Showing posts with label Lingkungan Kerja. Show all posts
Showing posts with label Lingkungan Kerja. Show all posts

Sunday, April 1, 2012

Monoteisme dan Evolusi (2): Bukti-Bukti Monoteisme dan Perubahan Menjadi Politeisme

Pada bagian 2 ini, saya tambahkan subjudul untuk mempermudah pemahaman. Subjudul ini tidak ada di makalah aslinya.


Monoteisme Bangsa Primitif
Sehingga, kita menemukan keyakinan terhadap satu Tuhan yang Maha Besar diantara semua suku-suku yang disebut primitif, yang telah ditemukan. Suku Maya di Amerika Tengah meyakini satu Tuhan yang menciptakan segala sesuatu, yang mereka panggil Itzamna [11], Kaum Mende di Sierra Leone, Afrika Barat, meyakini satu Tuhan yang menciptakan alam semesta dan roh-roh, yang mereka panggil Ngewo [12], di Babilon Kuno sesembahan utama penduduk kota itu, Marduk [13], dipandang sebagai Tuhan yang Maha Besar. Di Hinduisme, Brahma adalah satu Tuhan yang absolut, abadi, dan bukan-manusia, yang tidak mempunyai permulaan dan akhir[14].

Di agama Yoruba, yang dianut oleh lebih dari 10 juta orang di Afrika Barat (utamanya Nigeria), terdapat satu Tuhan yang Maha Besar, Olorius/Olodumare (Penguasa langit). Meskipun demikian, agama Yoruba modern dicirikan oleh berbagai bentuk upacara peribadahan Orisha yang mengubah agama ini menjadi lebih dekat ke politeisme.

Dari Monoteisme Menjadi Politeisme
Satu dari ahli-ahli barat pertama yang mengakui pengaruh penting trend dari monoteisme menjadi politeisme ekstrim adalah Stephen Langdon, dari Oxford. Langdon mengambil pandangan bahwa Sumerian adalah peradaban sejarah yang paling tua dan dia mencatat “Dalam pandangan saya sejarah peradaban manusia yang paling tua adalah proses kemunduran secara tajam dari monoteisme ke politeisme ekstrim dan kepercayaan yang tersebar luas tentang roh-roh. Dalam pendirian yang sangat tepat, ini adalah sejarah kejatuhan manusia.”[15]

Edward McCrady, yang menulis tentang keagamaan orang India, mengamati bahwa bahkan Rig Veda (Book 1, p.164) menunjukkan bahwa tuhan-tuhan di masa-masa awal dipandang secara sederhana sebagai perwujudan yang bemacam-macam dari Zat Ketuhanan Yang Maha Tunggal, dia menyatakan bahwa: “Mereka menyebut-Nya dengan Indra, Mythra, Varunna, Agnee – semuanya adalah istilah (sebutan/nama) yang berbeda untuk satu Tuhan Yang Maha Bijaksana.”[16]

Sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa Bangsa Primitif
Ahli sejarah China kadang-kadang membagi periode sejarah kuno ke dalam tiga periode: periode utama, periode menengah, dan periode dekat. Periode pertama kira-kira merentang dari abad ke-21 sampai abad ke-12 sebelum Masehi. Menurut Ron Williams, yang membaca tulisan China, setiap periode memiliki ciri-ciri keagamaan tersendiri, dan periode pertama secara terang adalah monoteistik. Williams juga mencatat bahwa: “Pada periode sejarah China ini, Penguasa yang Besar adalah Tunggal dan tidak dapat dibagi, tidak dapat berubah, tidak ada yang menyamai, mengatur secara absolut dan sendirian di atas segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki tanpa ada kekuatan yang dapat menghalanginya, dan kehendak-Nya selalu hak.”[17]

Dalam serial jurnal The Great Ages of Man, satu volumenya diterbitkan berkaitan dengan China kuno, yang ditulis oleh Edward H. Schafer ,yang mencatat: “Satu dari yang paling tua dan pasti paling besar dari tuhan-tuhan adalah Tuhan Langit Ti'en. Pada masa-masa awal Ti'en dipandang sebagai Raja Besar di langit, lebih megah dari segala yang ada di bumi. Selanjutnya kebanyakan memandang Ti'en sebagai sumber energi non-manusia, sumber energi yang menggerakkan dunia.”[18]

Kerja lain yang sangat penting pada monoteisme awal dari orang-orang primitif adalah oleh Wilhelm Schmidt, yang asalnya pekerja produktif di Jerman, diterbitkan pada tahun 1930 dalam terjemahan bahasa Inggris sebagai sebuah volume tunggal. Dalam studinya Schmidt mendapatkan bahwa dia menemukan budaya primitif pada tingkatan budaya yang paling rendah, mempunyai konsep Tuhan yang lebih murni. Dia mencatat bahwa seperti seseorang berkembang dari pemburu saja menjadi pengumpul makanan, dan dari penyimpan makanan menjadi penanam makanan seperti pengembara pastor yang menjaga jemaahnya, menjadi penanam makanan yang menetap pada suatu tempat, dan di atas skala masyarakat semi-urban, seseorang menemukan keyakinan sederhana terhadap Tuhan yang Maha Besar, yang tidak mempunyai isteri dan keluarga. Menurut Schmidt kita menemukan bentuk keyakinan ini antara Pygmies di Afrika tengah, orang Australia-tenggara Aborigin, orang Amerika asli di California-utara-tengah, Algonquians primitif, dan Koryaks serta Ainu pada batas-batas tertentu. Untuk menyimpulkan penemuannya secara ringkas, kata-kata dia sendiri adalah: “Kembali ke masyarakat paling primitif, Pygmies di Afrika atau orang Australia-tengah Aborigin atau orang-Amerika tengah Indian – semua mempunyai satu Tuhan yang Maha Besar yang kepada-Nya-lah mereka membuat persembahan... semua masyarakat ini juga mempunyai tata-cara doa yang pendek...”[19]

Andrew Lang mencatat bahwa "Aborigin Australia mungkin memiliki salah satu kebudayaan yang paling sederhana dari semua masyarakat yang dikenal, tetapi mereka memiliki konsep-konsep keagamaan yang begitu tinggi, yang akan lumrah untuk menjelaskan bahwa konsep itu merupakan akibat dari pengaruh Eropa. "[20] Pada saat penulisan Lang merasa bahwa penjelasan ini dibenarkan karena dalam lingkungannya konsep mereka tentang Tuhan dipandang sebagai yang paling 'berevolusi' dan 'beradab.'

Lang juga menyebutkan bahwa penduduk Kepulauan Andaman, yang dia pandang berada pada tingkat kebudayaan yang sama dengan Aborigin, meyakini satu Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan itu sebagai Zat yang tidak bisa dilihat, abadi, pencipta segala sesuatu (kecuali kejahatan), mengetahui segala yang ada di hati dan pikiran, Zat yang marah terhadap dusta dan perilaku buruk, membantu orang yang dalam kesukaran dan penderitaan. Lebih lanjut, konsep Tuhan mereka adalah bahwa Dia adalah Hakim terhadap jiwa yang telah mati dan pada masa depan Dia akan memimpin pengadilan yang agung.

Informasi yang diberikan ke Lang itu datang dari anggota-anggota yang lebih tua dari masyarakat tersebut, yang tidak mengenal masyarakat lain pada saat itu. Seperti yang Lang katakan, “... pengaruh luar sepertinya telah dikesampingkan lebih dari biasanya (dalam konsep Tuhan mereka).”[21]

Sameul Zwemer berbicara tentang ciri-ciri Bushmen yang monoteistik, seperti kebanyakan orang dari kebudayaan Arctic yang dia pertahankan, yaitu “Terang ... bahkan untuk penelitian yang sambil lalu.”[22] Dalam papernya dia tidak hanya menyampaikan ulang apa yang telah diteliti oleh orang lain, sebut saja hasil penelitian bahwa orang-orang primitif mempunyai pengetahuan tentang satu Tuhan yang Maha Besar, melainkan lebih menyatakan bahwa Tuhan yang Maha Besar, yang mereka kenal, secara inti adalah satu Zat yang sama dengan sifat-sifat yang sama. Canon Titcombe mencatat ketika berbicara tentang Zulus, mengutip seorang mantan bishop dari Natal yang mempunyai pengetahuan tentang Zulus dari tangan pertama ketika mereka masih utuh secara budaya, bahwa mereka tidak mempunyai sesembahan selain mengakui Zat Tunggal yang Maha Besar, yang dikenal sebagai Zat yang Agung, yang Maha Kuasa, yang Pertama, dll.[23] Titcombe juga mencatat konsep satu Tuhan di antara penduduk asli Madagaskar.[24]

