Wednesday, March 26, 2008

Ternyata Mengajak Bercanda

Percakapan pagi hari antara seorang ayah dan anaknya menjelang sekolah.
Ayah : "Mas, mandi. Cepat yuk, sudah siang nih"
Anak : "Aah, ayah. Masih mau nonton film"
Ayah : "Tetapi ini sudah siang, Mas. Nanti terlambat sekolah loh"
Anak : "Yaaah.... Tetapi cepat ya!"

Akhirnya, si anak mau mandi juga. Mungkin karena acara TVnya sedang iklan. Dengan segera si ayah memandikan. Karena tadi sudah janji untuk mandi dengan cepat, acara mandi itu bisa berakhir dengan cepat.
Anak : "Loh, kok mandinya cepat?" (Tanyanya dengan penuh rasa heran)
Ayah : "Tadi katanya ingin cepat?" (Balik tanya dengan tidak kalah heran)
Anak : "Oh, iya. Ha... ha... ha... "

Si anak berkata sambil tertawa. Si ayah tidak menyangka bahwa si anak akan tertawa, sehingga tidak ikut tertawa. Tetap dengan wajah datar.
Anak : "Kok ayah tidak ikut tertawa?" (sambil cemberut)
Ayah : "Lah, kenapa ayah harus tertawa?" (masih tidak menyadari)

Si anak pun lari sambil menangis dan merengek ke mamanya. Si mama bertanya kenapa menangis. Si anak pun mengadu bahwa ayah tidak ikut tertawa padahal dia tadi sedang menggoda si ayah. Si mama pun menyampaikan keheranannya ke ayah kenapa tertawa saja tidak mau.

Sambil berangkat mandi, si ayah juga berpikir kenapa tadi tidak ikut tertawa. Dalam hati berpikir apakah dia sudah kehilangan perasaannya sehingga tidak tahu kalau sedang diajak bercanda oleh si anak, karena memang tidak lucu. Setelah selesai mandi, si ayah minta maaf ke si anak.
Ayah : "Mas, sini.. Maaf, ya. Ayah tadi tidak tahu kalau diajak bercanda."
Anak : "Nggak mau!" (tetap dengan wajah cemberut)

Setelah agak lama barulah si anak mau memberi maaf.
Si ayah merasa menyesal juga. Mungkin dalam kasus tertentu, tidak apa-apalah kalau sedikit berpura-pura. Apalagi buat anak kecil seperti itu, yang sedang ingin bercanda dengan si ayah meskipun candaan itu mungkin tidak lucu buat si ayah.

Selengkapnya...

Kebohongan dan Kemaksiatan

"I want my money back. Before I decied to rent the house, I had asked Bu Kost whether he could stay with me. I also said that he did not marry me. And she said that it's okay. But now, you see. That people came at a night and took him from me. Since that night I should stay by myself. And now I am very afraid. I always remember what they did to him. I am not able to stay at the house anymore. I want to leave it. Because don't have money at all, I want my money back. Bu Kost has to understand," kata tetangga yang menyewa sebuah rumah. Tentunya hanya kira-kira.

Bingung juga mendengar penjelasannya. Bukan karena masalah bahasa Inggrisnya, tetapi bingung apa yang harus kami lakukan. Dia yang berasal dari Rumania ini menjelaskan bahwa sudah minta ijin ke Bu Kost agar teman lelakinya ini bisa tinggal bersamanya meskipun belum menikah. Dan ibu kostnya setuju. Tetapi kenyataannya, belum genap 1 bulan rumah kontrakan itu digerebek warga. Dan membawa laki-lakinya pergi setelah sempat dipukuli karena tidak bisa menunjukkan surat nikah.

Saat ini, posisi kami hanya sebagai penerjemah antara dia dengan Bu Kost, karena Bu Kost tidak bisa Bahasa Inggris. Yang kami bingungkan adalah pernyataan yang berbeda antara dia dan Bu Kost. Bu Kost bilang bahwa mereka (orang Rumania dan laki-laki itu) pernah bilang bahwa mereka sudah menikah sehingga Bu Kost mengijinkan untuk tinggal bersama. Tetapi orang Rumania bilang bahwa mereka tidak pernah bilang seperti itu.

