"Mama N bohong"
Kategori:
Keluarga
Pulang dari kantor memang sudah terlalu sore. Atau lebih tepatnya sudah petang. Capek, sih. Namun biasanya, masih saya sempatkan untuk bermain dengan anak pertama saya sambil ngobrol. Namun saat itu, bukan anak saya yang cerita, tetapi isteri saya. Isteri saya cerita tentang anak saya, tentang apa yang disampaikan anak saya tadi siang.
Siang tadi, anak saya bermain dengan anak tetangga. Sebut saja bernama N. N ini lebih muda 1.5 tahun dibandingkan dengan anak saya. Siang itu mereka bermain dengan riang. Berbagai permainan sudah mereka lakukan sampai waktu lewat jam 12 siang. Datanglah mama N mau mengajak anaknya pulang.
"N, pulang yuk. Kita mau pergi ke rumah Eyang (kakek/nenek)". Begitulah apa yg disampaikan mama N, mungkin bertujuan untuk membuat anaknya mau pulang. Maka pulanglah si N.
Ditinggal temannya, anak saya agak sedikit kecewa, belum puas dengan permainan mereka. Dia pun berdiri dekat jendela yang menghadap jalan. Karena rumah saya dan rumah keluarga N dekat, kami bisa melihat keluarga N jika keluar dari rumah lewat jendela tersebut. Mungkin anak saya ingin memastikan bahwa keluarga N akan pergi.
Setelah lama ditunggu, ternyata keluarga N tidak keluar. Anak saya tahu pasti bahwa N tidak pergi ke rumah Eyangnya. Sambil uring-uringan, anak saya bilang ke mamanya. Kira-kira seperti ini apa yang disampaikan:
"Ma, ternyata mama N bohong. Katanya mau pergi. Ternyata mereka tidak kemana-mana. Mama N bohong. Wong sudah besar, kok bohong ya, Ma? Anak kecil saja tidak boleh bohong. Tetapi kalau orang besar boleh bohong. ".
Isteri saya kaget juga mendengar ungkapan hati tersebut. Ungkapan dari seorang anak yang berumur 5 tahun. Dan isteri saya tidak bisa berucap apa-apa untuk membela "orang besar".
Selama ini, memang kami berusaha untuk mengajarkan kejujuran terhadap anak saya. Dan kami sendiri berusaha untuk jujur dan menepati janji. Jangan heran kalau kami lebih suka membiarkan anak saya menangis meminta sesuatu yang tidak bisa kami penuhi, daripada berjanji memenuhi yang kami sendiri tidak merasa yakin mampu memenuhi permintaanya. Meskipun janji yang kemungkinan kosong tersebut bisa membikin anak saya berhenti menangis.
Kalau kami tidak memenuhi janji, yang terbayang di anak saya bukan masalah janjinya, tetapi kebohongan kami. Itulah masalah terbesarnya, yang pada akhirnya hilanglah kepercayaan anak saya terhadap kami sebagai orang tua. Kalau anak saya tidak percaya ke kami, siapa lagi yang bisa dia percaya selain orang-orang di luar rumah kami tentunya.
Siang tadi, anak saya bermain dengan anak tetangga. Sebut saja bernama N. N ini lebih muda 1.5 tahun dibandingkan dengan anak saya. Siang itu mereka bermain dengan riang. Berbagai permainan sudah mereka lakukan sampai waktu lewat jam 12 siang. Datanglah mama N mau mengajak anaknya pulang.
"N, pulang yuk. Kita mau pergi ke rumah Eyang (kakek/nenek)". Begitulah apa yg disampaikan mama N, mungkin bertujuan untuk membuat anaknya mau pulang. Maka pulanglah si N.
Ditinggal temannya, anak saya agak sedikit kecewa, belum puas dengan permainan mereka. Dia pun berdiri dekat jendela yang menghadap jalan. Karena rumah saya dan rumah keluarga N dekat, kami bisa melihat keluarga N jika keluar dari rumah lewat jendela tersebut. Mungkin anak saya ingin memastikan bahwa keluarga N akan pergi.
Setelah lama ditunggu, ternyata keluarga N tidak keluar. Anak saya tahu pasti bahwa N tidak pergi ke rumah Eyangnya. Sambil uring-uringan, anak saya bilang ke mamanya. Kira-kira seperti ini apa yang disampaikan:
"Ma, ternyata mama N bohong. Katanya mau pergi. Ternyata mereka tidak kemana-mana. Mama N bohong. Wong sudah besar, kok bohong ya, Ma? Anak kecil saja tidak boleh bohong. Tetapi kalau orang besar boleh bohong. ".
Isteri saya kaget juga mendengar ungkapan hati tersebut. Ungkapan dari seorang anak yang berumur 5 tahun. Dan isteri saya tidak bisa berucap apa-apa untuk membela "orang besar".
Selama ini, memang kami berusaha untuk mengajarkan kejujuran terhadap anak saya. Dan kami sendiri berusaha untuk jujur dan menepati janji. Jangan heran kalau kami lebih suka membiarkan anak saya menangis meminta sesuatu yang tidak bisa kami penuhi, daripada berjanji memenuhi yang kami sendiri tidak merasa yakin mampu memenuhi permintaanya. Meskipun janji yang kemungkinan kosong tersebut bisa membikin anak saya berhenti menangis.
Kalau kami tidak memenuhi janji, yang terbayang di anak saya bukan masalah janjinya, tetapi kebohongan kami. Itulah masalah terbesarnya, yang pada akhirnya hilanglah kepercayaan anak saya terhadap kami sebagai orang tua. Kalau anak saya tidak percaya ke kami, siapa lagi yang bisa dia percaya selain orang-orang di luar rumah kami tentunya.
No comments:
Post a Comment