Kesimpulan
Semua bukti-bukti ini mengarahkan Paul Radin untuk menyimpulkan, setelah menyebutkan kerja Lang: “wawasan intuisinya telah dikuatkan secara berlimpah”.[25] Tambahan lagi, E.O. James menyimpulkan dalam sebuah paper yang diterbitkan oleh Jurnal of the Royal Anthropological Institute: “Maka, tidak mungkin untuk mempertahankan sebuah evolusi yang unilateral (sepihak dan satu) dalam wawasan dan praktek keagamaan seperti yang disarankan oleh 'Tiga Tingkat' dari Frazer, Tylor dan Comte. Meskipun demikian, baik spekulasi bahwa ide tentang Tuhan tumbuh dalam peribadatan nenek moyang seperti yang disebarkan oleh Herbert Spencer maupun model evolusi Frazer dari politeisme dan animisme ke monoteisme tidak dapat dirujukkan dengan satu Tuhan-kesukuan yang Maha Besar, yang merupakan ciri dari konsep yang primitif tentang Tuhan, yaitu konsep satu-Tuhan yang selalu berulang.”[26]

Proses kemunduran monoteisme dapat dilihat pada Budhisme yang berawal pada abad ke-6 sebagai gerakan pembaruan dalam Hinduisme. Namun masa berikutnya, patung-patung dan gambar-gambar raksasa dalam jumlah besar dari Budha didirikan dan dikelilingi dengan bunga, dupa, dll. Lebih lanjut, pengikut Budhisme menyelenggarakan sejumlah upacara (ritual) kepada patung-patung tersebut, yang mencakup sujud, ruku (ketundukan), dll. Sebagai tambahan, Dalai Lama dari Tibet diibadahi sebagai tuhan yang berwujud manusia (man-god), dengan sujudnya para pengagum terhadapnya. Hal seperti ini juga dapat diamati dalam gerakan Sufi Naqsyabandi dengan pemimpinnya saat ini Naazim Qubrusi, dan juga 'pembuat mukjizat' seperti Sai Bab dan 'Ayatullah' Khomaini. Semua manusia ini diibidahi selain Allah dan menunjukkan proses kemunduran monoteisme menjadi politeisme.

Catatan Kaki:
[11] John Hinnels, Dictionary of Religions (Penguin Books: 1884), p. 93 (Back..)
[12] Ibid, p. 210 (Back..)
[13] Ibid, p. 204 (Back..)
[14] Ibid, p. 68 (Back..)
[15] Stephen H. Langdon, “Mythology of all Races,” in Semitic Mythology Journal (Vol. 5, Archaeological Institute of America: 1931), p. xviii/p.18 (Back..)
[16] Edward McCrady, “Genesis and Pagan Cosmologies,” Trans. Vict. Institute; Vol. 72 (1940), p.55 (Back..)
[17] Ron Williams, “Early Chinese Monotheism,” a thesis paper presented before the Kelvin Institute (Toronto, 1938) (Back..)
[18] Edward H. Schafer, “Ancient China,” in The Great Ages of Man (New York: Time Life, 1967) p. 58 (Back..)
[19] Wilhelm Schmidt, The Origin and Growth of Religion – Facts and Theories, (London: 1931) p. 131, (translated by HJ Rose) (Back..)
[20] Andrew Lang, The Making of Religion (London: Longmans Green, 1909) pp. 175-182, 196 (Back..)
[21] Ibid, p. 196 (Back..)
[22] Samuel Zwemer, “The Origin of Religion – By Evolution or by Revelation,” (Trans. Vict. Institute, Volume 67; 1937) p. 189 (Back..)
[23] J.H. Titcombe, “Prehistoric Monotheism,” (Trans. Vict. Institute, Vol. 8, 1937) p. 145 (Back..)
[24] Ibid, p. 144 (Back..)
[25] Paul Radin, Primitive Men as Philosophers (New York: 1956) p. 346 (Back..)
[26] E.O. James, “Religion and Reality,” in The Journal of the Royal Anthropological Institute (Vol. 79, 1950) p. 28
(Back..)



Makalah asli: Monotheism and Evolution


Selengkapnya...

Wednesday, March 28, 2012

Monoteisme dan Evolusi (1) : Evolusi Agama dan Konsep Monoteisme Islam

Pengantar Penerjemah

Teori evolusi juga mempengaruhi pemikiran tentang lahirnya agama-agama di dunia, yang dikenal sebagai evolusi agama. Menurut teori ini, lahirnya agama adalah hasil dari evolusi keyakinan politeisme/animisme menjadi monoteisme, yang merupakan ciptaan manusia dan tidak ada campur tangan ketuhanan. Seperti teori evolusi, klaim ini tidak didukung oleh bukti sama sekali. Bukti yang berlimpah justeru menunjukkan bahwa agama pada jaman primitif adalah monoteisme, yang pada masa selanjutnya merosot menjadi politeisme.

Dalam Islam sudah jelas bahwa awalnya umat manusia menganut monoteisme kemudian berubah menjadi politeisme. Kemudian Allah سبحانه و تعالى, Tuhan yang Maha Besar dan Maha Esa, telah mengirimkan utusan-utusan ke setiap kaum untuk memperingatkan mereka agar beribadah hanya kepada Tuhan yang Maha Besar dan Maha Esa itu, yang berarti agar kembali monoteisme. Sangatlah wajar kalau ditemukan bukti bahwa antara bangsa yang mereka sudah lama tidak berinteraksi, ditemukan ajaran monoteisme terhadap satu Tuhan yang Maha Besar yang memiliki sifat-sifat yang sama.

Bukti-bukti tersebut yang akan ditunjukkan dalam makalah yang saya terjemahkan ini. Meskipun demikian, makalah ini tidak bermaksud menunjukkan bahwa jika ada agama monoteisme saat ini maka agama tersebut adalah benar. Sangat logis jika semua agama monoteisme itu harus diukur dan menyesuaikan diri dengan ajaran dari utusan terakhir dari Tuhan yang Maha Besar, yaitu Rasulullah Muhammad صلي الله علىه وسلم.

(akhir dari pengantar penerjemah)


Monoteisme dan Evolusi

Terdapat klaim oleh banyak Afrocentris, orientalis dan antropologis bahwa monoteisme adalah ciptaan bangsa Mesir kuno, yang diawali oleh dinasti Firaun ke-18, Akhenaten/Amenhotep ke-4, pada abad ke-14 sebelum Masehi?![1] Pernyataan yang tegas ini secara mengejutkan datang dari pihak akademisi ‘yang terhormat’, profesor-profesor barat yang berharap agar secara buta orang-orang mengikuti ‘bukti’ mereka, ketika dalam kenyataannya tidak satupun bukti itu mereka tunjukkan dalam hal itu. Sebagai contoh, argumen ini telah diajukan oleh Julian Baldick dalam makalahnya yang berjudul Black God – The Afroasiatic Roots of the Jewish, Christian and Muslim Religious (London: I.B. Tauris, 1997).

Disebabkan oleh pengaruh pemikiran evolusi Darwin, banyak sejarawan, ahli ilmu sosial dan antropologis telah menyimpulkan bahwa agama dimulai dengan penyembahan umat manusia terhadap kekuatan alam yang diakibatkan oleh kekaguman mereka terhadap pengaruh perubahan yang besar dan merusak dari lingkungan dan alam. Hingga petir, kilat, gempa bumi, gunung berapi, dll diyakini sebagai sesuatu yang mengandung hal ghaib. Kemudian manusia mencari cara untuk menenangkan hal ghoib tersebut melalui bermacam tata cara, upacara, doa, dan persembahan. Penduduk asli Amerika Utara, yang meyakini akan roh ghoib dari sungai dan hutan, digunakan sebagai contoh dari tingkat awal dalam evolusi agama, yang dikenal sebagai animisme.

