Showing posts with label masyarakat umum. Show all posts
Showing posts with label masyarakat umum. Show all posts

Thursday, December 10, 2009

Kuda Troya

Orang-orang informatika mengenal istilah Kuda Troya (Trojan Horse) sebagai sebuah jenis virus komputer. Secara sederhana, cara kerja virus ini adalah menumpang di sebuah software, yang mungkin kita perlukan. Saat kita menggunakan software ini, virus itu akan bekerja. Dan kebanyakan kita tidak menyadarinya karena kita pikir bahwa yang bekerja adalah software yang kita gunakan itu.

Penggunaan istilah Kuda Troya ini tentu saja ada latar belakangnya. Hal itu disebabkan karena cara kerja virus itu yang memang mirip (atau memang sengaja meniru) kisah Kuda Troya dalam sejarah (mitos?) Yunani. Berikut kisah singkatnya:

Alkisah, terjadi peperangan antara kerajaan Yunani dengan kerajaan Troya. Sebenarnya dalam peperangan itu, Yunani bisa mengalahkan Troya. Tetapi Yunani tidak berhasil menembus benteng pertahanan Troya. Yunani membuat strategi agar bisa menembus benteng Troya.
Komandan perang Yunani membuat patung kuda dari kayu yang cukup besar, yang perutnya berongga. Kemudian perut itu diisi dengan pasukan Yunani, termasuk komandannya. Patung kuda ini dibawa saat peperangan. Dalam peperangan itu, pasukan Yunani melarikan diri dengan sengaja dan meninggalkan satu orang tentara dan patung kuda tersebut. Saat bertemu dengan pasukan Troya, tentara yg tertinggal ini pura-pura marah ke pasukan Yunani yang meninggalkannya sendirian. Dia juga meyakinkan pasukan Troya bahwa patung kuda ini aman.
Pasukan Troya merasa meraih kemenangan dan mendapat rampasan patung kuda yang sangat besar dan bagus. Mereka membawa patung kuda dan tentara itu masuk ke dalam benteng. Saat mereka terlelap di malam hari setelah berpesta atas kemenangan mereka, pasukan Yunani yang berada di dalam patung kuda keluar dan menyerang kerajaan Troya dari dalam. Pasukan Yunani ini juga bisa membuka benteng dari dalam dan memasukkan pasukan yang lain, yang sudah siap di luar benteng. Dengan mudah mereka dapat mengalahkan kerajaan Troya.

Buat orang Indonesia, mungkin tidak mengingat kisah ini karena hanya belajar sekali saja, yaitu saat mengikuti pelajaran sejarah di SMA. Itupun sangat kecil dibandingkan dengan keseluruhan materi pelajaran sejarah. Tetapi kisah ini sebenarnya tidak pernah hilang, bahkan tetap dijaga dan menjadi inspirasi orang-orang yang berhati jahat. Salah satunya adalah jenis virus yang saya tampilkan di muka.

Saya tampilkan kisah itu di blog dengan tujuan bukan untuk meniru strategi pasukan Yunani ini yang sebenarnya tidak jantan dan tidak ksatria, melainkan agar kita waspada karena masih banyak orang jahat yang menirunya. Sejarah Indonesia sebenarnya banyak mencatat peristiwa-peristiwa yang sengaja atau tidak meniru strategi ini.

Contohnya adalah pada masa penjajahan bangsa kita ini. Saat itu hampir semua negara-negara penjajah menerapkan strategi pecah-belah dan kuasai. Untuk menerapkan strategi pecah-belah, mereka berpura-pura menjadi sahabat atau rekan bisnis. Setelah sebagian dari bangsa kita menganggap sebagai teman yang baik, mereka mempengaruhinya sehingga akhirnya mereka memisahkan dirinya. Biasanya mereka juga menjanjikan bantuan untuk mendukungnya, meskipun pada akhirnya mereka menyatakan bahwa bantuan itu tidak gratis.

Contoh lain adalah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Saat itu Belanda kesulitan menghadapi rakyat Aceh, yang persenjataannya jauh kalah lengkap. Strategi pecah-belah pun tidak bisa diterapkan karena keyakinan agama mereka yang kuat. Selanjutnya, mereka menerapkan strategi yang hampir mirip. Mereka menempatkan Snouck Hurgronje ke dalam, dengan mengaku-aku beragama Islam. Snouck ini sudah belajar Islam sebelumnya, hapal Al-Qur'an, dan juga sudah 'beribadah' haji. Rakyat Aceh menerima kehadirannya. Namun, ternyata Snouck ini menyerang dari dalam, dengan melemahkan semangat perlawanan mereka. Akhirnya, seperti tercatat dalam sejarah, Aceh pun jatuh ke tangan Belanda.

Sejarah kita juga mencatat, bahwa strategi ini sebenarnya tidak hanya dalam level peperangan fisik, namun juga dalam peperangan pemikiran dan keyakinan.

Contoh yang paling dekat dengan masa kita adalah sebuah partai yang dinyatakan sebagai partai terlarang sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Partai ini tergolong berhasil dengan membuat banyak organisasi masuk ke dalamnya. Strategi yang mereka terapkan disebut sebagai infiltrasi. Mereka menempatkan anggota partainya untuk menjadi anggota organisasi yang lain, yang tentunya tidak mencurigainya. Seiring berjalannya waktu, anggota ini 'menyerang' dari dalam, menempati posisi strategis dan mempengaruhi anggota-anggota yang lain sehingga akhirnya mereka sepakat membawa organisasi ini menjadi organisasi di bawah partai tersebut.

Snouck Hurgronje tadi tidak hanya menerapkan strategi ini dalam peperangan fisik seperti di Aceh, tetapi juga dalam peperangan melawan keyakinan Islam. Pengaruh dia ternyata sampai ke tanah Jawa. RA Kartini -bangsa kita pasti mengenal dia- menganggap Snouck H adalah seorang ulama Islam. Dalam salah satu suratnya, dia menanyakan ke Snouck tentang bagaimana ajaran Islam memperlakukan wanita. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bagaimana seorang Snouck H dianggap sebagai seorang ulama Islam. Ini tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak orang-orang Indonesia lain yang menganggap Snouck adalah ulama Islam. Padahal sejarah kita justeru mencatat Snouck adalah bagian dari penjajah Belanda.

Bagaimana dengan Islam? Kalau kita lihat, keyakinan utamanya selalu 'melawan' (bertentangan dengan) agama lain. Jadi wajar kalau ada juga yang 'menyerang' secara keyakinan.

Sejarah juga mencatat penggunaan strategi ini dalam melawan keyakinan Islam. Contohnya adalah saat Rasulullah sholAllahu 'alaihi was salaam sudah di Madinah. Waktu itu ada beberapa orang yang masuk Islam, yang sebenarnya hanya disuruh oleh pemuka agama sebelumnya. Setelah masuk Islam, esoknya mereka disuruh untuk keluar dari Islam dan kembali ke agama semula. Tujuannya adalah menimbulkan keragu-raguan umat Islam saat itu, dengan adanya orang Islam yang murtad.

Contoh yang lain adalah keberadaan Abdullah bin Saba'. Dia masuk Islam setelah masa kekhalifahan. Sebenarnya dia tidak benar-benar masuk Islam karena apa yang diyakini sangat jauh bertentangan dengan Islam. Namun, dia tetap mengaku Islam dan merusak Islam dari dalam. Dia banyak mengajarkan keyakinan yang jauh menyimpang dengan apa yang diajarkan Rasulullah sholAllahu 'alaihi was salaam. Khalifah Ali radhiyAllahu 'anhu menghukum Abdullah ini karena ajarannya.

Kemungkinan masih banyak contoh lain penerapan strategi Kuda Troya ini, baik dalam peperangan fisik maupun peperangan pemikiran dan keyakinan. Khusus untuk umat Islam, kita memang harus waspada terhadap serangan keyakinan semacam ini, karena ini sangat berbahaya. Serangan dengan strategi ini sangat sulit dideteksi dan kemungkinan juga kita tidak menyadarinya. Tiba-tiba saja, kita baru tahu bahwa agama yang kita anut adalah agama Islam yang sudah 'dirusak'.

Kewaspadaan yang saya maksudkan di sini tidak berarti kita harus punya sikap su'udzon terhadap saudara kita semuslim. Kita harus tetap husnudzon terhadap saudara kita. Hanya saja, jangan telan mentah-mentah setiap apa yang disampaikan. Kita harus mengetahui sumbernya. Ada 2 alasan kenapa kita harus hati-hati dalam hal ini. Pertama, yang memberi tahu belum tentu sudah mengetahui sumbernya sehingga dia telah menjadi kaki tangan Kuda Troya tanpa dia sadari. Kedua, bisa jadi kita sendiri yang menjadi kaki tangan Kuda Troya itu, dengan menerimanya dan menyampaikannya ke orang lain.

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu menunjuki kita jalan yang lurus.


Selengkapnya...

Thursday, October 22, 2009

Mereka bukan Orang-orang Munafik

Komunitas muslim di Dresden, Jerman, tidak begitu banyak. Angka tepatnya saya tidak mengetahui. Yang saya jadikan ukuran adalah jamaah sholat jum'at. Berdasarkan kapasitas masjid, saya perkirakan jumlah jamaah tidak mencapai angka ribuan. Di Dresden terdapat 2 masjid. Jadi kalau ditotal, jumlah jamaah tidak melebihi 2 ribu orang. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar.

Meski begitu, masjid tidak sepi dari aktifitas, terutama masjid yang dekat dengan tempat tinggal saya. Agar tidak salah faham, perlu saya tekankan bahwa bukan berarti masjid satunya sepi dari aktifitas, tetapi penyebutan masjid pertama karena masjid pertama lah yang saya ketahui. Sedangkan masjid kedua tidak saya ketahui karena letaknya yang jauh.

Salah satu aktifitas yang tetap berjalan adalah sholat wajib berjamaah. Meski jamaahnya tidak banyak, tetapi alhamdulillah hampir selalu ada. Hanya kadang-kadang saja sholat berjamaah tidak ada. Itupun memang karena alasan yang diijinkan oleh agama, yaitu karena hujan, jamaah teraktifnya (termasuk imam) sedang sakit, atau sedang bepergian ke luar kota.

Yang membuat saya kagum adalah mereka tidak bisa dikatakan 'dekat' dengan masjid. Mereka benar-benar jauh, sampai beberapa kilometer. Selain itu, posisi masjid juga tidak terjangkau angkutan umum. Halte terdekat dengan masjid berjarak ratusan meter (mungkin tidak kurang dari 500 meter), yang berarti jarak tersebut harus ditempuh dengan jalan kaki. Sehingga mereka punya berbagai strategi agar tetap dapat mengikuti sholat wajib berjamaah sesering mungkin.

Bagi yang berstatus pekerja, kebanyakan mereka memiliki mobil sehingga tidak masalah. Berbeda dengan yang berstatus pelajar, yang uangnya tentu tidak cukup untuk membeli mobil. Salah satu strategi di antara mereka adalah membeli sepeda. Selain harganya murah, juga tidak memerlukan biaya lagi saat digunakan. Benar-benar terjangkau.

Beda lagi dengan yang tinggal di luar kota, yang berarti sangat jauh karena masjid dekat dengan pusat kota. Setiap akhir pekan (Sabtu dan Minggu) mereka akan berbelanja ke kota (maksudnya Dresden) dengan harapan selain bisa berbelanja, mereka juga bisa mampir ke masjid agar dapat mengikuti sholat berjamaah. Biasanya mereka akan seharian di Dresden, atau bahkan 2 harian penuh, sehingga bisa mengikuti beberapa sholat jamaah.

Yang paling unik adalah seorang jamaah dari Pakistan. Jamaah itu memakai inline kalau sedang ke masjid. Sama murah dan sehatnya dengan sepeda dan jalan kaki. Tetapi lebih cepat dibandingkan dengan jalan kaki.

SubhanAllah, mereka begitu bersemangat mengerjakan sholat wajib berjamaah. Dan sungguh aneh kalau ada orang yang berkomentar bahwa orang yang seperti itu disebut orang munafik, dengan alasan orang yang sholat berjamaah adalah orang yang ingin terlihat saat mengerjakan sholat. Saya yakin mereka tidak seperti itu. Mereka adalah orang yang hanya ingin mendapatkan pahala yang lebih banyak dari sholat yang mereka kerjakan. Semua muslim pasti tahu bahwa pahala sholat jamaah di masjid jauh lebih banyak dibandingkan sholat sendirian di rumah. Ditambah lagi pahala perjalanan menuju ke masjid.

Bagi orang-orang yang mengatai mereka sebagai orang munafik, berhentilah berkata demikian. Takutlah akan ancaman bahwa tuduhan yang salah akan mengenai orang yang menuduh...


Selengkapnya...

Monday, September 21, 2009

Profesi yang Diharamkan

Baru saja terpikir untuk menulis tentang profesi-profesi yang kemungkinan diharamkan, yang buat kita mungkin sudah biasa (sudah dianggap halal). Tujuan saya hanya untuk mengingatkan bahwa sesuatu yang menurut kita sudah biasa belum tentu halal. Bahkan bisa jadi, profesi itu diharamkan.

Salah satu profesi yang muncul di benak saya adalah Pesulap. Meskipun saya bukan ahli sulap, tetapi saya pernah belajar sulap kecil-kecilan waktu masih SMP (astaghfirullahal azhiim). Sehingga saya tahu bahwa sulap hanyalah tipuan semata. Mereka memanfaatkan berbagai trick (tipuan) untuk melakukannya. Sebenarnya, ada beberapa jenis tipuan, diantaranya adalah kecepatan tangan dan penggunaan alat-alat tersembunyi.

Segala bentuk tipuan sudah jelas haram hukumnya. Ini tidak perlu diperbebatkan lagi. Namun, keharaman sulap tidak hanya sampai di sini. Kalau kita mencoba mendengarkan ucapan-ucapan pesulap, maka yang akan kita dengarkan adalah ucapan-ucapan dusta belaka. Kenapa saya bilang dusta, karena apa yang mereka ucapkan sebenarnya sangat berbeda dengan apa yang akan mereka lakukan. Perhatikan beberapa kalimat yang mungkin akan diucapkan oleh pesulap:
  1. Mengubah kertas menjadi burung.
  2. Mengubah lilin menjadi sapu tangan.
  3. Memotong (maaf) tubuh orang dan menyambungkannya lagi.
  4. Mengubah manusia menjadi manusia lain, atau bentuk-bentuk lain.
Seorang pesulap akan mengucapkan kalimat itu saat melakukan sulap yang terkait. Padahal yang dia lakukan tidak demikian. Seorang Pesulap tidak akan pernah menceritakan apa yang sebenarnya dia lakukan karena kalau demikian, tontonannya menjadi tidak menarik lagi. Jadi, selain masalah tipuan, keharaman profesi ini adalah setiap saat seorang Pesulap hanyalah menyampaikan ucapan-ucapan dusta belaka dalam pentasnya.

Ternyata, selain itu, ada sisi lain yang membuat profesi ini haram. Termasuk juga menontonnya, juga diharamkan. Silakan mengunjungi artikel ini untuk lebih jelasnya.

Selengkapnya...

Wednesday, April 29, 2009

Hipnotis dan Sihir

Kisah ini adalah kisah yang nyata, dan saya memperolehnya dari sumbernya secara langsung. Jika kisah ini saya tulis di blog, tidak dimaksudkan untuk membikin takut pengunjung blog. Akan tetapi, diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap kriminalitas yang memang banyak terjadi di lingkungan kita.

Kisah kita kali ini menimpa seorang rekan kerja, sebut saja Pak Yon. Saat itu, Pak Yon sedang menuju ke kampus dari rumah dengan mengendarai mobil dan melewati Jalan Kaliurang. Beberapa kilometer sebelum sampai di pintu gerbang kampus, mobil Pak Yon menyenggol (atau sengaja disenggol) kendaraan lain. Pak Yon tetap melaju setelah meyakinkan lewat kaca spion bahwa kendaraan yang tersenggol tersebut tidak mengalami masalah.

Namun, beberapa saat kemudian ada mobil yang menyusul dan berusaha menghentikan mobil Pak Yon dengan isyarat. Karena merasa sebelumnya ada masalah, Pak Yon bersedia menghentikan mobilnya. Dan memang benar, pengendara mobil tersebut ingin membicarakan masalah tersenggolnya kendaraan tadi.

Saat itulah, pengendara mobil menepuk pundak Pak Yon. Setelah tepukan itu, Pak Yon seperti tidak bisa berpikir logis lagi. Menurut pengakuan Pak Yon, mulut beliau seperti terkunci dan sulit untuk berbicara. Akibatnya, istilah orang Jawa mengatakan Pak Yon seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Yang artinya adalah menurut apa yang diperintahkan. Dalam sekejap, semua uang di saku, HP, dan ATM (termasuk pin) Pak Yon diserahkan dengan sukarela ke pengendara mobil itu. Saat Pak Yon sudah tersadar, uang di tabungan sudah habis.

Cara menghilangkan kesadaran itulah yang disebut sebagai hipnotis. Karena korban kehilangan kesadaran, pasti akan mau melakukan apapun yang diperintahkan oleh orang yang menghipnotis. Selain kisah rekan saya di atas, kriminalitas dengan hipnotis sudah sering terjadi dan diberitakan di media masa. Tetapi baru kali ini saya menjumpai korbannya secara langsung. Saat saya pergi ke Jakarta beberapa hari lalu, di sebuah stasiun terpampang spanduk besar bertuliskan tentang peringatan kepada penumpang kereta agar hati-hati terhadap kriminalitas dengan hipnotis. Ini menunjukkan bahwa kejahatan ini memang sudah sering terjadi. Dan saya tidak menyangka sekarang kejahatan itu sudah demikian dekat dengan rumah dan tempat kerja saya.

