Monday, September 14, 2009

Dewasa Dalam Perbedaan

Draft tulisan ini sebenarnya sudah lama saya buat. Tetapi belum saya terbitkan karena belum sempat menyelesaikannya. Makanya, ceritanya masih di Indonesia.

Khotbah Jum'at di sebuah masjid kali ini, cerita tentang hasad. Khotib sangat bersemangat saat berkhotbah. Awalnya, apa yang beliau sampaikan adalah benar. Namun, di bagian akhir khotbah, banyak yang beliau sampaikan adalah tidak tepat.

Tema khotbah yang beliau sampaikan adalah tentang hasad/dengki. Hasad adalah sifat tercela, sifat yang harus dihindari oleh seorang muslim. Definisi hasad adalah merasa tidak senang jika ada orang lain mendapat nikmat, kebahagiaan, ataupun kesuksesan. Sebaliknya, merasa senang jika orang lain mendapat musibah atau kesusahan.

Hasad termasuk perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Bahkan hasad ini bertentangan dengan ajaran Islam, yang selalu mengajarkan umatnya untuk selalu membahagiakan orang lain, turut berduka dan menghibur jika ada tetangga yang kena musibah, dll. Dan khotib, alhamdulillah, cukup berhasil menjelaskan ini termasuk memberikan contoh-contoh yang kongkrit.

Namun sangat disayangkan, hampir di bagian akhir khotbah beliau memberikan contoh yang tidak tepat, yang saya beri sub judul "dewasa dalam perbedaan". Beliau menjelaskan bahwa perbedaan di masyarakat itu memang ada, termasuk dalam Islam. Karena itu sunatUllah, biarkan setiap kelompok menjalankan Islam sesuai dengan pemahamannya. Dan biarkan perbedaan itu tetap ada, tidak perlu saling menyalahkan. Istilah yang beliau pakai adalah menghujat. Di sini beliau memberi beberapa contoh, yang tidak perlu saya sebutkan. Dan, beliau juga menyampaikan bahwa hujatan ini sebagai salah satu bentuk hasad.

Setidaknya itu yang saya pahami dari khotbah tadi. Ada beberapa hal, yang perlu dikoreksi:
1. SunatUllah terhadap suatu kejadian tidak menjamin bahwa Allah SWT meridhoi kejadian itu. Tidak perlu susah-susah untuk mencari contoh, yaitu korupsi. Korupsi yang terjadi memang sudah sunatUllah. Tetapi bukan berarti korupsi diridhoi Allah SWT. Segala kemaksiatan terjadi juga karena sunatUllah, tetapi tidak berarti Allah SWT ridho terhadap segala kemaksiatan tersebut. Kalau berpikirnya seperti tadi, lalu apa gunanya pahala-dosa, dan apa gunanya surga dan neraka.
Kesimpulannya, perbedaan (perpecahan) itu sudah sunatUllah, tetapi tidak berarti bahwa itu diridhoi Allah SWT. Bahkan itu sangat dicela, berdasarkan hadits Nabi SAW tentang perpecahan umat.
2. Khotib tidak bisa membedakan antara hujatan dan koreksi (sebagai nasehat dalam rangka amar ma'ruf - nahi mungkar). Kalau anak kita salah, kemudian kita benarkan, itu disebut sebagai nasehat dan bukan hujatan. Dan khotib menyama-ratakan semua bentuk nasehat ke dalam hujatan. Padahal itu sangat berbeda. Nasehat didasarkan pada ilmu, yang bisa membedakan antara yang hak dengan yang batil. Sedangkan hujatan lebih didasarkan pada hawa nafsu, emosi, dan tanpa ilmu.
3. Semua hujatan adalah karena hasad. Memang kemungkinan pernyataan ini tidak salah Tetapi karena nasehat juga dikategorikan sebagai hujatan, akibatnya nasehatpun dikategorikan sebagai hasad. Ini jelas sekali salah. Apabila kita memberi nasehat ke anak, apakah itu karena hasad? Apakah tidak terbalik? Justeru nasehat itu adalah tanda sayang. Kalau tidak sayang, orang tua tidak akan pernah menasehati anaknya.
4. Ungkapan terakhir yang penting adalah "orang yang menghujat (menurut definisi sang khotib) adalah orang yang merasa paling pintar". Sekali lagi ini adalah pernyataan yang terbalik. Insya Allah, yang benar adalah "orang yang merasa paling pintar adalah orang yang tidak mau dikoreksi".

Beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran:
1. Perbedaan di tengah-tengah umat memang ada. Tetapi, ada perbedaan yang masih diijinkan dan ada perbedaan yang sama sekali tidak diijinkan. Untuk membedakannya, diperlukan dalil Al-Qur'an maupun Al-Hadits.
2. Saat orang lain memberikan nasehat kepada kita (tentu saja berdasar ilmu), janganlah itu dianggap sebagai hujatan, apalagi karena hasad. Nasehat itu adalah tanda bahwa orang yang memberi nasehat sangat sayang kepada kita.
3. Ilmu memang tidak bisa ditinggalkan. Hanya dengan ilmu dan petunjuk Allah SWT, kita bisa membedakan antara yang hak dan yang batil.

2 comments:

Amelia said...

artikel yang menarik dan bermanfaat...

makasih buat info nya..

Romdhoni said...

Terima kasih sudah berbagi hal yang menarik dan bermanfaat, -Sallam-