Akhirnya diatesis muncul di mana semua kekuatan supranatural dibatasi dalam dua tuhan utama, biasanya tuhan kebaikan dan tuhan kejahatan. Menurut evolusionis, contoh pada tahap ini dapat dilihat pada agama Zoroaster di Persia. Sebelum kemunculan ‘pembaharu’ Persia, Zaratustra [2], orang-orang Persia dianggap telah meyakini roh-roh kekuatan alam, dewa-dewa (tuhan-tuhan) yang bersifat kesukuan, dan dewa-dewa yang bersifat keluarga. Menurut bukti yang terkumpul dan diartikan oleh antropologis, selama masa Zaratustra dewa-dewa kesukuan dikurangi menjadi 2: Ahura Mazda yang menciptakan kebaikan dan Angora Mazda yang menciptakan kejahatan. Ketika suku-suku digantikan dengan bangsa-bangsa, berikutnya dewa-dewa kesukuan digantikan dengan satu dewa kebangsaan dan monoteisme dianggap dilahirkan. Jadi menurut sudut pandang ini, yang dipegang oleh banyak Afrocentris, ahli-ahli ilmu sosial, orientalis dan antropologis, monoteisme tidak mempunyai asal-usul ketuhanan. Monoteisme hanyalah hasil dari evolusi ketakhayulan manusia pada masa-masa awal, yang dilandasi oleh lemahnya pengetahuan yang ilmiah. [3]

Ulama hadits terkemuka Syekh Nasiruddin al-Albani [4] رحمه الله mengatakan ”telah tetap dalam Islam dan syari’ah bahwa pada awalnya umat manusia adalah bangsa yang satu di atas Tauhid yang benar, kemudian secara bertahap sirik menguasai mereka. Dalil untuk hal ini adalah firman Allah سبحانه و تعالى,

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ

Manusia itu adalah satu umat, kemudian Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. (Al-Baqarah: 213)

Ibnu Abbas [5] رضي الله عنه berkata “Antara Nabi Nuh علىه السلام dan Nabi Adam علىه السلام terdapat 10 generasi, semuanya di atas syari’ah kebenaran, tetapi kemudian mereka berpecah belah. Kemudian Allah سبحانه و تعالى mengutus Nabi-nabi untuk membawa kabar gembira dan juga memperingatkan kaumnya.”

Syekh al-Albani رحمه الله kemudian melanjutkan bahwa dalil ini menyangkal filosof dan ateis yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia secara alami adalah syirik [6], dan bahwa Tauhid berevolusi dalam kehidupan manusia. Ayat di atas menyangkal pernyataan ini, sesuai dengan hadits shahih berikut.

Nabi Muhammad صلي الله علىه وسلم meriwayatkan langsung dari Allah سبحانه و تعالى, bahwa Allah سبحانه و تعالى berfirman, “Aku ciptakan semua hamba-hambaku di atas agama yang benar (Tauhid, bebas dari syirik), kemudian setan mendatangi mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka itu. Mereka mengharamkan sesuatu buat orang-orang, yang telah Aku halalkan buat mereka, dan mereka memerintahkan orang-orang untuk menyekutukan-Ku yang tidak pernah Aku turunkan kewenangan untuk itu.”[7] Juga Nabi Muhammad صلي الله علىه وسلم bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, tetapi orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi. [8]

Selanjutnya Syekh al-Albani رحمه الله menyatakan bahwa “setelah penjelasan yang terang ini, penting bagi setiap Muslim untuk mengetahui bagaimana syirik menyebar di antara orang-orang mukmin setelah sebelumnya mereka adalah umat yang satu. Menyangkut firman Allah سبحانه و تعالى, Yang Maha Sempurna, tentang Nuh علىه السلام

وَقَالُواْ لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدّاً وَلاَ سُوَاعاً وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'aq dan Nasr. (Nuh:23)

Telah banyak diriwayatkan dari Salaf dalam banyak hadits, bahwa kelima sesembahan ini adalah ahli ibadah. Akan tetapi, ketika mereka meninggal dunia, Setan membisiki orang-orang untuk duduk-duduk di kuburan mereka dan mengenang mereka. Kemudian setan muncul dalam bentuk manusia pada generasi berikutnya dan mengatakan kepada mereka untuk membuat patung-patung mereka. Selanjutnya setan mengatakan kepada generasi selanjutnya untuk beribadah kepada patung-patung ini seperti yang telah dilakukan oleh nenek-moyang dan leluhur mereka. Kisah ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thobari رحمه الله dan yang lainnya. Dalam Ad-Durr al-Mandhur (6/269) 'Abdullah bin Humaid meriwayatkan dari Abu Muttahar, yang berkata bahwa Yazid ibnul-Muhallab disebut-sebut Abu Ja'far al-Baqir رحمه الله, kemudian dia berkata, “dia terbunuh di tempat pertama kali sesuatu selain Allah diibadahi. Kemudian dia menyebutkan Wadd dan berkata, “Wadd adalah seorang muslim yang dicintai oleh kaumnya. Ketika dia meninggal dunia, kaum itu mulai berkumpul di sekitar kuburannya di tanah Babil (Babilonia) untuk meratap dan berkabung. Abu Ja'far رحمه الله menyebutkan bahwa berhala itu kemudian disebut 'Wadd'. "[9]

Tersedia secara luas, fakta yang membuktikan bahwa konsep monoteis manusia terhadap satu Tuhan merosot menjadi peribadahan terhadap berhala, manusia, dan manusia suci, serta dewa-dewa. Islam meyakini bahwa manusia awalnya beribadah kepada Tuhan semata, kemudian setelahnya menyimpang ke berbagai bentuk politeisme seperti yang sudah disampaikan. Islam memegang teguh keyakinan bahwa Tuhan mengirim rasul-rasul kepada semua suku dan bangsa di muka bumi untuk membimbing mereka kembali ke jalan monoteisme.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللَّهَ وَاجْتَنِبُواْ الْطَّـغُوتَ
Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah thoghut,” ... (An-Nahl:36)

Ulama Ibnu Atsir
رحمه الله, menyebutkan bahwa “Fitrah yang dibawa setiap manusia sejak lahir adalah kecenderungan pada agama yang benar, dan jika manusia itu dibiarkan, dia akan tetap di atas fitrah ini. Namun, orang yang menyimpang dari fitrah, mereka melakukannya karena mengikuti kelemahan manusia dan mengikuti orang lain secara buta. [10]

Catatan kaki:
[1] Firaun ini yang kemudian mengumumkan dirinya sebagai tuhan di muka bumi (Back..)
[2] Dalam bahasa Yunani: Zoroaster (Back..)
[3] Dr. Abu Aminah Bilaal Philips, Fundamentals of Tawheed – Islaamic Monotheism(International Islamic Publishing House: 1994) pp. 183 – 190
(Back..)

[4] Beliau dilahirkan di Albania dan tumbuh di Syria, tempat beliau menjadi salah satu dari ulama besar, dan dia tercatat menjadi ulama hadits abad ini dan salah satu pembaharu Islam (yang dimaksud bukan pembaharu ajaran Islam, pen.). Kadang-kadang beliau mengajar di Universitas Islam Madinah dan mempersembahkan banyak buku-bukunya ke perpustakaan universitas itu. Beliau membukukan penelitian yang menonjol tentang hadits, seperti as Silsilah al-Hadits as shahihah dan adh-Dha’ifah. Beliau juga menulis Tahdziir as Sajid, at-Tawassul, Fiqh ul-Waqi’, dll. (Back..)

[5] ‘Abdullah bin Abbas (meninggal pada tahun 68 H/687 M), beliau adalah sepupu Nabi Muhammad dan satu dari ulama Qur’an paling unggul di antara para sahabat. Beliau dikenal sebagai ahli tafsir Al-Qur’an dan juga ahli hukum dan ulama hadist yang menonjol. Tafsir Qur’an beliau menyusun sebagian dari tafsir-tafsir Al-Qur’an. Namun, banyak tafsir yang dinisbatkan ke beliau adalah tidak shahih. Apa yang dinamakan Tafsir Ibnu Abbas, yang disusun oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi bukanlah hasil karya beliau. (Back..)

[6] Syirik adalah beribadah secara langsung kepada sesuatu selain Allah, termasuk penyembahan berhala, penyembahan orang-orang sholeh dan pemberhalaan seperti takhayul, ramalan telapak tangan, ramalan ‘daun teh’ (tea leaf reading), peneropongan bola kristal, tukang sihir, sihir, pengakuan mengetahui alam ghoib, dll. (Back..)

[7] Hadits qudsi adalah hadits yang diwahyukan secara langsung dari Allah kepada Muhammad saw. Teks ini diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari sahabat ‘Iyyaah bin Himar al-Mujash’i ra. (Back..)

[8] Penyembah api, Majusi dalam bahasa Arab, Zoroastrian dalam bahasa Inggris. (Back..)
[9] Syekh al-Albani, Tadheer as-Saajid min Ittikhaadhil Quboor il-Masaajid, p.101-106 (Back..)
[10] An-Nihayah (3/457) (Back..)


Selengkapnya...

Saturday, December 10, 2011

Kebohongan Ilmiah: Pencatutan Nama

Dalam penulisan karya ilmiah, yang sering terjadi adalah pengutipan perkataan orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Penulis karya tersebut bisa dikategorikan sebagai plagiator (penjiplak) walaupun kadang-kadang hal ini disebabkan karena ketidak-sengajaan.