Selang beberapa hari, pundak isteri saya ditepuk seorang ibu saat berada di angkutan umum. Bukanlah sebuah kebetulan jika ibu ini sudah melakukan hal yang sama ke isteri saya untuk yang kedua kalinya. Tepukan pertama dari ibu ini terjadi beberapa bulan yang lalu. Kejadian setelah kedua tepukan itu juga sama, yaitu ibu itu meminta sejumlah uang. Bedanya, mungkin ibu ini tidak ingat kalau beliau pernah menepuk isteri saya karena tidak mengenali isteri saya yang penampilannya sudah berbeda dibandingkan dengan tepukan yang pertama.

Tentu saja kami curiga bahwa ini termasuk usaha untuk menghipnotis karena 3 alasan. Pertama, buat orang Yogya mengajak seseorang berbicara dengan menepuk pundak adalah tidak biasa, terutama buat orang yang belum dikenal. Tepukan ini hanya diperlukan jika ada suara bising di sekitar, kalau tidak, orang Yogya akan bilang "Nuwun sewu" untuk memulai berbicara. Dan isteri saya yakin bahwa suasana saat itu tidak bising, dan berbicara langsung lebih mudah dilakukan karena ibu itu duduk di sebelah isteri saya. Kedua, tepukan yang diberikan cukup keras. Kalau tepukan untuk memulai berbicara dilakukan, biasanya hanya berupa tepukan pelan (atau lebih tepatnya menyentuh). Ketiga, kejadiannya terulang 2 kali oleh orang yang sama. Kejadiannya berikutnya pun juga sama, yaitu meminta uang.

Kalau misalnya dugaan kami benar, alhamdulillah, isteri saya tidak terhipnotis. Kemungkinan karena isteri saya tidak pernah menatap mata ibu itu. Seperti yang pernah saya baca, agar kita terhindar dari hipnotis, harus menghindari menatap mata. Karena hipnotis disalurkan lewat mata. Selain itu, saat ditepuk, isteri saya sedang disibukkan dengan dzikrullah. Dzikir memang bisa menghindarkan seseorang dari bahaya.

Hipnotis mungkin bisa dikategorikan sebagai sihir. Bagi umat Islam, sudah cukup jelas bahwa sihir adalah haram. Jangankan menggunakan sihir, membalas sihir dengan sihir juga diharamkan. Apapun tujuan penggunaan sihir, tidak menyebabkan sihir ini menjadi halal, meskipun dengan dalih untuk kebaikan.

Sudah sepantasnya kita tidak mempelajari dan menggunakan sihir. Selain memang berdosa besar (karena haram), sangat mungkin dosanya tidak bisa diampuni. Kalau kita berdosa hanya dengan Allah SWT, insya Allah, Allah SWT akan memberi ampunan saat kita bertobat. Tetapi jika kita berdosa dengan manusia, Allah SWT tidak akan mengampuni sebelum manusia itu mengampuni kita. Padahal dosa sihir itu terkait dengan manusia karena sudah didzholimi. Dan saya sangat yakin, sulit buat orang yang menggunakan sihir akan meminta ampun kepada orang yang pernah disihir. Jika ini terjadi, maka sangat mungkin Allah SWT tidak akan mengampuni.

Selengkapnya...

Friday, October 31, 2008

Jangan Segan untuk Meminta Hak

Alkisah, hari ini(hari Jum'at) saya mengambil passport saya beserta keluarga. Ini sesuai dengan janji yang diberikan oleh pihak Kantor Imigrasi saat kami melakukan wawancara pada hari Rabu (2 hari yang lalu).

Di hari Rabu lalu, selain wawancara, kami juga difoto. Selain itu kami juga harus membayar biaya penerbitan passport dll, yang terdiri dari 3 komponen biaya, yaitu:
  • Buku passport : Rp. 255.000
  • Foto dan sidik jari : Rp. 15.000
  • Cover passport : Rp. 5.000
Total biaya yang harus saya bayar per orang adalah Rp. 275.000. Seperti biasa, dengan iseng saya mengamati komponen biaya yang tertera di 3 lembar kuitansi (1 kuitansi untuk 1 komponen biaya) Perhatian saya tertuju pada Cover passport. Ternyata cover passport ini dibuat oleh Koperasi Karyawan kantor imigrasi tersebut. Setelah saya ingat-ingat, saya tahu yang dimaksud dengan cover ini.

Kembali ke hari ini, saya mengambil passport kami. Seorang petugas menyerahkan passport tersebut dan meminta saya untuk memfoto copy serta menyerahkan foto copy tersebut ke beliau. Setelah saya serahkan, petugas tersebut mengucapkan terima kasih, dan urusan penerbitan passport sudah selesai.

Saat mau beranjak, saya teringat tentang cover passport. Mungkin karena hari Rabu saya mengamati biaya cover, saya jadi teringat. Apalagi memang kenyataannya passport yang saya terima belum diberi cover. Saya kembali lagi dan menanyakan masalah cover. Petugas tersebut segera mencarikan cover yang saya tanyakan. Akhirnya lega juga, karena dengan cover ini passport kami bisa lebih terlindungi.

Ternyata memang orang Indonesia itu benar-benar pelupa. Cover yang tergeletak setumpuk di depan petugas itu saja, bisa terlupa. Apalagi kalau letaknya jauh dari depan mata. Intinya, jangan segan untuk menanyakan hak kita, karena siapa tahu petugasnya lupa. Tentu saja dengan cara yang baik dan sopan. Insya Allah, mereka akan melayani dengan baik.

Selengkapnya...

Monday, July 14, 2008

Penipuan Gaya Baru di ATM

Bukan pengalaman pribadi, tetapi dari maillist. Semoga bisa dijadikan pelajaran agar kita lebih berhati-hati.

=========================================================

PENIPUAN DI ATM GAYA BARU

Peristiwa ini menimpa saya Hari Minggu yang lalu di salah satu ATM Mandiri (sebut saja ATM1). Semoga tidak terulang pada pembaca.

Kejadian ini berawal ketika saya mau menarik uang di ATM Mandiri. Seperti kadang-kadang terjadi setelah saya masukkan kartu ATM, layar ATM menyatakan bahwa .....out of service atau ....maaf sementara tidak dapat melayani. Tentu saja saya langsung tekan tombol Cancel untuk membatalkan transaksi. Namun ternyata kartu ATM tidak kunjung keluar walaupun saya ulangi berkali kali dan saya tunggu.

Di saat saya berharap kartu ATM segera keluar, tiba-tiba ada seseorang laki-laki (sebut saja Mr X) yang membuka pintu ATM dan tindakan kurang etis ini tentu agak mengejutkan saya. Orang tersebut yang tampil dengan sikap dan wajah innocent (tanpa dosa) dan dengan cukup santai bertanya: Bisa Pak? Kartu saya tadi tertelan pak! Karena merasa senasib, sikap saya berubah dari curiga menjadi welcome. Setelah saya amati, ternyata kartu saya tampak sedikit (kurang lebih satu millimeter) di bibir lobang kartu ATM dan saya berusaha dengan menyelipkan dua kartu tipis untuk menjepit kartu tersebut agar dapat saya keluarkan. Usaha saya itu mendapat respon yang bersahabat dari Mr X dan segera pula ia membantu saya untuk menjepit dengan kertas yang saya gunakan tetapi kartu ATM saya juga tidak berhasil dikeluarkan.

Usaha berikutnya dilakukan oleh Mr X dengan menelpon "Bank" (katanya saya telpon bank saja pak, 14000 ya? tanyanya dan tidak saya jawab karena saya konsentrasi dengan usaha saya untuk mengeluarkan kartu ATM). Setelah dia menceritakan apa yang telah terjadi dan salah satu ungkapannya di telepon "kartu saya terganjal oleh bapak setelah saya pak!". Mr X segera menyerahkan HPnya karena pihak "Bank" mau bicara dengan saya. Pihak "Bank" setelah menanyakan beberapa data seperti nama, tanggal lahir, nama ibu kandung segera menuntun saya agar dapat mengeluarkan kartu ATM saya dan tentu saja saya turuti.

Tekan tombol di bawah angka 9; tekan tombol di bawah angka 7; tekan pin bapak; tekan ENTER. Keluar tidak pak? Tanyanya. Tidak, jawab saya. Ok pak saya akan bantu sekali lagi mengeluarkan kartu bapak. Ikuti petunjuk saya tekan tombol di bawah angka 9; tekan tombol di bawah angka 7; tekan pin bapak (pelan-pelan pak) dan saya sempat berpikir mengapa harus pelan?; tekan ENTER. Singkatnya saya menekan PIN saya sampai sekitar tiga kali yang disaksikan oleh Mr. X. Saya tidak sampai hati meminta Mr X keluar dari ruang ATM karena ia telah meminjami HP dan "menolong saya". Adegan ini berarkhir ketika pihak "Bank" tidak berhasil membantu saya dengan mengatakan: Ok pak, karena kartu bapak tidak bisa keluar, KARTU BAPAK SAYA BLOKIR SAJA DAN SAAT INI KARTU BAPAK SUDAH TIDAK BERFUNGSI. Besuk bapak segera ke Bank Mandiri setempat untuk minta terbitkan kartu baru. Karena merasa aman, saya segera tinggalkan ruang ATM dengan mengucapkan terima kasih kepada Mr. X setelah anak saya segera keluar dari mobil, menyusul ke ruang ATM menanyakan apa yang terjadi (kata saya: kartu sudah diblokir, kita pindah ATM lain saja nak).