Jadinya, karena Bu Kost merasa sudah tahu bahwa mereka resmi suami-isteri, jika ternyata informasi yang diberikan salah maka itu bukan kesalahan Bu Kost. Makanya Bu Kost tidak mau mengembalikan uang sewa. Sedangkan orang Rumania sebaliknya. Karena sudah memberitahu bahwa mereka bukan suami-isteri dan sudah dapat ijin, kesalahan ada di Bu Kost. Dan dia berhak mendapat uang sewa itu kembali, apalagi dia tidak punya uang lagi setelah membayar uang sewa itu.

Tentu saja kami bingung menghadapi 2 orang, yang masing-masing mempunyai pendapat yang bertolak belakang. Karena di situ kami bukan penghubung, hanya penerjemah, kami tidak ingin mengambil keputusan. Semuanya kami serahkan ke mereka, sampai ada salah satu yang mengalah. Kami juga tidak ingin menyelidiki siapa yang berbohong di antara mereka karena kami bukan detektif. Bila ada 2 pernyataan yang bertolak belakang seperti itu, pasti ada salah satu yang berbohong atau bahkan dua-duanya.

Setelah capek, padahal saat itu pembicaraan dengan Bu Kost hanya bisa dilakukan lewat telpon, orang Rumania itu kami antar pulang meski dengan cara agak memaksa. Tetapi kami meyakinkan dia bahwa esok pagi masalah ini akan dirundingkan dengan tetangga lain yang berprofesi sebagai polisi.

Ada pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini. Meskipun tidak tahu mana yang bohong, tetapi bisa dipastikan salah seorang dari mereka telah berbohong. Dan betapa sering terjadi bahwa ada kaitan erat antara kebohongan dan kemaksiatan.

Semoga kita terhindar dari perbuatan yang demikian. Amiin.

Selengkapnya...

Tuesday, March 25, 2008

Menggapai Bahagia..

Hidup bahagia adalah dambaan setiap orang. Tetapi kebahagiaan ini tidak bisa datang dengan sendirinya. Kebahagiaan harus diusahakan untuk hadir. Ada unsur usaha yang perlu dilakukan agar hal itu tercapai. Berikut ini adalah sebab-sebab agar tercapai hidup bahagia menurut majalah SwaraQuran (No. 7, Tahun ke-5):
  1. Iman dan Tauhid, iman hanya kepada Allah SWT sebagai satu-satunya penguasa dan yang mengatur segala hal.
  2. Mensucikan jiwa, bersungguh-sunguh mensucikan jiwa hingga tercapai derajat ihsan. Pensucian hanya dapat dilakukan dengan tauhid, menjalankan kewajiban, meninggalkan yang haram, dan rajin melaksanakan sunnah.
  3. Shalat, dengan shalat seorang manusia dalam posisi yang paling dekat dengan Rabbnya
  4. Qonaah dan Ridha dengan Ketentuan Allah SWT, merasa puas dengan karunia Allah SWT dan yakin bahwa pilihan Allah SWT untuknya itu lebih baik daripada pilihannya sendiri.
  5. Banyak mengingat Allah SWT, merupakan sebab penting ketenangan jiwa dan berpengaruh menghilangkan kesusahan dan kesedihan.
  6. Ilmu yang bermanfaat, akan melapangkan dada karena kebodohan akan menimbulkan kesempitan dan keterkungkungan.
  7. Berbuat baik kepada sesama, sesungguhnya orang yang dermawan dan suka menolong adalah manusia yang paling lapang dadanya dan paling ceria hatinya.
  8. Tidak berlebih-lebihan dalam 6 hal, yaitu dalam hal memandang, berbicara, mendengar, bergaul, makan dan tidur.
  9. Rasa cinta kepada Allah SWT, dengan cinta akan merasa nikmat saat beribadah kepada-Nya.
  10. Taubat dan istighfar
  11. Syukur ketika mendapat nikmat
  12. Bersabar saat mendapatkan bencana
  13. Doa dan membaca Al-Qur'an, akan merasakan ketenangan dan ketentraman.
  14. Hati yang tegar, hanya bersandar dan bertawakkal kepada Allah SWT semata.
  15. Bersahabat dengan orang-orang shalih, bergaul dengan orang yang merasakan bahagia hakiki akan terpengaruh dengan mereka dan akan mengikuti jejak langkah mereka.
  16. Optimis memandang hidup, putus asa merupakan sumber kesedihan, keresahan dan keguncangan batin.
  17. Umur panjang diisi dengan amal shalih
  18. Berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturrahim, akan menimbulkan ketenangan dan kebahagian.
  19. Penghasilan yang halal, juga akan menenangkan hati.
  20. Isteri yang shalihah
  21. Tetangga yang baik
  22. Rumah yang lapang
  23. Kendaraan yang menyenangkan

Selengkapnya...