Namun, pernah juga terjadi pengutipan perkataan seseorang padahal orang tersebut tidak pernah mengatakannya. Sebenarnya hal ini adalah sesuatu yang tidak mungkin dalam penulisan karya ilmiah. Plagiasi pada kasus pertama adalah mengakui perkataan orang lain sebagai perkataan penulis. Tetapi pada kasus kedua ini, justeru perkataan penulis yang diakukan sebagai perkatan orang lain. Namun hal ini benar-benar terjadi. Salah satu motivasi yang mungkin melandasinya adalah ingin mengambil keuntungan dari nama besar orang yang dikutip perkataannya.

Pada kasus pertama, masih mungkin terjadi karena ketidak-sengajaan. Namun pada kasus kedua, bisa dipastikan karena kesengajaan, apalagi jika hal itu menyangkut nama besar seseorang.

Hadits palsu bisa dikategorikan dalam kebohongan ini. Karena resikonya bisa menyesatkan orang lain, hukumannya berat yaitu neraka. Bahkan tempat duduk untuk pelakunya sudah disediakan. Sungguh heran kalau ada orang yang menyepelekan hal ini, yang contohnya adalah berani mengutip hadits yang belum diketahui keshahihannya.

Kasus yang akan saya kutip ini adalah contoh yang lain. Kebohongan yang sangat memalukan. Penulisnya sendiri mengaku bahwa bukunya ditulis dengan mengikuti kaidah ilmiah. Untungnya, orang yang dikutip masih hidup sehingga bisa dikonfirmasi. Namun perlu dipertanyakan kejujuran penulis, "kepada orang yang masih hidup saja, dia berani berdusta atas namanya. Apalagi kepada orang yang sudah mati?"



Kebohongan Syaikh Idahram atas Nama Arifin Ilham

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Salah satu kebiasaan orang Syiah dalam karya-karya mereka adalah BERBOHONG. Ini seperti sudah menjadi tabi’at yang melekat. Bagi mereka “membohongi Ahlus Sunnah” dianggap “amalan shalih”. Masya Allah. Ya maklum ya, mereka hidup tidak merasa diawasi oleh Allah. Tanggung-jawab hanya ke imam-imamnya saja. Meskipun di hadapan Allah salah, kalau hal itu diperintah oleh imam-imamnya, ya mereka lakukan juga.

Seperti dalam buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” (SBSSW) karya Idahram, dan buku-buku lain. Disana dicantumkan kalimat endorsement dari tokoh-tokoh Muslim, salah satunya Ustadz Arifin Ilham. Karena ada dukungan seperti itu, jelas buku tersebut laku keras di tengah masyarakat. Belakangan ketika ada yang melakukan klarifikasi, Arifin Ilham merasa DICATUT. Katanya, dia tidak pernah membaca isi buku itu.

Hal ini, tak lepas dari peranan salah seorang saudara kita, Al Akh Irres Ponorogo. Dia coba melakukan klarifikasi kepada Arifin Ilham via media facebook untuk mengetahui komentar Arifin Ilham terkait endorsement yang diberikan di buku-buku Idahram.

Irres Ponorogo menyampaikan pertanyaan kepada Ustadz Arifin Ilham:
"Ustadz Arifin Ilham, buku berjudul ‘Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi’ (SBSSW) yang dikarang oleh seorang yang mengaku bernama Syaikh Idahram. Buku tersebut berisi gugatan dan caci-maki terhadap apa yang disebut dengan ‘Gerakan Salafi Wahabi’. Dukungan ustad M Arifin Ilham pada buku tersebut menimbulkan kontroversi. Afwan, kiranya ustadz mau introspeksi terhadap hal ini. Tolong dikaji lagi pernyataan ustadz pada buku tersebut!"
Kemudian pernyataan di atas mendapat tanggapan sebagai berikut oleh Ustadz Arifin Ilham:
"Subhanallah, sebaiknya Akhy Fillah tahu, bahwa prakata di buka itu tanpa seizin saya Muhammad Arifin Ilham, dan sudah saya sampaikan protes saya. Membacanya pun saya belum pernah."
(FB Ustadz Arifin Ilham 2. Tanggal 3 Desember pukul 12:57).

Kemudian Saudara Irres Ponorogo, menyampaikan pernyataan berikutnya masih via facebook ke laman FB Ustadz Arifin Ilham 2, pada tanggal 5 Desember 2011, jam 15.59. Isi pernyataannya, berikut:

"Tolong Ustadz Arifin diminta klarifikasi secara terbuka mengenai buku ‘Sejarah Sekte Salafy Wahaby’ dari ustadz Abu Muhammad Waskito: ‘Ya mestinya berani melakukan klarifikasi dong. Masak untuk publikasi buku sehebat itu, klarifikasinya hanya melalui email personal. Ayo lakukan klarifikasi terbuka. Cabut pernyataan itu, kalau perlu lakukan bantahan terhadap penulisnya. Kalau ada klarifikasi ke blog ini, resmi dari Arifin Ilham, insya Allah akan dimuat.’"
Lalu mendapat jawaban dari Ustadz Arifin Ilham sebagai berikut:
"Subhanallah, cukup Dewan Syariat Majlis (Adz Dzikra) & pihak terkait (misalnya MUI), kami tidak ingin menjadi PUBLIKASI bagi mereka yang berkepentingan lain… Biarlah umat menilainya."
Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa Syaikh Idahram, Said Aqil Siradj, Pustaka Pesantren, dan para pendukung gerakan buku-buku propaganda itu; mereka telah mencatut nama Ustadz Arifin Ilham dan membuat-buat kalimat palsu sesuka hatinya.

Lihatlah disana, bahwa orang-orang itu terbiasa berbohong, makan kebohongan, bergelut dengan dunia dusta, serta menikmati tetes-tetes air dari jalan keculasan. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Masya Allah, seiring waktu berjalan, mereka akan “ditelanjangi” di panggung sejarah, atas ijin dan perkernan Allah Al ‘Aziz.

Syukran jazakallah khair kepada Saudara Irres Ponorogo atas keterlibatannya dalam meluruskan masalah yang ada. Wal ‘aqibatu lil muttaqiin.

AMW.

Sumber: http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/kebohongan-syaikh-idahram-atas-nama-arifin-ilham.htm


Selengkapnya...

Tuesday, June 29, 2010

Teori Evolusi (Bagian 3) : Penipuan Fosil si "Missing Link"

Sungguh tidak bisa dipercaya, para pendukung Teori Evolusi masih percaya dengan teori ini padahal beberapa hal yang memegang kunci penting dalam Teori Evolusi merupakan hasil penipuan. Mungkin mereka berdalih bahwa itu hanya sebagian kecil saja. Masalahnya, akses terhadap fosil hanya dikuasai oleh pendukung Teori Evolusi. Mungkin kalau mereka membuka akses untuk penelitian lebih mendalam tentang fosil tersebut, akan banyak membongkar penipuan-penipuan yang lain.

Selain itu, penipuan terang-terangan di dunia ilmiah sangat tidak bisa diterima. Tidak tanggung-tanggung, pelakunya bukan saintis kelas teri, tetapi menyandang posisi professor dengan gelar doktor penuh. Dan anehnya, dengan terbongkarnya penipuan ini, tidak membuat buku-buku teks tentang teori evolusi mengalami revisi.

Terilhami tulisan di Hidayatullah.com, saya mencoba mencari sumber yang dirujuk oleh tulisan itu. Hasilnya, ada beberapa penipuan fosil milik si Missing Link, si makhluk-antara yang hilang.

Missing Link antara Homo Neanderthal dan Manusia Modern
Beberapa fosil ditemukan oleh Prof. Protsch di wilayah Jerman. Fosil-fosil tersebut dinyatakan berusia antara 10.000 - 30.000 tahun. Dengan usia ini, diyakini bahwa fosil-fosil tersebut milik Missing Link antara Homo Neanderthal dan Manusia Modern.

Namun ternyata, usia tersebut sangat jauh dari usia sebenarnya. Karena reputasi professor tersebut dan selisih perhitungan usia yang sangat jauh, tidak mungkin itu terjadi karena kesalahan yang tidak disengaja. Kesalahan tersebut dilakukan dengan sengaja sehingga dianggap sebagai penipuan.

