Thursday, December 24, 2009

Bulan Desember di Dresden (bag. 1)

Di bulan Desember ini, ada beberapa kejadian, yang saya kira perlu dijadikan pelajaran buat kita. Tidak bermaksud menyakiti penganut agama lain, tulisan ini hanya bermaksud memberikan pelajaran buat kaum muslimin, untuk perbaikan diri sendiri. Kebetulan kisahnya (mungkin) terkait dengan kegiatan agama lain. Kegiatan itu adalah Weihnacht.

Kisah Pertama
International Office TU Dresden mengadakan acara Weihnacht Party. Selain mengundang mahasiswa TU Dresden untuk hadir, juga mengundang perwakilan negara-negara lain untuk mengisi acara. Organisasi masyarakat Indonesia di Dresden antusias untuk mengisi acara tersebut, dan menampilkan sebuah tari yang dilakukan berkelompok. Sebagian besar dari penari itu adalah muslim dan muslimah (sekitar 80%). Padahal pesta itu memperingati perayaan agama lain, bukan agama Islam.
Penari ini berlatih berhari-hari karena hampir semuanya belum pernah melakukan tari tersebut. Tentu saja bisa dianggap butuh waktu yang banyak. Apalagi tari ini adalah tari kelompok, yang menuntut kerjasama. Sehingga, meskipun pernah menarikannya, tetapi tetap perlu latihan kekompakan karena sebelumnya mereka bukan satu kelompok tari, hanya dibentuk saat mau tampil. Selain itu, muslim yang lain juga membantu dalam bentuk lain. Misalnya, menyediakan tempat dan memberikan konsumsi bagi penari saat latihan.

Kisah Kedua
Semester ini saya mengikuti kursus bahasa Jerman. Seminggu yang lalu adalah pertemuan terakhir dari kursus tersebut. Nah, di pertemuan terakhir itu, pelajaran diberikan dalam bentuk diskusi. Tema yang didiskusikan adalah tentang Weihnacht. Saya adalah satu-satunya peserta yang muslim. Sedangkan sisanya memeluk agama yang saat ini sedang merayakan Weihnacht. Sebenarnya ada 1 peserta lagi yang berbeda agama tetapi dia tidak hadir di pertemuan terakhir tersebut.
Karena pesertanya dari berbagai negara, mereka menceritakan perayaan Weihnacht di negara-negara masing-masing. Dari diskusi itu, saya dapatkan bahwa semuanya menceritakan tentang pesta perayaannya. Dan tidak menyinggung tentang peribadatan, yang seharusnya menjadi inti perayaan. Memang ada 1 peserta yang menyinggung tentang peribadatan, tetapi disinggung dalam sisi negatif, yaitu sebuah acara yang menjemukan.

Kisah Ketiga
Research group saya juga mengadakan perayaan Weihnacht. Selain mengundang semua staff di research group, juga mengundang mahasiswa S2, tanpa memandang agama masing-masing. Tentu saja ini atas inisiatif professor sebagai kepala research group.
Ceritnya, ada 2 staff research group yang tidak menghadiri, yang membikin kecewa professor itu. Kedua staff itu beragama Islam dan berpandangan bahwa Islam melarang muslim untuk menghadiri acara perayaan hari besar agama lain. Tetapi di sisi lain, ada mahasiswa muslim lain (bahkan banyak) yang mengikuti acara tersebut. Yang intinya, ada muslim yang menganggap bahwa menghadiri perayaan hari besar agama lain adalah boleh (halal).

Kisah Keempat
Ada seorang muslimah muallaf yang bekerja sebagai Au Pair di keluarga Jerman, yang mempunyai 4 orang anak yang masih kecil. Keluarga ini mengaku tidak percaya adanya Tuhan. Dengan kata lain mereka adalah atheis. Muslimah tersebut berpindah agama saat sudah bekerja di keluarga tersebut.
Awalnya mereka membolehkan muslimah tersebut untuk berjilbab. Tetapi lama-kelamaan mereka berusaha melarang sedikit demi sedikit. Awalnya, hanya melarang saat mengantar dan menjemput anak-anak mereka ke sekolah. Lama-lama mereka melarang memakai jilbab saat di rumah. Jadi, hanya saat keluar rumah dan sendirian saja, dia bisa mengenakan jilbabnya.
Puncaknya adalah saat perayaan weihnacht. Awalnya, mereka berencana mengadakan pesta di rumah dengan mengundang keluarga dan teman-temannya. Dan, sudah pasti mereka akan melarang muslimah tersebut untuk mengenakan jilbab saat di rumah. Tetapi mereka membolehkan mengenakan jilbab tersebut asalkan tidak berada di rumah. Padahal itu akan berlangsung selama 2 hari.
Saya tidak bisa membayangkan apa yang ada dalam pikiran mereka. Yang saya tahu, itu akan menjadi masalah besar buat muslimah itu, yang tidak punya saudara sendiri di Dresden karena dia berasal dari sebuah negara di Afrika. Tetapi Alhamdulillah, ada saudara karena agama, seorang muslimah, yang bersedia membantu dengan menampung di rumahnya selama 2 hari tersebut.
Namun, mendekati hari H, keluarga itu berubah pikiran. Pesta itu tidak jadi di keluarga mereka, tetapi ke tempat lain, di kota Stuttgart. Untuk yang terakhir ini, mereka tidak memberi pilihan ke muslimah tadi. Dia harus ikut dan selama itu dia tidak boleh mengenakan jilbab.

Kisah Kelima
Beberapa hari menjelang hari weihnacht anak pertama saya masih sekolah. Sepulang sekolah dia menunjukkan hadiah yang diperoleh dari gurunya. Hadiah itu berupa sebuah buku yang bagus, alhamdulillah. Menurutnya dia dapat hadiah karena prestasi hari itu bagus. Selain dia, ada 4 siswa lagi yang juga mendapat hadiah.
Kemudian dia bercerita. Katanya bahwa hadiah itu berasal dari weihnachtmann. Bu Gurunya yang mengatakan demikian. Menurut Bu Guru, yang berprestasi bagus hari itu akan mendapatkan hadiah dari weihnachtmann.
Karena kita tahu pasti bahwa weihnachtmann itu tidak ada, saya dan isteri saya pun mencoba menerangkan bahwa itu adalah bohong. Hadiah itu bukan berasal dari weihnachtmann tetapi dari Bu Guru atau dari sekolah. Mereka membelinya di toko dekat sekolahan, yang juga dekat dengan rumah tinggal kami. Kami tidak mau anak kami diberi cerita bohong.

(bersambung)

No comments: