga legislatif tidak berpihak kepada rakyat, solusinya ya jangan pilih partainya. Bagaimana dengan mereka yang duduk sebagai pejabat di departemen-departemen pemerintah? Kita hanya berharap bahwa presiden (dan para stafnya yang kompeten dan berdedikasi pada semua level) bisa segera merealisir janjinya untuk bersikap lebih tegas lagi dalam manajemen pemerintahan dan pelayanan publik.
No comments:
Post a Comment