Sebagai contoh adalah fosil wanita yang dia temukan. Wanita tersebut ternyata hidup sekitar tahun 1.300 SM. Jauh dari perhitungan dia yang memperkirakan hidupnya sekitar 21.300 tahun lalu. Yang lebih mencengangkan adalah kesalahan usia fosil manusia Paderborn-Sande. Menurutnya, manusia tersebut hidup sekitar 27.400 SM. Dan ternyata, manusia tersebut hidup pada tahun 1750 M. Bagaimana mungkin belulang yang baru berusia tidak lebih dari 300 tahun itu disebut fosil?

Dengan kesalahan penentuan usia ini, gugurlah adanya missing-link antara Homo Neanderthal dan Manusia Modern di Jerman. Kalau usia fosil (yang bisa diukur) saja dimanipulasi, apalagi hal-hal lain yang tidak bisa diukur?

Manusia Piltdown
Tahun 1912 ditemukan fosil berupa tengkorak dan rahang. Dengan menggabungkan kedua bagian tersebut, bentuknya menunjukkan bahwa fosil tersebut adalah missing-link antara manusia dan primata.

Ternyata, tahun 1953 saintis menyimpulkan bahwa usia tengkoraknya hanya 600 tahun yang lalu. Pemalsuan yang tidak bisa diterima oleh akal. Bagaimana mungkin sebuah tengkorak berusia 600 tahun salah diidentifikasi sebagai fosil yang berusia ribuan tahun? Tidak hanya itu pemalsuannya. Rahang yang ditemukan bersama tengkorak tersebut ternyata milik orang-utan, bukan milik manusia yang sama dengan pemilik tengkorak tersebut. Bahkan di artikel tersebut dinyatakan bahwa "fosil" tersebut adalah hasil penanaman sebelumnya.

Kalkun Piltdown
Fosil tentang kalkun ini tidak kalah hebat tentang penipuannya. Fosil ini diperkirakan milik binatang yang disebut Archaeoraptor, missing-link antara burung dan dinosaurus. Penemuannya dipublikasikan di majalah National Geographic pada tahun 1999. Archaeoraptor ini tampak seperti burung berbulu sangat besar dan berekor seperti dinosaurus.

Ternyata fosil tersebut adalah hasil penipuan. Fosil tersebut adalah gabungan antara 2 fosil yang disatukan dengan lem yang sangat kuat.

-----------------------------------------------------------------
Sumber: http://www.guardian.co.uk/science/2005/feb/19/science.sciencenews


Selengkapnya...

Thursday, April 22, 2010

Teori Evolusi (Bagian 2) : Manusia Purba memang ADA

Makhluk intermediate (spesies-antara) memegang kunci yang sangat penting dalam teori evolusi. Tanpa ada spesies-antara, evolusi makhluk hidup tidak akan pernah terjadi. Misalnya saja, karena manusia dan monyet mempunyai nenek moyang yang sama (sebut saja siamon), ada spesies-spesies intermediate antara siamon dan manusia (misal, man-1 s/d man-n), serta antara siamon dan monyet (mon-1 s/d mon-m). Kalau digambarkan secara horisontal berdasarkan "kemiripan"nya, maka bentuknya menjadi

manusia - man-n - ... - man-1 - siamon - mon-1 - ... - mon-m - monyet.

Berdasarkan penggambaran itu, semakin ke kanan, spesies-antara akan semakin "mirip" dengan monyet. Sebaliknya, semakin ke kiri, spesies-antara akan semakin "mirip" dengan manusia.

Karena evolusi bermakna perubahan yang sedikit demi sedikit, nilai (m+n) haruslah sangat besar. Kenapa? Karena perbedaan antara manusia dengan monyet juga sangat besar. Makanya, tidak salah kalau Charles Darwin berkata bahwa spesies-antara harus berjumlah sangat besar, termasuk spesies-antara antara monyet dan manusia. Kalau C. Darwin tidak berkata demikian, teorinya bukan disebut teori evolusi, melainkan teori revolusi.

Untuk selanjutnya, saya hanya akan membahas evolusi antara monyet dan manusia saja. Jadi, kalau saya menyebut spesies-antara, berarti yang saya maksudkan adalah spesies-antara monyet-manusia.

Apakah sudah ditemukan fosil spesies-spesies antara, yang seharusnya dalam jumlah yang besar? Belum, baru beberapa yang diklaim sebagai spesies-antara. Apakah sebenarnya fosil tersebut benar-benar spesies-antara?

Spesies dan Variasi Spesies
Menentukan apakah antara 2 individu sebagai spesies yang sama atau tidak, bukanlah perkara yang mudah. Akibatnya, membuat definisi spesies pun tidak gampang. Salah satu definisi yang paling mudah diaplikasikan adalah definisi secara biologis. Dua individu (tentunya berbeda kelamin) disebut spesies yang sama jika keduanya bisa menghasilkan keturunan dengan perkawinan secara alami. Meskipun mudah diaplikasikan, definisi ini hanya bisa diterapkan untuk makhluk hidup yang berkembang biak dengan perkawinan.

Ada juga definisi spesies berdasarkan kemiripan bentuk fisiknya. Meskipun sekilas gampang, ternyata prakteknya tidak semudah definisinya. Banyak spesies yang memiliki bermacam bentuk fisik yang sangat berbeda. Salah satu contoh adalah anjing. Segala bentuk anjing yang kita kenal, digolongkan ke dalam 1 spesies meskipun secara bentuk fisik banyak yang tampak berbeda.

Makhluk hidup yang memiliki berbagai bentuk fisik tetapi juga digolongkan sebagai 1 spesies adalah manusia. Penggolongan ini adalah tepat karena memenuhi kriteria spesies secara biologis. Dari manusia eropa sampai manusia yg pernah terisolir sekalipun (Aborigin, Indian, Asmat), perkawinan secara alami antar mereka tetap bisa dilakukan.

Berbagai bentuk fisik yang berbeda dari sebuah spesies disebut sebagai sub-spesies atau variasi spesies. Khusus untuk anjing, variasi spesies lebih dikenal sebagai breed. Sedangkan untuk manusia, dikenal sebagai ras.

Fosil Bercerita
Fosil-fosil yang ditemukan, yang dikatakan sebagai fosil spesies-antara, berupa tulang belulang. Di samping sudah termakan usia tentu saja, juga kebanyakan tidak lengkap.

Secara fisik, tidak banyak sebenarnya informasi yang diberikan dari sebuah fosil seperti itu. Fosil tidak bisa bercerita bagaimana struktur luar dari makhluk hidup tersebut. Yang dilakukan hanyalah perkiraan. Namanya perkiraan bisa salah dan juga bisa benar. Tetapi itu hanya bisa dilakukan dari segi bentuk. Tentang bagaimana permukaan luarnya, jelas tidak bisa diperkirakan. Fosil tidak bisa menggambarkan bagaimana permukaan kulit, misalnya apakah halus atau tidak, tebal atau tipis, berbulu lebat atau jarang atau tidak berbulu sama sekali.

Postur tubuh sebenarnya juga belum tentu bisa digambarkan dari sebuah fosil secara tepat. Postur tubuh tidak hanya dipengaruhi oleh tulang, tetapi juga oleh otot. Sebagai contoh adalah bentuk kaki, apakah dalam posisi normal benar-benar bisa tegak ataukah agak bengkok pada lututnya. Ini perlu informasi tentang otot. Demikian juga di bagian panggul, apakah bisa berdiri tegak atau membungkuk. Padahal otot-otot tersebut tidak terdapat di fosil yang ditemukan.

Jadi, sebuah fosil tidak bisa menggambarkan bentuk secara fisik dengan tepat. Mungkin hanya postur tubuh yang bisa diberikan meskipun tidak akan tepat 100%. Yang sangat aneh adalah penggambaran permukaan kulit. Secara logika, jelas tidak mungkin sebuah fosil bisa menggambarkan permukaan kulit. Benar-benar kesimpulan yang aneh kalau fosil yang ditemukan adalah milik makhluk hidup berbulu lebat seperti monyet.

Spesies Fosil
Jika fosil tersebut akan dianggap sebagai spesies-antara, hal pertama yang harus dibuktikan adalah bahwa fosil tersebut bukan dari spesies yang sama dengan spesies manusia maupun monyet.

Secara biologis, jelas tidak mungkin karena tidak mungkin diuji dengan perkawinan secara alami. Salah satu yang mungkin adalah secara bentuk fisik. Tetapi bentuk fisik sendiri juga ada masalah karena bentuk fisik hanya bisa diperoleh dengan perkiraan.