Untungnya saya tidak menaruh semua telor saya dalam satu keranjang. Masih ada keranjang lain tidak peduli ukurannya. Segera saya menuju ATM (sebut saja ATM2) yang lain karena saya sudah ditunggu di salah satu toko untuk suatu transaksi. Sebelum saya (bersama isteri dan anak saya) masuk ke ATM2 tiba-tiba SMS banking masuk dan menyatakan rekening saya terdebet Rp 1.500.000,-. Ketika itu saya baru sadar (menurut saya bukan karena hipnotis, tetapi logis) bahwa MR X TADI TERNYATA PENIPU dan pihak "Bank" yang bicara dengan saya adalah anggota sindikatnya.

Segera saya menuju ATM1 dengan melanggar lampu merah di perempatan jalan sambil menghampiri Polantas setempat. Sampai di tempat kejadian, tentu saja pelaku sudah kabur dan selama saya menuju kembali ke ATM1, rekening saya selalu terdebet hampir setiap setengah menit Rp 1,5 juta dan berkali-kali. Saya berusaha keras untuk memblokir via 14000 tetapi selalu dijawab oleh mesin penjawab dan setelah sekian lama saya baru bisa bicara dengan operator untuk melakukan pemblokiran. Apa boleh buat saat pemblokiran saldo tinggal tersisa Rp 82 ribu.

Setelah dihubungi oleh pihak kepolisian, tidak lama berselang petugas ATM Bank Mandiri datang dan membongkar mesin ATM. Ternyata di dalam ruang kartu masuk telah diselipkan SEBATANG KOREK API yang telah dipotong "pentolan" nya. Kata petuga bank: Inilah pak yang membuat kartu bapak tidak bisa masuk....kejadian ini sudah sekitar satu tahun tapi pelakunya belum juga tertangkap.. .. Dia (Mr X) bisa mengeluarkan kartu bapak dengan tang/penjepit kecil.....Minggu lalu juga kejadian.

Begitu memasuki hari kerja saya laporkan ke Bank Mandiri dan petugas Customer Service menyatakan kasus ini baru pak (wah rupanya pihak bank ketinggalan juga, red) setelah dicek transaksi penarikan (oleh Mr X cs) tiga kali Rp1,5jt; 1xRp500rb; dan karena maksimum penarikan per hari Rp5jt, sisanya dihabiskan untuk belanja kilat (mungkin di toko emas) tentu dengan memalsukan tanda tangan saya. Maaf pembaca, total kehilangan tidak perlu saya beberkan semua, yang jelas tinggal Rp82rb alias habis dalam waktu transaksi 17 menit.

KESIMPULAN:
1. Sindikat penipu memilih ATM yang terpencil, bukan yang di kantor bank dan/ atau yang ada security-nya.
2. Mereka memilih hari libur agar nasabah tidak dapat menghubungi bank setempat.

TIP AGAR HAL SERUPA TIDAK TERULANG PADA PEMBACA:
1. Gunakan ATM yang ada Bank-nya atau yang dekat security, hindari ATM terpencil walaupun di ATM terpencil kita tidak perlu antre.
2. Jika kartu macet dan tidak bisa keluar dengan usaha sendiri, tinggalkan saja karena orang lain tidak bisa menggunakan tanpa mengetahui PIN-nya dan segera lapor ke bank setempat (tentu pada hari kerja).
3. Pada saat pembaca panik karena jadwal padat, ditunggu dalam waktu singkat, sehingga secara emosional tidak stabil, mungkin juga sedang berantem sebaiknya hindari transaksi menggunakan ATM karena daya analisa menurun dan sangat memungkinkan terjadi kesalahan.
4. (Walau yang keempat ini tidak terkait dengan sub judul di atas) rekening yang ber kartu ATM batasi jumlahnya. Yang lain simpan saja di rekening tanpa kartu ATM dan jika terlanjur diberikan kartu ATM, kembalikan saja ke bank dan bertransaksilah via kasir.

Mohon maaf jika pembaca tersita waktunya untuk membaca ulasan peristiwa ini terutama bagi yang telah mendengar peristiwa serupa sebelumnya. Jika kurang bermanfaat bagi pembaca, berikan (forward) info ini kepada rekan yang lain, siapa tahu mereka membutuhkan. Terima kasih.

Jika suatu saat info ini sampai kepada Mr. X yang telah menipu saya, saya berpesan carilah uang dengan cara lain karena melalui jerih payah, hasil akan lebih bisa dinikmati. Anda berkualitas dalam mendapatkan uang cepat, namun kualitas hendaknya memenuhi 5 indikator keseimbangan yaitu QCDSM (Quality, Cost, Delivery, Safety, Morale). Anda baik dari sisi Quality (cerdik); anda baik dari sisi Cost (dengan biaya rendah, hanya sebatang korek api); anda baik dari sisi Delivery (dapat uang dalam waktu cepat); tapi dari sisi Safety (anda aman....tapi hanya sementara lho); dan dari sisi Morale (sayang angkanya cuma nol) karena melanggar norma.

Selengkapnya...

Friday, May 16, 2008

Sales Masuk Kantor

Meskipun di ruang AC, suasana di kantor agak sedikit panas. Tetapi alhamdulillah masih tetap bisa semangat untuk menyelesaikan tugas-tugas hari itu. Untung juga, di suasana yang agak panas ini, ada seorang teman dosen yang menemani, sambil ngobrol-ngobrol.

Sampai suatu saat datanglah seseorang mengetuk pintu. "Assalaamu 'alaykum," kata orang itu. "'Alaykumus salam wa rahmatullah," jawab kami berdua.

"Bisa bertemu dengan Pak Taufiq Hidayat?"
"Saya sendiri." jawab saya dengan tangkas.

Berikut adalah kesimpulan dari pembukaan tamu saya itu.

Dia adalah perwakilan dari sebuah perusahaan XXX, yang sedang mengadakan promosi. Dalam promosi itu perusahaan XXX akan membagikan salah satu produk mereka secara cuma-cuma (alias GRATIS) kepada orang-orang yang dipilih, yang menurut dia, sudah diperoleh dari survei. Dan saya adalah salah satu dari orang-orang yang dipilih itu. Produk yang akan mereka bagikan itu adalah alat pijat elektrik. Sebelum dibagikan, dia akan mencontohkan cara penggunaan dari alat itu.

Maka, jadilah tamu saya mencontohkan cara penggunaan alat itu, dan sekaligus dipraktekkan ke saya. Lumayan juga, saya dipijiti, mulai dari tengkuk sampai telapak tangan. Saat memijit telapak tangan, diajarkan juga kaitan antara rasa sakit-sakit di bagian organ tubuh dan bagian-bagian pada telapak tangan, seperti ginjal, maag, jantung, dll. Setelah 30 menit berlalu, selesailah acara itu.

Setelah itu, dia menjelaskan bahwa kalau nanti ada teman-teman yang berminat, bisa membeli alat itu ke perwakilan Yogya, dan dia menunjukkan alamatnya. Jika membeli sampai bulan Juni, yang masih masa promosi, harganya 500rb kurang seribu. Setelah masa promosi selesai, harganya akan kembali ke harga semula, yaitu 700rb (juga kurang seribu).

Sedangkan untuk saat ini, dia akan membagikan alat itu hanya ke 6 orang saja secara cuma-cuma. Hanya.............................................

Ya, hanya..... membayar ongkos kirim saja, yang merupakan ongkos kirim import plus pajak masuk, sebesar 250rb rupiah.

Wah, kalau dibandingkan dengan harga sebenarnya, yang sudah disebutkan sebelumnya, pengganti ongkos kirim ini jauh di bawahnya. Tetapi siapa yang tahu harga sebenarnya? Saya hanya diberi kesempatan "gratis" ini saat itu juga. Tidak ada kesempatan untuk mengecek harga alat-alat sejenis ke tempat lain.

Setelah mikir sejenak, saya berniat untuk telpon isteri, siapa tahu dia hapal harga alat seperti ini. Tetapi akhirnya saya urungkan. Lebih baik tidak mengambil saja. Apalagi kami (saya + isteri) punya prinsip sederhana "hanya membeli barang yang sedang kami butuhkan", dan berusaha untuk tidak membeli barang karena ada diskon.

Meskipun dibilang "hanya" pengganti ongkos kirim, nilai itu tetap lumayan besar. Dari sisi saya, nilai itu tetap saya anggap sebagai harga barang, karena itu adalah nilai yang saya bayarkan untuk mendapatkan barang itu.