Saturday, March 15, 2008

Jujurlah dan Allah Mencintaimu

Di luar gedung hujan turun dengan deras. Masih dengan setia mengunjungi setiap stand di pameran buku-buku Islam di Wanitatama. Saat itu saya sedang mencari sebuah buku yang diterbitkan oleh Pustaka Ibnu Katsir. Akhirnya sampailah ke stand penerbit tersebut. Sedikit kecewa karena tidak menemukan buku yang saya cari. Kata penjaga stand, buku itu memang belum diterbitkan.

Karena memang tujuan utama hanya mencari buku itu, saya langsung menuju pintu keluar untuk pulang. Hujan masih sangat deras, akhirnya iseng-iseng mampir ke stand dekat pintu keluar. Seperti biasa, tidak sengaja saya menemukan sesuatu yang terkait dengan tema blog ini. Sebuah buku yang judulnya adalah "Jujurlah dan Allah Mencintaimu".

Sekilas saya baca, dan saya menemukan 3 pendapat yang menarik tentang kejujuran. Bukan bermaksud membandingkan kebesaran dari ketiga orang tersebut, jika pendapat mereka saya tulis di blog ini.

Pendapat pertama dari Aristoteles. Dari orang ini, buku tersebut ingin menunjukkan bahwa kejujuran itu memang fitrah manusia, dan bersifat universal, yang seharusnya melekat ke setiap dada manusia.

Pendapat kedua dari Khalifah Islam, Umar bin Khaththab ra. Sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal tegas dan keras. Dan pendapat terakhir dari Nabi Muhammad SAW, nabi akhir jaman, yang salah satu ajarannya adalah kejujuran. Dari Nabi Muhammad SAW hanya akan diambil salah satu hadits saja.

Di bawah ini adalah pendapat tersebut:
Aristoteles:
"Sebaik-baik perkataan adalah yang jujur pengucapannya dan bermanfaat bagi pendengarnya."
"Mati demi kejujuran lebih baik dari hidup dengan kebohongan."

Umar bin Khaththab:
Sungguh, sekiranya kejujuran itu merendahkanku, padahal ia jarang merendahkanku, maka itu lebih kusukai daripada derajatku terangkat lantaran kebohongan, dan hal itu jarang terjadi.

Nabi Muhammad SAW:
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sesungguhnya kejujuran itu membimbing kepada kebajikan, dan kebajikan itu membimbing ke surga. Seseorang senantiasa berkata jujur hingga ditetapkan di sisi Allah sebagai shiddiq (orang yang sangat jujur). Dan sesungguhnya dusta itu menuntun kepada kenistaan, dan kenistaan itu menuntun ke neraka. Seseorang senantiasa berdusta hingga ia ditetapkan di sisi Allah sebagai pendusta.

Selengkapnya...

Monday, March 10, 2008

Golongan yang berdusta

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ - صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّينَ

Ayat tersebut adalah 2 ayat terakhir dari surat Al-Fatihah, yaitu Surat dari Al-Qur'an yang setiap hari dibaca minimal 17 kali. Kedua ayat berisi do'a kepada Allah SWT. Menurut terjemahan dari Depag RI, arti dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:
"Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat".

Doa yang setiap hari kita ucapkan 17 kali itu, berisi agar kita ditunjukkan ke jalan yang lurus. Dan jalan yang lurus itu bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan yang sesat. Insya Allah, kita semua paham dengan arti dari ayat-ayat tersebut. Tetapi sudahkah kita mencoba untuk berusaha mewujudkan do'a kita? Atau justeru apa yang akan kita lakukan bertentangan dengan isi do'a itu?

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan terlebih dahulu makna dari "jalan orang yang diberi nikmat". Orang-orang yang diberi nikmat disebutkan dalam An-Nisaa:69:
Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Jadi, orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasulullah. Seseorang disebut taat jika menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan.