Yang paling logis adalah membandingkan fosil tersebut (tentunya setelah disusun) dengan struktur kerangka manusia dan kerangka monyet. Meskipun begitu, inipun juga tidak berarti bebas dari masalah. Banyaknya breed anjing dan ras manusia menunjukkan bahwa bentuk kerangka (termasuk ukurannya) dalam sebuah spesies saja bisa berbeda. Jangankan perbedaan antara variasi spesies (breed, ras), dalam satu variasi spesies saja bisa terdapat perbedaan.

Dengan demikian, selama perbedaan antara fosil tersebut dengan kerangka manusia dan kerangka monyet tidak cukup radikal, kesimpulan bahwa fosil tersebut dari spesies yang berbeda belum tentu benar.

Pembandingan seperti ini yang coba dilakukan oleh sebagian penelitian Harun Yahya. Dan ternyata, berdasarkan penelitiannya, bahwa dari fosil-fosil spesies-antara, sebagian besar mirip dengan manusia (ada yang sama dengan ras Aborigin, anak berumur 18 tahun, dan ras manusia lain) dan sisanya mirip dengan jenis monyet (simpanse). Sehingga kesimpulannya, bahwa fosil-fosil tersebut sama dengan spesies manusia atau simpanse.

Apa yang dilakukan Harun Yahya sebenarnya bisa diterima secara ilmiah, meskipun beliau mungkin termasuk orang yang religious. Itu disebut sebagai counter example. Jika dikatakan bahwa fosil tersebut adalah spesies-antara, berarti tidak ada ras manusia yang sama dengan fosil tersebut. Kalau ada seseorang yang menemukan seorang manusia yang memiliki kerangka yang sama dengan fosil tersebut, itu sudah cukup untuk membatalkan pernyataan tersebut.

Kesimpulan
Fosil-fosil yang ditemukan belum menunjukkan bahwa fosil-fosil tersebut berasal dari spesies yang berbeda dengan manusia ataupun monyet. Bahkan kesamaan fosil-fosil tersebut dengan kerangka manusia atau monyet saat ini sudah cukup membuktikan bahwa fosil-fosil tersebut berasal dari spesies yang sama dengan manusia atau monyet. Hal ini didasarkan pada logika sederhana: jika sebuah entitas A hanya diketahui sebagian sedangkan bagian tersebut sama dengan bagian yang sama dari entitas B, maka lebih logis dikatakan bahwa entitas A dan entitas B adalah sama dibandingkan dikatakan berbeda.

Dengan demikian, klaim bahwa fosil-fosil tersebut berasal dari spesies-antara adalah lemah.

Buat pendukung teori evolusi, tidak perlu kecewa. Masih ada satu harapan, yaitu dengan analisis DNA. Meski DNA fosil sendiri sulit dibangun ulang karena banyak terkontaminasi, mungkin ke depan ditemukan teknologi yang mampu mendapatkan DNA yang "bersih". Namun, untuk sementara hasil penelitian di bidang ini juga tidak menunjukkan dukungan ke teori evolusi. Salah satu jenis DNA, yaitu Mitochondrial DNA (mtDNA), tidak bisa digunakan untuk menetukan spesies dari sebuah fosil (masih diperdebatkan). Artinya, mtDNA tidak dapat digunakan untuk menentukan apakah sebuah fosil adalah manusia, monyet, atau spesies-antara. Tetapi, lagi-lagi, tidak perlu kecewa. Masih ada satu harapan lagi, yaitu nuclear DNA, yang semoga ke depan bisa memberikan hasil yang lebih baik sehingga bisa menentukan secara pasti tentang spesies dari fosil-fosil tersebut.

Bicara fakta, memang ada bagian tertentu yang "mirip" antara spesies makhluk hidup. Demikian juga dengan manusia dan spesies binatang yang lain. Secara fisik, manusia lebih mirip dengan monyet. Secara kecerdasan, lebih mirip dengan octopus atau lumba-lumba. Dan secara sosial, manusia lebih mirip dengan semut atau lebah. Tetapi secara umum, jelas sekali terlihat perbedaanya. Manusia tetap berbeda baik secara fisik, secara psikologis/kecerdasan, maupun secara sosial. Itu adalah fakta ilmiahnya.

Bicara analisis, teori evolusi seperti disusun dengan analisis yang rasional terhadap fakta kemiripan makhluk hidup. Tetapi logikanya belum tentu tepat. Rumah dan mobil sama-sama punya atap. Tetapi sejarah tidak membuktikan bahwa dulu ada "nenek moyang" antara rumah dan mobil, atau rumah adalah "nenek moyang" mobil, atau mobil adalah "nenek moyang" rumah.

Bicara ilmiah, teori tetap perlu dibuktikan. Dan sebelum ada bukti valid, tidak seharusnya digunakan untuk membangun teori-teori lain, seperti yang berkembang saat ini: evolusi kecerdasan, evolusi agama, atau evolusi-evolusi yang lain.

Kembali bicara fakta, fosil adalah fakta. Dan faktanya, fosil tersebut sama dengan kerangka manusia (kecuali 1 jenis fosil yang sama dengan simpanse). Berarti fosil tersebut adalah manusia. Jadi, manusia purba adalah ADA. Tetapi faktanya, manusia purba tersebut tidak berbeda dengan manusia saat ini.


Selengkapnya...

Saturday, October 10, 2009

Teori Evolusi (Bagian 1) : Teori Tanpa Bukti

Pasti setiap orang yang pernah masuk SMP mengenal Teori Evolusi. Teori ini dicetuskan oleh seorang yang bernama Charles Darwin. Salah satu yang pasti diingat setiap orang yang pernah belajar Teori Evolusi adalah "Manusia itu keturunan kera". Begitu terkenalnya kalimat itu sehingga hampir setiap orang hapal di luar kepala.

Dunia informatika pun terpengaruh dengan teori ini. Salah satunya adalah algoritma genetika. Algoritma genetika ini diklaim sebagai adopsi dari teori evolusi. Tidak heran kalau setiap mengajar kuliah ini selalu akan menyinggung teori tersebut. Saya, yang termasuk pernah mengajar materi itu, merasa bersalah juga. Bagaimana pun juga teori ini adalah teori yang belum pernah dibuktikan.

Di tulisan ini, saya sedang tidak membuat tulisan ilmiah. Tetapi hanya sekedar sharing pemikiran bahwa teori ini sebenarnya tidak layak diajarkan karena memang belum pernah dibuktikan sama sekali. Apa yang disampaikan dalam teori ini baru sekedar pendapat seseorang, yang menuntut pengikutnya untuk membuktikan. Tetapi apa yang disampaikan dalam pelajaran seolah-olah tidak menyinggung masalah ini. Seolah-olah teori evolusi itu adalah sebuah kebenaran mutlak yang harus diyakini.

Seperti kita ketahui, di dunia sains, kita mengenal istilah teori sebagai sesuatu yang perlu dibuktikan (lihat definisi). Biasanya pencetus teori akan menunjukkan cara pembuktian jika saat itu dia belum dapat membuktikan sendiri karena suatu kendala.

Demikian juga dengan Charles Darwin. Dia juga sudah memberikan cara-cara untuk membuktikan bahwa teori yang diusulkan adalah benar. Yang dia sampaikan adalah teori evolusi akan benar jika ditemukan fosil-fosil makhluk intermediate dalam jumlah yang sangat besar. Kalau tidak, maka teori evolusi tersebut belum bisa dinyatakan benar.

Kenyataannya, sampai saat ini belum pernah ditemukan 1 jenis fosil makhluk intermediate yang dimaksud. Apalagi dalam jumlah yang sangat besar. Apalagi untuk semua kemungkinan jenis fosil makhluk intermediate, yang kalau dihitung pastilah kita tidak dapat menghitungnya. Sebagai contoh dari makhluk gorilla menjadi manusia, terdapat ratusan bahkan ribuan makhluk intermediate. Memang pernah ada klaim bahwa manusia purba adalah makhluk intermediate ini. Tetapi ini perlu dibuktikan lebih lanjut. Pertanyaanya: dimana fosil-fosil yang seharusnya ada dalam jumlah yang sangat banyak ini?

Jadi, menurut Charles Darwin sendiri, teori ini sebenarnya belum dapat dibuktikan kebenarannya. Sungguh aneh kalau ada orang yang mempertahankannya. Ini benar-benar menyalahi prinsip ilmiah. Bahkan seolah-olah pendukung teori ini menutup mata dan menyembunyikan kenyataan ini. Sebuah kebohongan ilmiah yang merusak dunia ilmiah.

Selengkapnya...