Lain kali, alangkah lebih baiknya kalau hal itu diberitahukan di muka, tidak di belakang seperti itu, sehingga saya bisa menolak. Kasihan mahasiswa-mahasiswa bimbingan skripsi yang mengantri, yang harus tertunda bimbingan gara-gara saya melayani. Lain kali juga, buat saya sendiri, agar tidak tergoda dengan istilah "gratis" :D.

Selengkapnya...

Wednesday, March 26, 2008

Kebohongan dan Kemaksiatan

"I want my money back. Before I decied to rent the house, I had asked Bu Kost whether he could stay with me. I also said that he did not marry me. And she said that it's okay. But now, you see. That people came at a night and took him from me. Since that night I should stay by myself. And now I am very afraid. I always remember what they did to him. I am not able to stay at the house anymore. I want to leave it. Because don't have money at all, I want my money back. Bu Kost has to understand," kata tetangga yang menyewa sebuah rumah. Tentunya hanya kira-kira.

Bingung juga mendengar penjelasannya. Bukan karena masalah bahasa Inggrisnya, tetapi bingung apa yang harus kami lakukan. Dia yang berasal dari Rumania ini menjelaskan bahwa sudah minta ijin ke Bu Kost agar teman lelakinya ini bisa tinggal bersamanya meskipun belum menikah. Dan ibu kostnya setuju. Tetapi kenyataannya, belum genap 1 bulan rumah kontrakan itu digerebek warga. Dan membawa laki-lakinya pergi setelah sempat dipukuli karena tidak bisa menunjukkan surat nikah.

Saat ini, posisi kami hanya sebagai penerjemah antara dia dengan Bu Kost, karena Bu Kost tidak bisa Bahasa Inggris. Yang kami bingungkan adalah pernyataan yang berbeda antara dia dan Bu Kost. Bu Kost bilang bahwa mereka (orang Rumania dan laki-laki itu) pernah bilang bahwa mereka sudah menikah sehingga Bu Kost mengijinkan untuk tinggal bersama. Tetapi orang Rumania bilang bahwa mereka tidak pernah bilang seperti itu.

Jadinya, karena Bu Kost merasa sudah tahu bahwa mereka resmi suami-isteri, jika ternyata informasi yang diberikan salah maka itu bukan kesalahan Bu Kost. Makanya Bu Kost tidak mau mengembalikan uang sewa. Sedangkan orang Rumania sebaliknya. Karena sudah memberitahu bahwa mereka bukan suami-isteri dan sudah dapat ijin, kesalahan ada di Bu Kost. Dan dia berhak mendapat uang sewa itu kembali, apalagi dia tidak punya uang lagi setelah membayar uang sewa itu.

Tentu saja kami bingung menghadapi 2 orang, yang masing-masing mempunyai pendapat yang bertolak belakang. Karena di situ kami bukan penghubung, hanya penerjemah, kami tidak ingin mengambil keputusan. Semuanya kami serahkan ke mereka, sampai ada salah satu yang mengalah. Kami juga tidak ingin menyelidiki siapa yang berbohong di antara mereka karena kami bukan detektif. Bila ada 2 pernyataan yang bertolak belakang seperti itu, pasti ada salah satu yang berbohong atau bahkan dua-duanya.

Setelah capek, padahal saat itu pembicaraan dengan Bu Kost hanya bisa dilakukan lewat telpon, orang Rumania itu kami antar pulang meski dengan cara agak memaksa. Tetapi kami meyakinkan dia bahwa esok pagi masalah ini akan dirundingkan dengan tetangga lain yang berprofesi sebagai polisi.

Ada pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini. Meskipun tidak tahu mana yang bohong, tetapi bisa dipastikan salah seorang dari mereka telah berbohong. Dan betapa sering terjadi bahwa ada kaitan erat antara kebohongan dan kemaksiatan.

Semoga kita terhindar dari perbuatan yang demikian. Amiin.

Selengkapnya...

Thursday, March 6, 2008

Warung Jujur

Waktu saya kuliah S1 dulu, juga pernah menemui warung jujur seperti yang ditulis di erasmuslim ini. Waktu itu saya tinggal di asrama kampus nan murah. Warung jujur yang di asrama ini dikelola oleh salah seorang karyawan asrama.

Namun kisahnya sedikit berbeda. Kalau di Eramuslim, warung jujur itu terbilang berhasil. Setiap pembeli selalu membayar meskipun tidak ada yang menjaga barang dagangan. Dan menurut penulis, masih di tulisan tersebut, hal itu menunjukkan bahwa lingkungan kampus tempat warung jujur itu adalah lingkungan yang memang bisa dipercaya. Mungkin disebabkan budaya saling percaya sudah cukup kuat di kampus tersebut.

Lain halnya dengan di asrama saya. Beberapa bulan bisnis itu berjalan lancar. Namun, setelah itu, bisnis ini pun tutup. Hal ini disebabkan uang yang diterima tidak sebanding dengan barang dagangan yang laku. Akhirnya bisnis inipun tidak bisa bertahan.

Menurut pengamatan saya, sebenarnya masalah yang muncul bukan karena banyak pembeli yang tidak jujur, alias curang. Tetapi lebih disebabkan oleh ketidakdisiplinan pembeli, yang sebenarnya juga penghuni asrama sendiri. Awalnya mungkin hanya sekedar menunda pembayaran, dengan alasan bahwa pembeli-pembeli tersebut tidak akan kemana-mana. Namun, karena sering menunda, pada akhirnya akan membuat pembeli tersebut lupa dengan jumlah dagangan yang sudah mereka ambil. Akibatnya mereka juga akan lupa dengan nilai uang yang harus mereka bayarkan sehingga hanya mengira-ngira.

Dalam skala yang lebih kecil, warung jujur ini juga ada di Masjid Shalahudin. Ada kios majalah yang menggunakan model warung jujur. Majalah-majalah yang dijual di situ adalah majalah baru tetapi lama, masih baru tetapi edisi lama. Pembeli tinggal mengambil majalah, lalu menaruh uang Rp. 4000 di kotak yang disediakan. Laris juga, meskipun harganya lebih tinggi dibandingkan kalau kita beli di kantor pemasarannya.

Intinya, memang di bisnis ini dibutuhkan tingkat kepercayaan yang tinggi, terutama buat pembeli. Pertama, bahwa pembeli akan jujur, tidak curang. Yang pertama ini sudah jelas. Setiap pembeli harus jujur, tidak bisa ditawar lagi. Kedua, pembeli harus disiplin. Kasus di asrama saya tadi bisa dijadikan contoh. Memang awalnya setiap pembeli tidak bermaksud untuk tidak jujur. Tetapi karena lupa, yang terjadi memberikan efek yang sama, yaitu bisnis itu akan runtuh.

Kasus kedua itu perlu kita waspadai. Awalnya tidak terlihat, tetapi akhirnya sangat berbahaya. Sebagian kasus korupsi terjadi dengan model seperti itu. Awalnya, hanya meminjam uang tanpa sepengetahuan atasan, dan nanti akan dikembalikan. Lama-lama menumpuk dan lupa. Tahu-tahu uang yang harus dikembalikan sangat besar. Akibatnya, tidak bisa bayar. Jadilah ia sebagai terdakwa koruptor.

Semoga bermanfaat...

Selengkapnya...

Friday, February 15, 2008

Telkom ... oh... Telkom

"Pak, ini saya menolong loh karena Bapak minta bantuan ke saya. Bukan saya yang menawarkan bantuan ke Bapak. Karena sifatnya menolong, jangan sampai di kemudian hari ada ribut-ribut masalah biayanya", kira-kira seperti itu apa yang disampaikan oleh Pak Dar (nama samaran) saat kami minta bantuan untuk menguruskan pemasangan telepon rumah.

Seminggu sebelumnya kami sudah mendaftar pemasangan telepon baru ke Telkom Pakem. Seminggu tidak ada kabarnya, padahal Telkom berjanji 1 hari setelah pendaftaran, rumah kami akan disurvei. Akhirnya kami berinisiatif ke Pak Dar yang beberapa hari sebelumnya menawarkan pemasangan telepon ke 4 tetangga kami. Ternyata Pak Dar sudah diberi tahu oleh Telkom tentang pendaftaran kami. Kok bisa ya? Padahal Pak Dar ini bukan karyawan Telkom.

Pak Dar menyampaikan bahwa jaringan terdekat sudah habis. Ada jaringan yang tersisa namun agak jauh dari rumah kami. Kalau mengambil dari jaringan tersebut, biayanya mungkin akan lebih tinggi. Dan Pak Dar akan mengusahakan agar kami tetap bisa mendapatkan telepon.

Ternyata memang benar, biayanya lebih mahal Rp. 500ribu dibandingkan dengan tetangga-tetangga yang lain. Biaya tambahan ini diperlukan untuk pembelian tiang telepon karena masalah jarak tadi. Alhamdulillah, masih dalam anggaran yang kami sediakan. Akhirnya kami menyetujui biaya tersebut.

Tidak lebih dari 1 minggu, telepon pun dipasang. Semua biaya kami lunasi saat itu juga, mumpung uangnya sudah ada. Daripada ditunda-tunda, nanti uangnya malahan akan terpakai yang lain. Tiga hari kemudian telepon sudah bisa berdering.