Selanjutnya, masih dalam tafsir tersebut, bahwa jalan yang lurus itu bukan jalan dari orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan bukan jalan dari orang-orang yang sesat. Ada 2 istilah berbeda yang muncul di sini, yaitu orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Kedua istilah ini menunjukkan 2 kelompok orang yang berbeda. Yang termasuk ke dalam orang-orang yang dimurkai oleh Allah adalah orang Yahudi, sedangkan yang termasuk ke dalam orang yang sesat adalah orang Nashrani. Petikan dari Al-Maidah:60 menunjukkan golongan yang dimurkai Allah:
... Yaitu, orang yang dilaknat dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi...
Petikan tersebut merujuk ke golongan Yahudi, dimana sebagian dari mereka dijadikan kera dan babi karena melanggar hari Sabat. Sedangan petikan dari Al-Maidah:77 menunjukkan golongan yang sesat:
... Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.
Petikan ayat tersebut merujuk ke golongan Nasharani. Beberapa hadits juga menunjukkan hal yang sama.

Ada sifat mendasar pada golongan Yahudi yang menyebabkan golongan ini dimurkai Allah. Bahwa Yahudi diberi ilmu tentang hukum Allah tetapi tidak diamalkan, bahkan cenderung membangkang terhadap ilmu tersebut. Salah satu kisah tentang pembangkangan ini adalah hadits yang menceritakan tentang orang-orang Yahudi yang menghukum orang yang berzina dengan tidak menggunakan hukum rajam. Saat ditanya Rasulullah, orang-orang tersebut berkata bahwa hukum rajam tidak ada dalam Taurat. Tetapi selanjutnya Rasulullah bisa menunjukkan bahwa hukum rajam itu benar-benar ada dalam Taurat, tetapi mereka tidak mau mempraktekkan. Banyak juga ayat-ayat Al-Qur'an yang menceritakan pembangkangan golongan Yahudi ini.

Sedangkan sifat mendasar pada golongan Nashrani, sehingga mereka tersesat, adalah mereka tidak mempunyai ilmu (hukum Allah) dan mencari ilmu ke sumber yang salah. Sehingga golongan ini melakukan amal tanpa berdasar ilmu.

Dengan kata lain, golongan yang dimurkai adalah golongan yang mengetahui hukum Allah tetapi tidak mengamalkan. Sedangkan golongan yang sesat adalah golongan yang mengamalkan sesuatu tanpa mengetahui hukumnya. Keduanya sama, akan menghasilkan kedustaan dalam beragama. Golongan pertama berdusta bahwa hukum yang seharusnya mereka amalkan tidak ada sehingga tidak perlu diamalkan. Sedangkan golongan kedua berdusta bahwa amalan yang mereka lakukan adalah sesuai dengan hukum Allah, padahal mereka tidak mengetahui secara pasti.

Bagaimana dengan kita, umat Islam? Bagaimana kalau kita mengetahui hukum Allah tetapi tidak mengamalkannya? Apakah kita termasuk golongan yang dimurkai Alah? Bagaimana pula bila kita membuat amalan tanpa mengetahui hukumnya? Apakah kita juga digolongkan sebagai golongan yang sesat?

Wallahu a'lam bishshowab.


Selengkapnya...

Thursday, March 6, 2008

Warung Jujur

Waktu saya kuliah S1 dulu, juga pernah menemui warung jujur seperti yang ditulis di erasmuslim ini. Waktu itu saya tinggal di asrama kampus nan murah. Warung jujur yang di asrama ini dikelola oleh salah seorang karyawan asrama.

Namun kisahnya sedikit berbeda. Kalau di Eramuslim, warung jujur itu terbilang berhasil. Setiap pembeli selalu membayar meskipun tidak ada yang menjaga barang dagangan. Dan menurut penulis, masih di tulisan tersebut, hal itu menunjukkan bahwa lingkungan kampus tempat warung jujur itu adalah lingkungan yang memang bisa dipercaya. Mungkin disebabkan budaya saling percaya sudah cukup kuat di kampus tersebut.

Lain halnya dengan di asrama saya. Beberapa bulan bisnis itu berjalan lancar. Namun, setelah itu, bisnis ini pun tutup. Hal ini disebabkan uang yang diterima tidak sebanding dengan barang dagangan yang laku. Akhirnya bisnis inipun tidak bisa bertahan.

Menurut pengamatan saya, sebenarnya masalah yang muncul bukan karena banyak pembeli yang tidak jujur, alias curang. Tetapi lebih disebabkan oleh ketidakdisiplinan pembeli, yang sebenarnya juga penghuni asrama sendiri. Awalnya mungkin hanya sekedar menunda pembayaran, dengan alasan bahwa pembeli-pembeli tersebut tidak akan kemana-mana. Namun, karena sering menunda, pada akhirnya akan membuat pembeli tersebut lupa dengan jumlah dagangan yang sudah mereka ambil. Akibatnya mereka juga akan lupa dengan nilai uang yang harus mereka bayarkan sehingga hanya mengira-ngira.