Tuesday, June 3, 2008

Kejujuran Ilmiah

Beberapa bulan yang lalu, ada kejadian yang sedikit "mencoreng" dunia ilmiah, khususnya penelitian. IPB lewat salah satu penelitiannya mengungkapkan ada bakteri yang berbahaya dalam produk susu formula dan makanan bayi. Mendengar ini, dengan tidak menghargai peneliti, Menkes membantah hasil penelitian itu. Bahkan Menkes menuduh IPB dibiayai pihak asing untuk menghancurkan produsen susu dalam negeri. Menkes didukung oleh hasil penelitian Badan POM yang menyatakan bahwa tidak ditemukan bakteri tersebut, serta menambahkan bahwa susu formula dan makanan bayi yang beredar di masyarakat. Badan POM adalah salah satu badah yang berada di bawah Departemen Kesehatan.

Di sini saya tidak akan membahas tentang mana penelitian yang benar karena sudah basi. Yang saya bahas adalah etika dalam penelitian. Pertama, bahwa tanggapan yang diberikan pemerintah benar-benar tidak menghargai peneliti. Ungkapan yang disampaikan ke Menkes menunjukkan adanya ketidak-percayaan peneliti dan hasil penelitiannya, bahkan memberikan tuduhan yang menyakitkan. Peneliti bisa saja berbuat salah, dan itu wajar. Wajar juga kalau peneliti mengumumkan hasil penelitiannya. Karena semuanya wajar, tidak perlu ditanggapi dengan emosi seperti kebakaran jenggot. Jika berpikiran positif, hasil penelitian harus ditanggapi dengan hasil penelitian juga. Ilmiah dijawab dengan ilmiah, bukan dengan emosi.

Kedua, namun di sisi lain, ternyata memang terjadi juga peneliti (baik dari akademisi dan non-akademisi) yang tidak jujur dalam penelitiannya. Ada peneliti yang berpikiran bahwa yang penting membuat laporan akhir, dan laporan akhir ini harus sesuai dengan tujuan awal yang ditetapkan. Meskipun untuk itu harus mengubah data atau menggunakan data palsu. Beberapa kemungkinan penyebab peneliti melakukan tindakan tidak terpuji, di antaranya:
1. Mengurangi kredibilitas si peneliti. Kalau hasilnya tidak sesuai dengan tujuan menunjukkan kemampuan yang kurang dalam melakukan analisis awal.
2. Memenuhi permintaan pemberi dana. Ada unsur kepentingan bagi pemberi dana sehingga mereka menginginkan hasil tertentu.

Saya memang tidak melakukan survey seberapa banyak peneliti dan penelitian yang curang itu. Tetapi hal itu memang ada. Tetapi yang penting buat kita bukan seberapa banyak peneliti yang curang. Meskipun jumlahnya kecil, tentu akan merusak citra penelitian. Penelitian bisa tidak dipercaya lagi, meskipun sampai saat ini pemerintah memang tidak mempercayai penelitian dari dunia akademisi.

Salah satu contoh kecurangan dalam penelitian adalah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa sebagai bagian dari dunia akademisi, keilmiahan, dan intelektualitas tidak seharusnya melakukan kecurangan dalam penelitiannya. Mungkin skala kecurangannya tidak sebesar pada penelitian yang didanai. Tetapi hal ini tidak boleh dibiarkan karena memberikan pembelajaran yang buruk buat mahasiswa.

Sebagian kecurangan memang kemungkinan karena ketidak-sengajaan. Seperti contoh mengutip pendapat atau hasil penelitian orang lain tanpa menunjukkan rujukannya. Kaidah dalam penelitian adalah "apa yang ditulis dalam laporan adalah hasil pemikiran/karya peneliti selama tidak ada statement yang menyatakan bahwa itu diambil dari pemikiran/hasil penelitian orang lain". Jadi, kalau mahasiswa tidak mencantumkan sumbernya, itu akan dianggap pemikiran mahasiswa. Dan kalau itu terbukti diambil dari orang lain maka mahasiwa akan dianggap sebagai "pencuri" (plagiator).

Tetapi sebagian lagi disebabkan karena kesengajaan. Dan ini sangat memprihatinkan. Orientasinya yang umum adalah nilai. Karena takut nilainya jelek, padahal sudah lelah dan mentok, maka dengan sengaja melakukan pemalsuan. Kalau di dunia informatika, pemalsuan yang dilakukan adalah pemalsuan kepemilikan. Contoh pemalsuan kepemilikan di sini adalah "mengaku" bahwa software yang dia buat adalah bikinan sendiri. Padahal, secara umum penelitian mahasiswa informatika, khususnya S1, lebih dititik beratkan pada pembuatan software (perangkat lunak). Sehingga software memang seharusnya dibuat sendiri. Masih bisa ditolerir jika sebagian adalah buatan orang lain, asalkan disebutkan juga dalam laporan. Asalkan juga, bahwa bagian itu bukan bagian utama dari software yang dibuat.

Jika memang terjadi pemalsuan seperti itu, penguji seharusnya tidak meluluskan penelitian tersebut. Itu adalah tanggung jawab penguji yang sebenarnya juga berstatus sebagai peneliti. Sebagai peneliti memang seharusnya tidak mengakui hasil penelitian yang curang. Tidak mengakui hasil penelitian dinyatakan dalam bentuk tidak meluluskan peneliti (mahasiswa). Demikian juga pembimbing, yang juga peneliti. Sangat tidak etis kalau pembimbing melindungi mahasiswanya. Pembimbing harus tegas demi terciptanya dunia penelitian yang memang menuntut kejujuran.

Selengkapnya...

Thursday, August 2, 2007

Lewat jalan pintas

Untuk memperingati Hari Ulang Tahun berdirinya institusi tempat saya bekerja, diadakan lomba jalan sehat keluarga. Setiap karyawan, baik administratif maupun edukatif, dianjurkan untuk ikut dan membawa keluarga. Bagus, sih, sekaligus bisa mengakrabkan keluarga. Yang menarik adalah saat pelaksanaan lomba.

Rute jalan sehat bisa digambarkan dalam bentuk persegipanjang. Lumayan jauh dan bisa bikin kaki pegal-pegal. Dengan semangat tinggi, sebagian besar mengikuti lomba, namun ada beberapa anggota keluarga tidak ikut serta. Ya nggak masalah, karena ada anggota keluarga lain yang sudah menjadi wakilnya.

Yang jadi masalah, sebelum melewati satu sisi persegipanjang, beberapa peserta ada yang memotong rute. Mereka melewati jalan pintas, sehingga rutenya menjadi lebih pendek. Karena memang bukan acara formal KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia), tidak ada juri yang mengawasi. Tidak ada yang melarang.

Memang tidak butuh juri untuk mengawasi pelaksanaan lomba. Kita hanya butuh diri-sendiri untuk mengawasi diri kita sendiri agar tetap di jalur yang sebenarnya. Demikian itu jika kita sadar tujuan dari pelaksanaan lomba. Kalau kita tidak menyadari tujuan dari lomba, sah-sah saja kalau mau mengambil jalan pintas.

Selengkapnya...

Sunday, April 8, 2007

Rejeki, Amanah, atau Ujian?

Beberapa hari ini saya mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman-teman, baik dari teman-teman dosen dan peneliti maupun dari rekan-rekan mahasiswa. Ucapan selamat tersebut berkaitan dengan diterimanya proposal penelitian saya, yang selanjutnya akan didanai oleh Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) - Depdiknas. Pendaanaan itu disebut sebagai hibah. Penelitian tersebut saya rencanakan selama 3 tahun, yang tiap tahunnya membutuhkan dana sekitar Rp. 40 jt.

Alhamdulillah, itu yang terucap pertama kali. Ada 2 hal yang memang harus saya syukuri. Pertama, saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian secara resmi. Memang, penelitian tidak resmi sudah sering saya lakukan. Saya sebut tidak resmi karena memang tidak terdaftar di manapun, dan tidak terjadwal. Istilahnya, semau gue lah. Kalau mau saya lanjutkan, saya lanjutkan. Kalau tidak mau, ya saya tinggalkan. Dan juga bersifat insidentil, misalnya kalau ingin membuat paper atau ada mahasiswa yang mencari judul tugas akhir. Namun untuk penelitian ini, saya tidak bisa berbuat seperti itu.

Kedua, ada limpahan rejeki. Sebagian dari dana yang saya ajukan tadi adalah honorarium untuk peneliti, termasuk saya sebagai peneliti utama. Sedikit buka rahasia, sekitar 15% dari dana tersebut akan masuk ke kantong saya. Tidak besar sih, jika dibandingkan dengan penghasilan mengerjakan proyek dari luar institusi. Tetapi kepuasan meneliti memang tidak bisa diganti dengan uang. Apalagi jika hasilnya dapat dimanfaatkan oleh orang banyak.

