Taksi
Kategori:
masyarakat umum
Selama ini saya banyak menulis tentang ketidak-jujuran. Kali ini saya akan menulis tentang kejujuran yang saya temui. Hebatnya, kali ini di kota yang terkenal "lebih jahat dari ibu tiri", saya menemukan kejujuran itu.
Turun dari kereta di Stasiun Gambir, seperti biasa saya nyari taksi yang ngetem. Seperti biasa juga, saya naik taksi yang memang sudah dikenal baik. Akhirnya, saya dapat sebuah taksi yang dipiloti oleh sopir dengan logat daerahnya yang kental.
Namun, tidak biasanya, saya lupa daerah tujuan. Nama gedungnya sih saya ingat, Wisma Aldiron. Tetapi saya lupa daerahnya. Padahal Pak Sopirnya lupa dengan nama gedung itu. "Daerah mana ya?". Karena lupa, jawaban saya seperti ini "Eh, mana ya? Kok saya lupa. Apa Pancoran ya?", masih dengan wajah ragu-ragu.
Namun, tidak biasanya, saya lupa daerah tujuan. Nama gedungnya sih saya ingat, Wisma Aldiron. Tetapi saya lupa daerahnya. Padahal Pak Sopirnya lupa dengan nama gedung itu. "Daerah mana ya?". Karena lupa, jawaban saya seperti ini "Eh, mana ya? Kok saya lupa. Apa Pancoran ya?", masih dengan wajah ragu-ragu.
"Oh iya. Betul. Pancoran, pak", kata Pak Sopir, jadi ingat dengan gedung itu.
Masih dengan ragu-ragu, saya ikuti taksi berjalan. Tambah bingung juga waktu ditanya Pak Sopir, "Mau lewat mana?". "Terserah, Pak, saya juga nggak tahu. Saya nggak buru-buru kok", jawabku. Loh, kok saya bilang begitu. Semakin ketahuan dong, kalau saya benar-benar lupa dengan tujuan.
Selama perjalanan, saya benar-benar takut. Apalagi ternyata Pak Sopir mengambil jalan yang berbeda dari biasanya saya lalui. Saya seperti melewati tempat-tempat yang asing. Atau ini akibat saya lupa? Bukan sekali ini saya ke gedung itu dari Stasiun Gambir. Biasanya saya masih tetap bisa mengenali, walaupun saya lupa.
Saat mendekati Tugu Pancoran, saya baru bisa mengenali daerah itu. Dari arah datangnya taksi ke gedung, saya menyadari bahwa memang jalur yang diambil Pak Sopir taksi kali ini berbeda dengan taksi-taksi yang pernah saya pakai. Tidak heran kalau tadi saya tidak mengenali daerah-daerah yang kami lewati.
Di argo meter, saya baca harga yang harus saya bayar. Oh, segitu. Tidak jauh beda dengan sebelum-sebelumnya. Artinya, Pak Sopir tidak berniat untuk berputar-putar agar argonya bisa menunjukkan angka yang lebih besar. Mungkin maksud Pak Sopir untuk menghindari kemacetan yang sering terjadi di Jakarta. Apalagi waktu itu termasuk jam sibuk karena saatnya orang-orang berangkat ke kentor dan anak-anak sekolah berangkat ke sekolah.
"Terima kasih, Pak Sopir. Meskipun penumpangmu ini tidak tahu jalan, engkau tidak memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak."
Selengkapnya...