Tibalah saat pembayaran rekening telepon untuk bulan pertama. Jika dihitung dari hari pertama telepon berdering, masa pemakaiannya tidak lebih dari 2 minggu. Lumayan juga nilainya, lebih dari Rp 200ribu. Buat apa saja ya? Mungkin melihat wajah keheranan saya, petugas loket menerangkan komponen rekening. Terdiri dari biaya pemakaian, abonemen, dan biaya pemasangan. Biaya pemasangan ini yang nilai terbesar yaitu sekitar Rp 150ribu.

Biaya pemasangan? Bukankah sudah kami lunasi?

Sampai di rumah, kami menelepon Telkom menanyakan biaya pemasangan yang kami ingat sudah kami lunasi. Kami diminta ke Telkom yang khusus untuk rekening. Sebelum ke sana, kami ke Pak Dar terlebih dahulu untuk menanyakan hal yang sama.

Tidak disangka, kami dimarahi. Terutama perihal pertanyaan kami ke Telkom. Menurut Pak Dar, urusan itu seharusnya ditanyakan ke beliau dan tidak seharusnya ke Telkom. Dan kami dilarang melapor ke Telkom.

"Dulu katanya tidak akan ribut-ribut?", kata Pak Dar. Kami kaget juga. Sebenarnya kami tidak bermaksud ribut-ribut. Hanya bertanya baik-baik. Atau memang definisi ribut-ribut itu adalah 'tidak boleh bertanya'?

Selanjutnya ini yang beliau sampaikan, "Itu kesalahan saya. Kami salah menghitung biaya. Sebagian uang itu juga dipakai buat 'uang rokok' petugas-petugas yang memasang jaringan. Tetapi kalau misalnya Pak Taufiq mau meminta uang itu, akan saya kembalikan dari kantong saya sendiri. Kalau misalnya tidak diminta, saya mengucapkan Alhamdulillah dan terima kasih. Saya doakan juga semoga rejeki Pak Taufiq lancar.".

Saat itu, kami belum memberi kepastian. Kami rundingkan dulu di rumah. Yang kami sesalkan, kenapa tidak disampaikan dari dulu. Kalau tidak kami tanya, sepertinya juga tidak akan dijelaskan. Anehnya, kasus ini juga terjadi pada tetangga yang lain.

Pagi keesokan harinya, Pak Dar datang ke rumah kami. Tanpa menanyakan kepastian dari kami, beliau langsung menyerahkan amplop berisi uang. Tanpa berpikir panjang, uang langsung kami terima. Beliau bilang agar melupakan kejadian ini.

Insya Allah, kami akan melupakan.

Selengkapnya...

Tuesday, December 18, 2007

Taksi

Selama ini saya banyak menulis tentang ketidak-jujuran. Kali ini saya akan menulis tentang kejujuran yang saya temui. Hebatnya, kali ini di kota yang terkenal "lebih jahat dari ibu tiri", saya menemukan kejujuran itu.

Turun dari kereta di Stasiun Gambir, seperti biasa saya nyari taksi yang ngetem. Seperti biasa juga, saya naik taksi yang memang sudah dikenal baik. Akhirnya, saya dapat sebuah taksi yang dipiloti oleh sopir dengan logat daerahnya yang kental.

Namun, tidak biasanya, saya lupa daerah tujuan. Nama gedungnya sih saya ingat, Wisma Aldiron. Tetapi saya lupa daerahnya. Padahal Pak Sopirnya lupa dengan nama gedung itu. "Daerah mana ya?". Karena lupa, jawaban saya seperti ini "Eh, mana ya? Kok saya lupa. Apa Pancoran ya?", masih dengan wajah ragu-ragu.

"Oh iya. Betul. Pancoran, pak", kata Pak Sopir, jadi ingat dengan gedung itu.

Masih dengan ragu-ragu, saya ikuti taksi berjalan. Tambah bingung juga waktu ditanya Pak Sopir, "Mau lewat mana?". "Terserah, Pak, saya juga nggak tahu. Saya nggak buru-buru kok", jawabku. Loh, kok saya bilang begitu. Semakin ketahuan dong, kalau saya benar-benar lupa dengan tujuan.

Selama perjalanan, saya benar-benar takut. Apalagi ternyata Pak Sopir mengambil jalan yang berbeda dari biasanya saya lalui. Saya seperti melewati tempat-tempat yang asing. Atau ini akibat saya lupa? Bukan sekali ini saya ke gedung itu dari Stasiun Gambir. Biasanya saya masih tetap bisa mengenali, walaupun saya lupa.

Saat mendekati Tugu Pancoran, saya baru bisa mengenali daerah itu. Dari arah datangnya taksi ke gedung, saya menyadari bahwa memang jalur yang diambil Pak Sopir taksi kali ini berbeda dengan taksi-taksi yang pernah saya pakai. Tidak heran kalau tadi saya tidak mengenali daerah-daerah yang kami lewati.

Di argo meter, saya baca harga yang harus saya bayar. Oh, segitu. Tidak jauh beda dengan sebelum-sebelumnya. Artinya, Pak Sopir tidak berniat untuk berputar-putar agar argonya bisa menunjukkan angka yang lebih besar. Mungkin maksud Pak Sopir untuk menghindari kemacetan yang sering terjadi di Jakarta. Apalagi waktu itu termasuk jam sibuk karena saatnya orang-orang berangkat ke kentor dan anak-anak sekolah berangkat ke sekolah.

"Terima kasih, Pak Sopir. Meskipun penumpangmu ini tidak tahu jalan, engkau tidak memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak."

Selengkapnya...

Tuesday, December 11, 2007

Oleh-oleh dari Jakarta/Bandung

Sambil mendengarkan musik lewat earphone, saya memperhatikan seorang penjual di Stasiun kereta. Mereka menawarkan minuman kaleng buat wisatawan asing, yang hari ini terlihat sangat banyak. Sepintas saya perhatikan jenis minumannya. Sepertinya minuman bir. Wisatawan itupun terlihat menawar harga bir kaleng tersebut. Akhirnya terjadilah transaksi jual-beli. Penjual itu sangat bergembira, terlihat dari senyum lebarnya. "Besar po untungnya?", tanya hati saya dalam logat Jawa.

Setelah beberapa saat, penjual itu berjalan ke arah penjual lainnya, yang tadi ikut bergabung dengan penjual itu saat proses tawar menawar. Sambil berjalan, penjual yang beruntung tadi melambaikan uang ribuan sebanyak 2 lembar. Kali ini saya bisa mendengar suara penjual itu karena saya melepaskan earphone yang tadi menemani. "Nih, buat uang dengar", kata penjual tadi. Wah, besar juga untungnya. Dari 2 kaleng bir itu, dia bisa memberi temannya uang dengar sebesar Rp. 2 ribu. Berarti untungnya bisa lebih dari 2 kali uang dengarnya.

Tetapi bukan kisah itu, yang jadi kisah utama tulisan saya ini. Kisah di bawah inilah yang akan jadi cerita utama.

Akhirnya, setelah lama berdiri di stasiun (kurang lebih 1.5 jam), kereta jurusan Yogyakarta, yang akan saya tumpangi (tentunya dengan bayar) tiba. Takut terpeleset karena lantai dan tangga basah oleh air hujan pagi tadi, saya berjalan hati-hati waktu naik kereta. Innalillahi, betul juga, saya terpeleset. Tapi, alhamdulillah.... seorang wisatawan asing, yang berdiri tidak jauh, dengan sigap menangkap saya dan tongkat saya. Dengan dibantu oleh wisatawan itu, saya bisa berdiri lagi dan bisa masuk kereta. "Thank you very much," kataku.

Subhanallah, lebih dari separo penumpang di gerbong yang sama denganku adalah wisatawan asing. Mereka duduk di kursi deretan terdepan. Di belakang wisatawan, ada beberapa orang Indonesia. Sepertinya pemandu wisata. Kursi saya tepat di belakang pemandu-pemandu itu.

Tanpa banyak bicara dengan penumpang sebelah, saya langsung tidur. Kira-kira sudah 3 jam berlalu setelah kereta meninggalkan stasiun, saya terbangun karena mendengar suara sendok beradu dengan piring :D. Ternyata wisatawan-wisatawan itu sedang memesan makanan. Loh, kenapa memesan? Biasanya 'kan ada makanan gratis sebagai bagian layanan.

Atau nggak ada ya? Kecewa juga, padahal waktu berangkat, saya belum makan. Perut juga sudah memanggil-manggil untuk diisi. Karena sudah tidak tahan, akhirnya saya juga memesan makan, tepatnya nasi goreng. Lebih mahal kalau dibandingkan dengan harga nasi goreng di luar kereta. Tetapi jauh lebih murah dibandingkan saya turun kereta, beli nasi goreng, dan terus beli tiket kereta yang lain lagi karena ketinggalan kereta.

