Rejeki, Amanah, atau Ujian?
Kategori:
Lingkungan Kerja
Beberapa hari ini saya mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-teman, baik dari teman-teman dosen dan peneliti maupun dari rekan-rekan mahasiswa. Ucapan selamat tersebut berkaitan dengan diterimanya proposal penelitian saya, yang selanjutnya akan didanai oleh Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) - Depdiknas. Pendaanaan itu disebut sebagai hibah. Penelitian tersebut saya rencanakan selama 3 tahun, yang tiap tahunnya membutuhkan dana sekitar Rp. 40 jt.
Alhamdulillah, itu yang terucap pertama kali. Ada 2 hal yang memang harus saya syukuri. Pertama, saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian secara resmi. Memang, penelitian tidak resmi sudah sering saya lakukan. Saya sebut tidak resmi karena memang tidak terdaftar di manapun, dan tidak terjadwal. Istilahnya, semau gue lah. Kalau mau saya lanjutkan, saya lanjutkan. Kalau tidak mau, ya saya tinggalkan. Dan juga bersifat insidentil, misalnya kalau ingin membuat paper atau ada mahasiswa yang mencari judul tugas akhir. Namun untuk penelitian ini, saya tidak bisa berbuat seperti itu.
Kedua, ada limpahan rejeki. Sebagian dari dana yang saya ajukan tadi adalah honorarium untuk peneliti, termasuk saya sebagai peneliti utama. Sedikit buka rahasia, sekitar 15% dari dana tersebut akan masuk ke kantong saya. Tidak besar sih, jika dibandingkan dengan penghasilan mengerjakan proyek dari luar institusi. Tetapi kepuasan meneliti memang tidak bisa diganti dengan uang. Apalagi jika hasilnya dapat dimanfaatkan oleh orang banyak.
Namun, ada yang tidak boleh dilupakan. Dana hibah tersebut adalah dana bantuan dari pemerintah lewat Dikti, bertujuan untuk membantu peneliti agar dapat melakukan penelitian dan menghasilkan produk yang berguna. Berarti peneliti sudah diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola uang negara untuk kepentingan penelitian. Karena pemerintah adalah kepanjangan tangan rakyat, berarti saya juga sudah diberi kepercayaan oleh rakyat.
Sebuah amanah yang tidak ringan. Dengan kepercayaan itu, saya dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan penelitian sehingga penelitian saya berhasil. Memang keberhasilan penelitian ditentukan oleh Yang Di Atas. Namun, saya punya kewajiban untuk berusaha, tetap konsisten, dan tentunya tidak lupa berdoa agar berhasil. Ada ratusan juta manusia yang akan meminta pertanggung-jawaban ke saya. Kalau tidak bisa di dunia, pasti bisa diminta di alam yang lain.
Selain itu, penggunaan dana juga harus selalu saya ingat. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, dari sekian juta dana yang saya usulkan, 15% adalah gaji saya dan sisanya untuk keperluan penelitian. Berarti 85% bukan uang saya, yang sekarang ada di tangan saya. Jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan honorarium saya.
Sangat memungkinkan, seandainya saya mengubah proporsi tersebut, tanpa sepengetahuan Dikti. Caranya juga tidak sulit, yaitu dengan memanipulasi laporan akhir tahun, yang setiap tahun akan saya buat. Contohnya adalah memanipulasi pengeluaran. Misalnya, saya membeli sebuah alat dengan harga Rp. 10 jt, tetapi saya minta ke tokonya untuk membuat bon pembelian dengan harga yang lebih tinggi, misal Rp. 14 jt. Artinya, uang yang saya keluarkan Rp. 10 jt, tetapi saya laporkan Rp. 14 jt. Benarkah cara yang demikian? Menurut saya, itu tidak benar. Tidak perlu sulit-sulit untuk mencari alasan bahwa itu tidak benar, yaitu Tidak Jujur.
Jadi, manakah yang tepat menggambarkan hibah? Rejeki, amanah, atau ujian?
