Showing posts with label Diri sendiri. Show all posts
Showing posts with label Diri sendiri. Show all posts

Thursday, July 9, 2009

Jangan Mengkhianati Janji

Pengalaman yang sangat berharga untuk saya sekeluarga saat menginjak kembali tanah Dresden, Germany. Pengalaman yang mengingatkan saya tentang ajaran Rasulullah SAW agar kita tidak mengkhianati janji.

Saat itu hari Kamis, 18 Juli 2009, pukul 17.55 waktu setempat. Kami tiba di Dresden, turun dari kereta langsung dijemput teman (terima kasih, Ari) dan diantar ke sebuah apartemen privat dengan menumpang taksi. Kami sudah mem-booking apartemen ini untuk 2.5 bulan, dari 18 Juni 2009 sampai dengan 31 Agustus 2009, melalui Sekretaris calon pembimbing saya seminggu sebelum kami tiba di Dresden. Beliau juga yang mencarikan apartemen itu.

Setelah sampai ke apartemen tersebut, kami baru menyadari bahwa apartemen ini lumayan jauh dari stasiun kereta yang di pusat kota. Apalagi setelah melihat argo. Hampir 20 Euro terpampang di alat itu. 'Kampung', itulah kata yang tepat untuk menggambarkan lokasi apartemen kami. Apalagi setelah masuk ke apartemen. Apartemen kami terletak di lantai 2, lantai paling atas. Tidak ada tangga untuk sampai ke lantai 2 itu. Tetapi jangan salah dengan istilah 'lantai 2' ini. Lantai 2 di sini adalah 2 lantai di atas lantai yang sejajar dengan tanah. Ini berbeda dengan di Indonesia: lantai 2 adalah 1 lantai di atas lantai yang sejajar dengan tanah.

Sehari istirahat, di samping masih capek karena telah menempuh perjalanan selama lebih dari 24 jam (dari Yogyakarta), juga untuk mengatasi masalah perbedaan waktu (jetlag). Kemudian kami mencoba berbelanja ke salah satu supermarket. Perjalanan dimulai dengan jalan kaki menuju halte. Kami melalui jalur seperti yang disarankan pemilik apartemen. Tetapi karena tidak begitu menangkap yang beliau sampaikan akibat telinga yang asing lagi ke Bahasa Jerman, kami kebingungan saat menjumpai pertigaan, lurus atau belok kanan(?).

Akhirnya kami bertanya ke orang yang lewat. Kami menjadi takut karena ada beberapa orang yang tidak mau ditanyai, dan mereka seperti ketakutan melihat kami. Ada 2 orang wanita yang akhirnya menjawab dan menunjukkan arah jalan yang harus kami lewati, meskipun dengan wajah yang tidak ramah. Jalan yang ditunjukkan ternyata harus melewati hutan. Walaupun jalan setapak, dan tentu saja jalan tanah, itu cukup lebar, perasaan takut tetap saja ada. Setelah berbelanja, kami memutuskan mencari jalan alternatif lain yang melewati perkampungan, yang sebelumnya dilewati oleh taksi yang kami tumpangi kemarin. Jalan inipun tidak mudah, menanjak lumayan tajam lalu turun. Jalur terakhir ini lebih panjang dan lebih berat dibandingkan jalur pertama. Namun, jalur terakhir memberi rasa aman karena melewati perkampungan.

Dari pengalaman pertama ini, kami tahu bahwa ada 2 halte angkutan umum yang bisa kami gunakan. Halte pertama lebih dekat, tetapi hanya dilalui bus untuk setiap 1 jam dan tidak ada bus lagi setelah jam 7 malam dan pada sabtu-minggu. Sedangkan halte kedua lebih jauh (2 kali dari jarak halte pertama). Kelebihan halte kedua, dilalui bus untuk setiap 5 menit di hari kerja dan setiap 15 menit pada hari sabtu-minggu. Namun, untuk mencapai halte pertama dibutuhkan waktu 10 menit jalan kaki bagi orang yang normal. Jarak yang cukup jauh buat saya.