Dalam skala yang lebih kecil, warung jujur ini juga ada di Masjid Shalahudin. Ada kios majalah yang menggunakan model warung jujur. Majalah-majalah yang dijual di situ adalah majalah baru tetapi lama, masih baru tetapi edisi lama. Pembeli tinggal mengambil majalah, lalu menaruh uang Rp. 4000 di kotak yang disediakan. Laris juga, meskipun harganya lebih tinggi dibandingkan kalau kita beli di kantor pemasarannya.

Intinya, memang di bisnis ini dibutuhkan tingkat kepercayaan yang tinggi, terutama buat pembeli. Pertama, bahwa pembeli akan jujur, tidak curang. Yang pertama ini sudah jelas. Setiap pembeli harus jujur, tidak bisa ditawar lagi. Kedua, pembeli harus disiplin. Kasus di asrama saya tadi bisa dijadikan contoh. Memang awalnya setiap pembeli tidak bermaksud untuk tidak jujur. Tetapi karena lupa, yang terjadi memberikan efek yang sama, yaitu bisnis itu akan runtuh.

Kasus kedua itu perlu kita waspadai. Awalnya tidak terlihat, tetapi akhirnya sangat berbahaya. Sebagian kasus korupsi terjadi dengan model seperti itu. Awalnya, hanya meminjam uang tanpa sepengetahuan atasan, dan nanti akan dikembalikan. Lama-lama menumpuk dan lupa. Tahu-tahu uang yang harus dikembalikan sangat besar. Akibatnya, tidak bisa bayar. Jadilah ia sebagai terdakwa koruptor.

Semoga bermanfaat...

Selengkapnya...

Tuesday, March 4, 2008

Kejujuran adalah Cermin Kesederhanaan Islam.

Apa yang akan saya tulis di sini adalah hasil kesimpulan saya dari materi kutbah Jum'at di Masjid BRI, tanggal 29 Februari 2008. Kalau ada kesimpulan yang salah, mohon buat pembaca yang sama-sama mengikuti kutbah tersebut berpartisipasi untuk mengoreksi.

Islam mengajarkan umatnya untuk selalu mengedepankan kejujuran. Kejujuran di sini dapat diartikan sebagai apa adanya, tidak neko-neko (tidak macam-macam), dan tidak berbelit-belit. Akan kita lihat bahwa ajaran ini menunjukkan kesederhanaan ajaran Islam.

Islam adalah agama yang mudah. Apapun ajaran yang diberikan Islam, semuanya dapat dilakukan dengan mudah. Setiap orang pasti dapat melakukan perintah maupun menghindari larangan. Jikalau pun ada halangan, Islam akan memberikan keringanan. Kalau ada yang merasa berat, bukan didasarkan pada ketidakmampuan fisik tetapi lebih dikarenakan oleh jiwa manusia itu. Artinya, bahwa tidak menjalankan perintah atau menjauhi larangan itu bukan karena tidak mungkin tetapi karena tidak ingin. Bukan tidak mampu, tetapi tidak mau.

Intinya, bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam setiap ajaran Islam. Semuanya pasti dapat dilakukan. Ini dikarenakan karena ajaran Islam memang dari Sang Maha Pencipta, sehingga mengetahui batas-batas kemampuan manusia sebagai makhluk-Nya. Dengan kata lain, karena ajaran yang diberikan Islam itu mudah, dapat dilakukan siapa saja, maka bisa dikatakan bahwa semua ajaran Islam adalah sederhana.

Istilah sederhana itulah yang muncul dalam makna kejujuran, yaitu tidak neko-neko, melakukan dan bicara apa adanya. Tidak perlu berpikir lama untuk bicara jujur. Karena kejujuran memang tidak perlu memikirkan untung dan rugi. Sampaikan apa adanya.

Tambahan lagi, sifat jujur dalam Islam merupakan sifat wajib bagi seorang Nabi/Rasul. Sifat wajib tersebut adalah shidiq, tabligh dan amanah. Dan tentunya sifat itu juga wajib ditiru oleh umat, karena Rasul umat Islam (Muhammad SAW) adalah uswatun hasanah, suri tauladan yang baik.

Selengkapnya...