Alhamdulillah, itu yang terucap pertama kali. Ada 2 hal yang memang harus saya syukuri. Pertama, saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian secara resmi. Memang, penelitian tidak resmi sudah sering saya lakukan. Saya sebut tidak resmi karena memang tidak terdaftar di manapun, dan tidak terjadwal. Istilahnya, semau gue lah. Kalau mau saya lanjutkan, saya lanjutkan. Kalau tidak mau, ya saya tinggalkan. Dan juga bersifat insidentil, misalnya kalau ingin membuat paper atau ada mahasiswa yang mencari judul tugas akhir. Namun untuk penelitian ini, saya tidak bisa berbuat seperti itu.
Kedua, ada limpahan rejeki. Sebagian dari dana yang saya ajukan tadi adalah honorarium untuk peneliti, termasuk saya sebagai peneliti utama. Sedikit buka rahasia, sekitar 15% dari dana tersebut akan masuk ke kantong saya. Tidak besar sih, jika dibandingkan dengan penghasilan mengerjakan proyek dari luar institusi. Tetapi kepuasan meneliti memang tidak bisa diganti dengan uang. Apalagi jika hasilnya dapat dimanfaatkan oleh orang banyak.
Namun, ada yang tidak boleh dilupakan. Dana hibah tersebut adalah dana bantuan dari pemerintah lewat Dikti, bertujuan untuk membantu peneliti agar dapat melakukan penelitian dan menghasilkan produk yang berguna. Berarti peneliti sudah diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola uang negara untuk kepentingan penelitian. Karena pemerintah adalah kepanjangan tangan rakyat, berarti saya juga sudah diberi kepercayaan oleh rakyat.
Sebuah amanah yang tidak ringan. Dengan kepercayaan itu, saya dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan penelitian sehingga penelitian saya berhasil. Memang keberhasilan penelitian ditentukan oleh Yang Di Atas. Namun, saya punya kewajiban untuk berusaha, tetap konsisten, dan tentunya tidak lupa berdoa agar berhasil. Ada ratusan juta manusia yang akan meminta pertanggung-jawaban ke saya. Kalau tidak bisa di dunia, pasti bisa diminta di alam yang lain.
Selain itu, penggunaan dana juga harus selalu saya ingat. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, dari sekian juta dana yang saya usulkan, 15% adalah gaji saya dan sisanya untuk keperluan penelitian. Berarti 85% bukan uang saya, yang sekarang ada di tangan saya. Jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan honorarium saya.
Sangat memungkinkan, seandainya saya mengubah proporsi tersebut, tanpa sepengetahuan Dikti. Caranya juga tidak sulit, yaitu dengan memanipulasi laporan akhir tahun, yang setiap tahun akan saya buat. Contohnya adalah memanipulasi pengeluaran. Misalnya, saya membeli sebuah alat dengan harga Rp. 10 jt, tetapi saya minta ke tokonya untuk membuat bon pembelian dengan harga yang lebih tinggi, misal Rp. 14 jt. Artinya, uang yang saya keluarkan Rp. 10 jt, tetapi saya laporkan Rp. 14 jt. Benarkah cara yang demikian? Menurut saya, itu tidak benar. Tidak perlu sulit-sulit untuk mencari alasan bahwa itu tidak benar, yaitu Tidak Jujur.
Jadi, manakah yang tepat menggambarkan hibah? Rejeki, amanah, atau ujian?
3 comments:
wah yg tadinya ga tau jadi tau deh skrg caranya gara2 baris terkahir :D
memang rejekinya bapak bagus, alhamdulillah.. dan sepertinya rejeki itu juga merupakan amanah ya pa. krn ada hasil yg dihasilkan.. klo ujian emmm aku sendiri sering terjebak antara "ini ujian/cobaan apa petunjuk" hehe. aku hanya nginetin. keuntungan yg bisa diambil max 30% mnurut sunnahnya :D.
yang menarik. aku ga percaya pemerintah. krn dr bbrp pengalaman yg saya alami. justru saya terjebak pada kasus2 tertentu. yg akhirnya aku ngerasa "Pemerintah makan duit rakyat, org mau pinter kok dipersulit" klo dah gini yg salah rakyat apa pemerintah.. fiuh. seandainya Rosulullah msh ada aku mau nanya semua langsung ke Beiau...
Wallahu 'alam bishowab
Apa kabar Pak Taufiq...
Mudah2an baik2 aja ya...
Alhamdulillah, kami baik-baik saja, Om Joki.
Bagaimana dengan Om Joki dan isteri? Semoga juga baik-baik saja.
Post a Comment