Esok harinya, saat kami bermain ke salah satu teman yang tinggal dekat kampus, ditawari apartemen lain. Meskipun jauh juga dari kampus tetapi lebih sering dijangkau angkutan umum dan ada halte tepat di depan apartemen. Selain itu juga lebih murah dengan selisih 90 Euro. Kami pun memutuskan akan pindah bila sudah ada konfirmasi dari pemilik apartemen yang baru. Sebut saja apartemen Helerau.

Setelah mengontak beberapa kali, diperoleh informasi bahwa apartemen yang sebelumnya ditawarkan ke teman saya tadi (yang berada di lantai 0) sudah diambil orang. Kami ditawari apartemen lain di lantai 2 dengan harga yang lebih mahal. Bahkan lebih mahal dibandingkan apartemen sekarang. Awalnya kami akan memutuskan akan mengambil. Namun akhirnya kami batalkan setelah mengetahui bahwa yang tinggal di lantai 0 adalah veteran perang afghanistan yang pulang ke Jerman dengan kehilangan hampir semua anggota tubuhnya. Bukannya kami takut, tetapi melihat penampilan kami yang hampir sama dengan pejuang Taliban, kami khawatir orang tersebut masih punya dendam dan akan terpicu lagi bila melihat kami.

Akhirnya kami, dibantu teman-teman Indonesia lain (Jazzakumullah khairan katsiiro), mencari informati apartemen lain. Waktu yang kami punya sangat sempit karena kami harus segera lapor di ke Pemerintah Kota. Padahal kami belum bisa lapor diri sebelum dapat apartemen baru atau memutuskan tetap tinggal di apartemen yang lama. Kami sendiri juga mencari ke beberapa biro dan datang langsung ke apartemen-apartemen lain. Dan hasilnya adalah nihil. Sampai-sampai kami kehabisan energi untuk mencari apartemen ini.

Karena masalah waktu untuk segera lapor diri, kami putuskan untuk tetap tinggal di apartemen saat ini dan mencoba bersabar dengan jarak yang harus kami tempuh. Setelah kami merenung sejenak, kami sadar bahwa kalau kami pindah apartemen sebenarnya kami sudah membatalkan perjanjian dengan pemilik apartemen untuk tinggal selama 2.5, dan itu sangat merugikannya. Apalagi kesalahan sebenarnya terlihat pada kami, yang tidak sempat melihat lokasi apartemen, yang seharusnya tetap bisa kami lakukan dari Indonesia melalui internet.

Alhamdulillah, Allah SWT tidak mengijinkan kami untuk pindah karena itu melanggar perjanjian dengan pemilik apartemen. Meskipun perjanjian itu tidak tertulis, namun Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak pernah membedakan antara melanggar perjanjian tertulis dan melanggar perjanjian tidak tertulis. Dan betapa usaha kami untuk pindah apartemen ini dipersulit, dengan beberapa bukti:
  1. Saat kami tiba di Dresden, teman yang menawarkan apartemen Helerau sudah berusaha menjemput kami, yang rencana selanjutnya adalah melihat apartemen Helerau. Dan kemungkinan besar kami akan mendapatkan apartemen itu jika dilakukan saat itu. Tetapi qadarullah, teman saya salah melihat jadwal kedatangan kereta kami sehingga kami tidak bertemu. Kami tiba pukul 17.55, sedangkan mereka menjemput pukul 20.00.
  2. Saat kami menanyakan apartemen Helerau yang lantai 0, hanya sehari sebelumnya ada yang melihat rumah itu. Sehingga waktu kami mau mengambil, pemilik apartemen merasa tidak enak sebelum menanyakan kepastian dari orang itu. Dan ternyata memang orang itu memutuskan mengambilnya. Betul... saya terlambat 1 hari.
  3. Saat kami memutuskan untuk mengambil apartemen Helerau yang lantai 2, kami teringat cerita pemilik apartemen tentang orang yang menyewa di lantai 0, yaitu veteran perang Afghanistan. Sangat kebetulan kalau pemilik apartemen menceritakan dengan sangat detil tentang penyewa apartemennya.
Sesungguhnya, semua proses keberangkatan kami dari Indonesia sampai kedatangan kami di Berlin, lalu ke Dresden, berjalan lancar dan sangat dimudahkan oleh Allah SWT. Tidak pernah ada satupun pihak berwenang yang mempersulit, termasuk pihak imigrasi Berlin-Jerman, pihak yang seharusnya paling galak. Saat beberapa wanita bercadar -yang satu pesawat dengan kami- tidak berani mengenakan cadarnya, kami (termasuk isteri saya yang bercadar) malah diloloskan meskipun surat penerimaan dari universitas tidak bisa kami tunjukkan saat mereka minta.