Satu jam kemudian, tibalah kereta di sebuah stasiun dan berhenti. Kalau tidak salah, Stasiun Gombong. Semua wisatawan asing yang duduk di deretan terdepan turun. Akhirnya, banyak tempat duduk yang kosong, lebih dari separo.

Baru beberapa menit meninggalkan Stasiun Gombong, petugas kereta datang membagi-bagikan nasi goreng, "Nasi goreng.... layanan kereta". Nah, lo. Kenapa baru dibagikan sekarang? Biasanya 'kan dibagikan tidak lama setelah kereta berangkat dari stasiun awal? Berarti wisatawan asing tadi tidak dapat. Padahal mereka membayar tiket dengan harga yang sama dengan penumpang yang lain.

"Pindah ke depan saja, Pak. Akan kosong kok ", begitu kata petugas kereta. "Biasanya kalau hari Sabtu memang seperti ini, banyak wisatawan asing. Mereka selalu turun di Stasiun Gombong", lanjutnya. Sambil menikmati nasi goreng kedua di kereta, saya mendengarkan obrolan seorang petugas kereta dengan penumpang lain.

Ooohhh, jadi mereka sudah hapal, kalau hari Sabtu selalu ada banyak wisatawan asing yang akan turun di Stasiun Gombong. Kalaupun tidak hapal, petugas kereta pasti tahu hal itu dari tiket. Kalau petugas kereta tahu banyak yang turun di Stasiun Gombong, mengapa mereka tidak segera membagikan nasi gorengnya? Agar mereka tidak perlu beli makan, dan mendapatkan haknya. Malah akhirnya wisatawan asing itu harus mengeluarkan uang untuk beli makanan.

Untung juga, ya. Pertama, tidak perlu mengeluarkan nasi goreng. Kalau dihitung lumayan juga. Kedua, karena nasi gorengnya tidak diberikan, mereka harus beli makan. Pokoknya dua kali untung.

Sengaja? Nggak tahu. Kok pemandu wisata, yang juga orang Indonesia, diam saja? Nggak tahu juga.

Tetapi kalau itu sengaja, berarti "Dongeng Kancil" berhasil menyampaikan pesannya, "Orang pintar (lebih tahu) sudah seharusnya membodohi (membohongi) orang bodoh (orang yang tidak tahu)". Bukan pesan, "Orang pintar seharusnya memberi tahu orang bodoh agar tahu".

Selengkapnya...

Friday, August 3, 2007

Halo, Ini dengan Pak Taufiq?

Itulah ucapan pertama dari telpon seberang, yang menghubungi handphone saya. Karena memang saya yang menerima, langsung saya jawab, "betul". Meskipun saat itu, saya sedang asyik-asyiknya mendengarkan sebuah presentasi dalam acara Rapat Koordinasi Fakultas. Tambah semangat lagi menerima telpon, saat penelpon bilang, "Nomor hp milik isteri Bapak mendapat hadiah dari XXX (sebuah perusahaan telekomunikasi) sebagai pelanggan teraktif tahun 2006. Hadiah berupa uang Rp. 10 juta dan pulsa sebesar Rp. 1 juta. dst".

Sebagai pelanggan teraktif? Rasa-rasanya memang iya, karena saya termasuk rajin membayar nomor dari Kartu Pascabayar tersebut, dan selalu menghabiskan limit penggunaan :). Tetapi, saya 'kan belum setahun menggunakan kartu tersebut. Bahkan bisa dibilang, untuk tahun 2006, kami baru menggunakan 2 bulan.

Mengabaikan keheranan itu dan cerita dari teman-teman tentang penipuan, saya layani penelpon tadi. Dan penelpon tersebut menyampaikan tujuannya bahwa dia akan mengirim hadiah tersebut lewat transfer antar rekening Bank. Karena sudah sore, waktu itu sudah pukul 16.?? WIB, dia tidak bisa mentransfer ke Bank. Satu-satunya cara adalah lewat ATM.

Tambah heran dan saya mulai curiga. Jadi teringat tentang penipuan lewat SMS. Tetap mencoba mengabaikan, karena penipuan biasanya 'kan lewat SMS, tetapi saat ini lewat telpon. Saya cek nomor telpon yang tertera di HP, terbaca 021..... Belum sadar, kalau nomor itu juga bisa nomor HP, saya lanjutkan.

Penelpon tersebut akan mentransfer hadiah dengan cara, saya harus ke mesin ATM membawa kartu ATM saat itu juga karena hari itu adalah hari terakhir pengiriman hadiah. Dan lewat mesin ATM itu, penelpon akan memandu pengiriman uang. He.. he.. he.., kalau ini sih sudah jelas, penipuan. Masak mau dikirimi uang, saya yang harus ke ATM?

Namun, mendengar kemampuan bicaranya yang meyakinkan, saya sempat bingung bagaimana menutup pembicaraan. Akhirnya, dengan sedikit "menyombongkan diri", saya bilang: "Sepertinya lebih baik saya menolak hadiah ini, Pak. Karena saat ini saya sedang rapat, dan tidak ingin meninggalkannya karena memang rapat penting. ".

Dan selesailah pembicaraan karena penelpon tersebut bilang bahwa dia tidak memaksa. ....

Selengkapnya...

Wednesday, April 4, 2007

Harga-harga Psikologis

Sebenarnya sudah cukup lama saya ingin menulis ini. Namun, karena kesibukan baru kesempatan kali ini saya bisa menulisnya.

Kalau kita ke toko, supermarket, atau pusat-pusat perbelanjaan, tentunya sudah biasa menjumpai harga-harga yang tidak bulat. Harga-harga itu ada kemungkinan tidak bisa dibayar dengan uang pas. Sebagai contoh adalah Rp. 1580. Harga itu tidak mungkin dibayar dengan uang pas karena tidak ada receh Rp 10, misalnya. Demikian juga kalau dibayar Rp. 1600, pasti tidak ada uang kembalian. Untungnya, pihak toko tidak mau dibayar kurang, maunya tetap dibayar lebih, yaitu Rp. 1600. Kalau total belanjaan sedikit, presentasi uang yang kita bayar di luar harga barang yang kita beli, akan besar. Tetapi kalau total belanjaan kita banyak, memang tidak akan terasa.

Keuntungan yang bisa didapatkan pembeli, jika harga setiap barang itu lebih murah dari toko lain maka akan terasa hemat. Namun hal itu berlaku jika belanjaan banyak. Kalau tidak, akan sama saja, karena tidak adanya uang kembalian.

Keuntungan buat penjual, dengan harga yang lebih murah, akan menarik pelanggan. Meskipun selisihnya mungkin hanya beberapa rupiah. Sebagai contoh, harga di toko lain Rp. 2000, sedangkan di toko kita adalah Rp. 1980. Sekilas, pembeli akan melihat harga di toko kita lebih murah, yaitu sekitar seribuan. Sedangkan di toko lain, harganya sekitar dua ribuan. Meskipun nanti pada akhirnya, uang yang dibayarkan akan sama, karena tidak adanya uang kembalian.

Selain masalah harga tersebut, yang saya sebut sebagai pemanfaatan faktor psikologis, konon katanya harga tersebut juga untuk mengakali pajak. Mungkin benar, mungkin juga tidak. Karena tidak mungkin dengan selisih beberapa rupiah, pajaknya akan beda. Maksud saya dengan perbedaan di sini adalah perbedaan prosentase pajak.

Terlepas motivasi di belakang harga-harga itu, konsentrasi pembahasan saya sebenarnya bukan pada 'kita sebagai pembeli', namun lebih ke seandainya 'kita sebagai penjual'. Kalau kita sebagai pembeli, pasti setiap orang setuju tidak akan mempermasalahkan kelebihan yang kita bayarkan karena nilai itu terlalu kecil.

Namun, jika kita sebagai penjual maka sebenarnya kita telah melakukan kebohongan yang sangat besar, yang kita lakukan terhadap banyak orang. Kita telah melakukan pemaksaan setiap orang untuk membayar di luar dari harga yang seharusnya sudah disepakati. Harga yang sudah disepakati adalah harga yang tertulis di produk. Pada saat pembeli memilih barang yang akan dibeli, sebenarnya pembeli dan penjual sudah sepakat tentang harga. Namun kesepakatan itu kita langgar dengan pembayaran yang lebih karena alasan tidak ada uang kembalian.

Kenapa itu kebohongan? Karena pada saat kita menentukan harga itu, kita sudah tahu bahwa tidak mungkin pembeli akan membayar dengan uang pas. Dan harga itu harus dibulatkan ke atas tergantung uang terkecil yang beredar.

Fenomena yang lain, pembulatan tidak hanya ke uang terkecil. Sebagai contoh adalah uang Rp. 50 dan Rp. 100. Meskipun uang kecil tersebut masih ada, namun kadang-kadang pembulatan ke atas dilakukan ke ribuan terdekat. Alasannya sama, tidak ada uang kembalian. Seandainya kita penjual, kalau harga kita kemungkinan besar akan memunculkan kembalian dalam recehan tersebut, maka kita wajib menyediakan recehan itu sebanyak mungkin.