Namun, ada yang tidak boleh dilupakan. Dana hibah tersebut adalah dana bantuan dari pemerintah lewat Dikti, bertujuan untuk membantu peneliti agar dapat melakukan penelitian dan menghasilkan produk yang berguna. Berarti peneliti sudah diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola uang negara untuk kepentingan penelitian. Karena pemerintah adalah kepanjangan tangan rakyat, berarti saya juga sudah diberi kepercayaan oleh rakyat.

Sebuah amanah yang tidak ringan. Dengan kepercayaan itu, saya dituntut untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan penelitian sehingga penelitian saya berhasil. Memang keberhasilan penelitian ditentukan oleh Yang Di Atas. Namun, saya punya kewajiban untuk berusaha, tetap konsisten, dan tentunya tidak lupa berdoa agar berhasil. Ada ratusan juta manusia yang akan meminta pertanggung-jawaban ke saya. Kalau tidak bisa di dunia, pasti bisa diminta di alam yang lain.

Selain itu, penggunaan dana juga harus selalu saya ingat. Seperti yang sudah saya sebutkan tadi, dari sekian juta dana yang saya usulkan, 15% adalah gaji saya dan sisanya untuk keperluan penelitian. Berarti 85% bukan uang saya, yang sekarang ada di tangan saya. Jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan honorarium saya.

Sangat memungkinkan, seandainya saya mengubah proporsi tersebut, tanpa sepengetahuan Dikti. Caranya juga tidak sulit, yaitu dengan memanipulasi laporan akhir tahun, yang setiap tahun akan saya buat. Contohnya adalah memanipulasi pengeluaran. Misalnya, saya membeli sebuah alat dengan harga Rp. 10 jt, tetapi saya minta ke tokonya untuk membuat bon pembelian dengan harga yang lebih tinggi, misal Rp. 14 jt. Artinya, uang yang saya keluarkan Rp. 10 jt, tetapi saya laporkan Rp. 14 jt. Benarkah cara yang demikian? Menurut saya, itu tidak benar. Tidak perlu sulit-sulit untuk mencari alasan bahwa itu tidak benar, yaitu Tidak Jujur.

Jadi, manakah yang tepat menggambarkan hibah? Rejeki, amanah, atau ujian?

Selengkapnya...

Friday, January 19, 2007

Politisi, Peneliti, dan Dosen

Apa sih perbedaan antara Politisi, Peneliti, dan Dosen? Salah satu dosen saya, waktu masih kuliah S1, menjawab dengan tegas. Menurut beliau, perbedaan antara ketiga profesi itu adalah:
  • Politisi : boleh salah dan boleh bohong
  • Peneliti : boleh salah, tetapi tidak boleh bohong
  • Dosen : tidak boleh salah, dan tidak boleh bohong.
Yang dimaksud oleh dosen saya tadi, tentunya berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan, bukan pada individu-individunya. Di luar pekerjaannya, sah-sah saja setiap individu melanggar jawaban dosen saya tadi.

Saya tidak akan mengulas tentang politisi lebih detail karena saya tidak kenal profesi tersebut. Tetapi kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Sebagai contoh dalam kondisi perpecahan antar golongan. Agar bisa mendamaikan, besar kemungkinan seorang politisi harus berbohong. Istilah politis-nya bermuka 12. Pada satu golongan, dia harus berpura-pura seolah-olah mendukung, atau setidak-tidaknya simpati agar bisa diterima. Kalau tidak, pasti akan ditolak mentah-mentah. Demikian juga pada golongan lain. Setelah semua golongan menerima, proses pendamaian baru bisa dilakukan.

Dalam hal berbuat salah, politisi pun diperbolehkan. Sering kita dengar istilah salah kebijakan. Seorang politisi, sesuai dengan posisinya, memang bisa salah dalam membuat kebijakan. Kesalahan itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan hukum sehingga tidak bisa dihukum. Dan politisi berhak untuk bilang 'bisa diperbaiki tahun depan' atau 'jangan serahkan posisi yang sama ke saya lagi'.

Saya tidak tahu, atau dalam kapasitas yang sesuai, untuk menilai apakah kedua sifat itu baik. Yang bisa saya pastikan hanyalah bahwa sifat itu jelek jika selalu dibawa politisi di mana pun dia berada, di luar aktifitas sebagai politisi.

Sebelum dibahas lebih jauh, perlu saya tekankan bahwa kata yang digunakan untuk membedakan ketiga profesi tersebut adalah boleh dan tidak boleh. Boleh bukan berarti harus. Boleh berbohong, misalnya, bukan berarti harus selalu berbohong. Sedangkan tidak boleh berarti harus dihindari.

Profesi beriktunya adalah peneliti. Buat peneliti memang bisa saja berbuat salah. Misalnya karena kesalahan prediksi (hipotesa) atau teori yang dipakai. Namun, seorang peneliti dituntut untuk menyampaikan hasil penelitiannya apa adanya, tidak boleh bohong dan tidak ada yang disembunyikan, meskipun hasilnya salah. Apapun hasil penelitian, baik salah maupun benar, pasti ada manfaatnya, terutama buat penelitian selanjutnya atau penelitian lainnya.

Yang akan saya sampaikan adalah contoh yang berkaitan dengan hal itu. Seorang mahasiswa meneliti hubungan antara lama kerja polisi dengan kadar karbonmonoksida dalam darah. Karbonmonoksida adalah gas buangan dari kendaraan bermotor. Dugaan awal, memang ada kaitan positif antara kedua variabel, dengan asumsi karena sudah lama bekerja, polisi banyak menghirup udara yang terpolusi dengan karbonmonoksida. Asumsi yang logis. Namun, setelah dilakukan penelitian, ternyata tidak selalu demikian. Artinya, dugaan awal adalah salah.

Meskipun salah, tetapi kalau disampaikan apa adanya, penelitian berikutnya dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Misalnya menambah variabel yang lain. Atau justeru dapat meneliti adanya kemungkinan penetralisir karbonmonoksida dalam darah, misalnya dari makanan/minuman yang dikonsumsi atau olahraga/gerak yang dilakukan oleh polisi.

Yang paling berat, adalah profesi dosen. Seorang dosen memang tidak diperbolehkan memberikan materi yang salah. Alasannya sederhana, jika materi yang disampaikan salah maka kesalahan tersebut akan dapat melekat terus ke anak didik.

Salah saja tidak boleh, apalagi berbohong karena berbohong akan menghasilkan materi yang salah. Misalnya, materi yang benar bilang bahwa 'binatang sapi memiliki 4 kaki'. Sebenarnya dosen menguasai materi tersebut, tetapi kemudian dosen berbohong dan bilang bahwa 'binatang sapi memiliki 3 kaki'. Jelas hasilnya akan berbeda dan salah.

Contoh yang lain, dosen sebenarnya tidak tahu, baik dari buku maupun pengamatan langsung tentang jumlah kaki binatang kaki seribu. Kemudian ditanya anak didik. Karena malu dianggap tidak bisa, dosen tersebut menjawab sekenanya. Ada 2 kemungkinan, jawaban dosen tersebut benar atau salah. Kalau benar, bisa jadi tidak apa-apa. Kalau salah, bisa memalukan anak didiknya kalau ditanya orang lain. Bahkan kemungkinan salahnya lebih besar dari kemungkinan benarnya. Bukankah lebih baik kalau dijawab 'tidak tahu' atau 'belum menemukan referensi'?

Meskipun paling berat, ternyata dosenlah yang paling beruntung. Dalam profesinya, seorang dosen bisa dipastikan juga seorang peneliti. Dan kedua profesi tersebut menuntut untuk tidak berbohong. Artinya, sebagian besar waktu dosen diharuskan untuk berkata sejujurnya.

Kalau boleh saya perinci, keuntungan yang dimiliki oleh dosen adalah
  1. Mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk tidak berbohong karena waktu luang di luar kerja (setelah dikurangi waktu tidur) lebih sedikit dibandingkan waktu kerja.
  2. Mempunyai kesempatan berlatih berkata jujur. Latihan apapun jika dilakukan dengan benar akan membuat penguasaannya menjadi sempurna.


Jadi, saya ucapkan selamat buat orang-orang yang memiliki profesi sebagai dosen, termasuk bapak dan ibu guru. Semoga kesempatan latihan yang diberikan benar-benar bisa meningkatkan penguasaan, yang pada akhirnya dapat diterapkan di kehidupan di luar waktu kerja.

Namun, itu berlaku jika dosen (guru) menyadari sepenuhnya tentang profesi dosen.

Selengkapnya...