Jadi, hanya urusan pindah apartemen ini saja yang terasa sulit. Tetapi kejadian ini menyadarkan kami bahwa kami harus tetap menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya SAW dimana pun kami berada, yang salah satunya adalah tidak melanggar perjanjian meskipun itu dengan orang kafir sekalipun.

Tanpa kami sadari, ternyata dari majalah yang kami bawa, salah satunya (Majalah SwaraQuran) memuat tentang perjanjian ini. Dan salah satu kisahnya adalah perjanjian damai Rasulullah SAW dengan kaum kafir dan musyrikin Mekkah. Waktu itu Rasulullah SAW sudah hijrah ke Madinah, dan akan melakukan umrah ke Ka'bah. Sekilas orang akan melihat bahwa perjanjian ini sangat merugikan kaum muslimin. Namun Rasulullah SAW tetap mematuhi perjanjian ini. Berikut adalah salah satu contohnya.

Dalam perjanjian itu, disebutkan bahwa jika ada orang Mekkah yang masuk Islam dan hijrah ke Madinah maka Rasulullah SAW harus mengembalikan orang itu ke Mekkah. Beberapa saat setelah perjanjian itu ditanda-tangani, ada seorang pemuda Mekkah yang masuk Islam dan ingin ikut Rasulullah SAW ke Madinah. Karena perjanjian itu, Rasulullah SAW tidak mengijinkan pemuda itu untuk ikut ke Madinah tetapi Beliau suruh untuk kembali ke Mekkah. SubhanAllah... dan terbukti Rasulullah SAW tidak pernah melanggar seluruh isi perjanjian itu, sampai pihak kafir/musyrikin Mekkah melanggarnya.

Bagi teman-teman yang berada di perantauan negeri kafir, semoga Allah SWT memudahkan kita untuk selalu menolong agama-Nya sehingga Dia akan selalu menolong urusan kita. Amiiinn....

Selengkapnya...

Friday, May 16, 2008

"Kebarat-baratan"

Entah darimana asalnya, saya mendapat label 'kebarat-baratan'. Mungkin berdasarkan tulisan-tulisan saya di blog ini, yang menampilkan nilai-nilai positif dari barat. Sedangkan untuk tulisan dari dalam negeri, saya lebih condong menulis sisi-sisi negatif.

Insya Allah, saya tidak bermaksud mengunggulkan nilai-nilai barat. Sungguh saya tidak kagum dengan nilai barat. Yang saya kagumi adalah nilai-nilai positif dari agama yang saya anut, ternyata lebih banyak diterapkan oleh barat daripada penganut agama itu, yang banyak tinggal di Indonesia. Hanya itu.

Dengan kata lain, jika saya menuliskan sesuatu tentang barat, maka saya menulisnya dengan ukuran agama saya, Islam. Jika nilai barat itu benar menurut Islam, maka saya tuliskan. Jika nilai barat itu salah, maka tidak saya tuliskan. Tujuan saya hanya sebagai pemacu buat penganut agama Islam, khususnya, maupun masyarakat Indonesia, umumnya. Pemacu agar menjalankan ajaran agamanya masing-masing.