Saya teringat waktu belanja alat elektronik di Jerman. Barang-barang yang mereka jual sebagian berharga ratusan Euro. Karena masalah pajak, ada harga-harga yang memunculkan kembalian hanya 10 sen. Tetapi ternyata mereka juga menyediakan recehan tersebut.

Ada 2 hal yang memalukan saya. Sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah atheis, sedangkan kita mengaku beragama. Namun ternyata mereka lebih jujur. Mereka memiliki penghasilan yang lebih besar dari kita. Namun ternyata mereka (pembeli dan penjual) lebih perhatian terhadap uang kecil mereka dan tidak meremehkannya.

Terakhir, seandainya kita penjual, kita tidak seharusnya menjual pulsa Rp. 50.000 dengan harga Rp. 49.500, kalau kita tidak punya uang receh Rp. 500. Karena itu benar-benar kebohongan yang nyata.

Selengkapnya...

Tuesday, January 23, 2007

Daging (lagi) 'Sapi'

Yang saya ceritakan ini adalah kejadian yang dihadapi isteri saya langsung, bukan dari TV, yang telah memberitakan hal yang sama beberapa waktu lalu. Terjadi di kampung halaman isteri saya, di kota kecil yang bernama Magetan. Kejadian ini sudah berlangsung lama, mulai dari isteri saya masih SD sampai sekarang.

Salah seorang tetangga orang tua isteri saya memiliki profesi sebagai penjual daging, yang sekaligus memiliki tempat pemotongan sendiri. Tetangga itu adalah muslim, dan tinggal di lingkungan muslim juga.

Daging yang biasa mereka jual biasanya tidak dipasarkan di kampung kami, melainkan ke luar kampung. Seluruh tetangga tahu bahwa sebagian besar daging yang dijual adalah daging babi. Karena mereka muslim, tentunya tidak mau membeli daging dari tetangga tersebut, yang selanjutnya saya panggil sebagai Bu X.

Bu X mencampur daging babi itu dengan daging sapi. Sebelum dicampur, daging-daging babi itu dilumuri dengan darah agar terlihat merah seperti daging sapi. Meskipun begitu, tetangga tetap tahu karena mereka tidak mungkin menyembunyikan babi-babi hidupnya yang belum disembelih. Maka kemungkinannya hanya satu, dijual di luar kampung.

Bagi muslim, sudah jelas tertulis dalam Kitab Suci-nya bahwa memakan daging babi itu dilarang. Dan muslim juga meyakini bahwa ajaran muslim itu sebenarnya untuk semua umat manusia. Artinya, kalau seorang muslim dilarang makan daging babi maka dia juga dilarang memberikan daging babi ke orang lain untuk dikonsumsi, apapun agamanya. Kalau memberi saja dilarang, maka menjual pun dilarang.

Lebih parah lagi kalau menjualnya tidak terang-terangan, artinya tidak pernah menyebutkan bahwa daging yang dijual itu adalah daging babi. Dan jauh lebih parah lagi, jika daging itu disebutkan sebagai daging sapi.

Selengkapnya...

Daging Korban

Rekan kerja, yang juga tetangga beda RT, berkunjung ke tempat saya. Sebut saja Pak T. Seperti biasa, kunjungan ini hanya dalam rangka silaturahmi saja. Meskipun begitu, ternyata obrolan yang terjadi sangat luas, mulai dari masalah di tempat kerja sampai kegiatan di kampung. Kegiatan terakhir di kampung, dengan Pak T ini sebagai salah satu panitianya, adalah mengelola binatang korban. Kegiatan ini sebagai bagian dari acara keagamaan dalam Agama Islam pada hari besar Idul Adha.

Saat isteri saya menghidangkan minuman, Pak T bertanya ke isteri saya, "Daging korbannya dimasak apa, Bu?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, kami kaget karena kami merasa tidak mendapat daging korban. Sebelum mendapat pertanyaan dari Pak T ini kami sebenarnya biasa-biasa saja waktu tidak mendapat daging korban. Apalagi pemahaman kami selama ini daging korban hanya diberikan ke keluarga tak mampu. Dan Alhamdulillah, kami sudah cukup mampu sehingga tidak perlu mendapat daging korban.

Tetapi dari Pak T, saya mendapat pemahaman baru bahwa sebenarnya yang berhak mendapat daging korban tidak hanya keluarga yang tidak mampu. Kalau semua keluarga tidak mampu sudah mendapat daging korban, keluarga yang tergolong mampu pun akan mendapatkannya.

Sebagai panitia, Pak T mengetahui dengan pasti bahwa nama saya terdaftar sebagai penerima daging korban. Pak T sendiri sudah menanyakan ke pelaksana pembagian daging korban apakah saya sudah mengambil daging korban karena sampai sore saya tidak terlihat. Waktu itu kami memang jalan-jalan ke Galeria Mall, memberi kesempatan anak saya untuk main. Pak T mendapat jawaban bahwa daging korban saya sudah diambilkan oleh seseorang.

Tentu saja kami bertambah kaget. Kami tidak menerima daging korban tersebut. Tambahan lagi, pagi harinya kami tidak mendapat surat untuk pengambilan daging korban. Kalau kami mendapat surat itu, pasti kami akan mengambilnya.

Jika ada keterangan yang berbeda seperti kasus itu, ada 2 kemungkinan, salah satu bohong atau semuanya bohong. Ada 3 kemungkinan pelaku dan kebohongan yang dilakukan:
  • Saya dan isteri, sebenarnya sudah dapat tetapi bilang tidak dapat
  • Orang yang mengambilkan, mengambilkan ternyata diambil sendiri
  • Panitia pelaksana, sebenarnya belum ada yang mengambil

Dan Alhamdulillah, saya dan isteri saya tidak berbohong.

Daging korbannya sendiri bukan hal yang penting buat saya. Yang menjadi pertanyaan penting buat saya, dalam acara ritual keagamaan saja masih ada yang tidak jujur. Apalagi dalam acara korban seperti itu, yang memegang amanat dari orang-orang yang telah menyerahkan binatang korban. Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan yang lain?

Selengkapnya...

Thursday, December 21, 2006

Mengapa saya membuat blog ini?

Saat itu saya baru saja pulang dari LN. Selama di LN tempat saya studi itu, saya merasakan hidup yg justeru sederhana. Sederhana dalam bertingkah laku, dan berbicara. Satu hal yang begitu menarik perhatian saya adalah berbicara. Semua orang bicara apa adanya, tidak berbunga-bunga, dan tidak berdalih macam-macam. Saat itulah saya mengenal makna kejujuran. Efek yang ditimbulkan ternyata begitu luar biasa, hidup terasa nyaman.

Berbeda 180 derajat, saat saya menginjakkan kaki ke negeri sendiri. Baru turun dari pesawat, belum keluar dari bandara, ketidak-jujuran terpampang di depan saya. Para TKI yang tadi bersama naik pesawat 'digiring' ke tempat penukaran uang dengan kata-kata 'harus'. Kenapa harus? Tidak bolehkah punya pilihan lain?

Kejadian itu membuat saya teringat dengan kejadian saya sendiri waktu mengurus passport sebelum berangkat studi. Jelas-jelas, tertulis di papan, biaya yang harus saya bayar. Ternyata saya ditarik biaya yang jauh lebih besar. Bohongkah? Saya belum bisa menarik kesimpulan. Tapi itu menjadi pelajaran buat saya, saat mengurus passport buat isteri dan anak.

Untuk urusan kedua, saya menyarankan isteri untuk meminta kuitansi. Awalnya sih nggak boleh. Namun saya berbohong untuk menuntut hak saya, kuitansi pembayaran, dengan alasan untuk kepentingan insitusi tempat saya bekerja. Ajaib. Biaya yang harus kami bayar diturunkan. Berarti benar, mereka berbohong tentang biaya yang kemarin harus saya bayar. Masih menyisakan satu pertanyaan lagi di benak saya dengan kejadian itu. Haruskah saya berbohong hanya untuk menuntut hak saya?

Saat ini, 1 tahun lewat 7 bulan dari kejadian di bandara itu, saya sudah berada di negeri saya ini. Dan semakin banyak ketidak-jujuran yang saya temui, baik dalam kehidupan keseharian di masyarakat dan tempat saya bekerja, maupun berita-berita yang disampaikan media massa dan media massa itu sendiri. Pengalaman itulah, terutama yang saya temui langsung, yang akan saya tulis dalam blog ini. Pengalaman itu akan saya tulis dalam sudut pandang saya tentang kejujuran.

Saya tidak berani mengatakan bahwa saya termasuk orang yang jujur. Saya hanya berani berkata bahwa saya manusia yang berusaha untuk menghindari ketidak-jujuran. Apalagi jika ketidak-jujuran itu akan merugikan:
a. orang lain utk keuntungan saya,
b. keluarga lain utk keuntungan keluarga saya,
c. institusi lain utk keuntungan institusi saya,
d. organisasi lain utk keuntungan organisasi saya, dan
e. maupun negara lain utk keuntungan negara saya.

Selengkapnya...