Semua memang berawal dari kekecewaan, kekecewaan terhadap kebanyakan masyarakat Indonesia yang tidak mau menjalankan ajaran agamanya, terutama yang pokok. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang berstatus awam, namun juga yang sudah berilmu agama, dan sudah sering menyampaikan ilmunya kepada orang lain. Kalau dalam agama Islam, disebut Ustadz.

Ada sebuah kisah dari seorang sahabat saya. Dulu dia termasuk orang yang tidak mau ikut pengajian. Alasan dia saat itu adalah "dia tidak mau mendengarkan orang yang NATO, No Action Talk Only". Menurut pandangan dia, banyak Ustadz yang punya ilmu namun tidak menerapkan ilmunya di kehidupan sehari-hari. Sehingga orang seperti itu tidak pantas untuk didengarkan.

Menurut saya, dua-duanya adalah salah. Si Ustadz salah, karena selain punya kewajiban untuk menyampaikan ilmunya ke orang lain, dia juga punya kewajiban untuk menjalankan ilmu yang sudah dia kuasai. Bahkan hukumannya sangat berat bagi siapa saja yang menyampaikan sesuatu tetapi dia sendiri tidak menjalankan.

Sahabat saya juga salah. Dia punya kewajiban untuk menuntut ilmu, terutama ilmu-ilmu agama. Tidak ada alasan untuk tidak menuntut ilmu karena Ustadznya tidak menjalankan. Ilmu itu sebenarnya berasal dari Allah SWT, bukan dari Ustadz. Kalau Ustadznya tidak menjalankan, itu adalah urusan Ustadz tersebut dengan Allah SWT. Kewajiban kita hanya menuntut ilmu. Hanya, jika kasus Ustadznya seperti itu, dibutuhkan ketelitian. Kita perlu membandingkan ilmu yang dia sampaikan dengan Ustadz lain. Akan lebih baik kalau dibandingkan dengan sumbernya langsung, Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tambahan lagi, tidak semua Ustadz seperti itu. Masih banyak Ustadz lain yang lebih baik.

Selengkapnya...

Thursday, April 5, 2007

Masalah Nama Samaran

Kemarin sore, bertemu dengan Pak T. Pak T ini saya singgung pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul "Daging Korban". Saat bertemu kemarin, beliau membahas tentang orang-orang yang terkait dalam tulisan, yang nama-namanya selalu saya samarkan, termasuk Pak T. Beliau mempermasalahkan nama-nama yang selalu saya samarkan tersebut. Padahal, masih menurut beliau, blog ini 'kan bicara tentang kejujuran, kok nama-namanya malah tidak jujur.

Memang benar apa yang Pak T sampaikan. Tetapi, Insya Allah, penyamaran ini hanya masalah privasi. Bahwa tokoh-tokoh yang muncul, harus dilindungi kerahasiannya. Menurut saya memang itu kode etik dalam jurnalisme. Apalagi blog ini bersifat global, dimana setiap orang bisa membaca blog saya.

Blog ini memang saya setting agar semua orang bisa membaca, tanpa perlu saya daftarkan ataupun menjadi anggota blogspot. Resikonya, setiap orang, tanpa perkecualian, akan dapat mengkases. Sebagai bentuk tanggung jawab, adalah kewajiban saya untuk merahasiakan tokoh-tokoh yang saya munculkan.

Selain itu, penekanan untuk setiap tulisan saya adalah perbuatannya, bukan pada pelakunya. Dan Insya Allah, kejadian dan pelaku adalah benar-benar ada. Tidak ada yang fiktif.

Namun, saya ucapkan terima kasih atas masukan Pak T. Dan atas masukan itu, akan ada perubahan pada blog ini, yaitu kemungkinan penulisan nama-nama sebenarnya. Tentunya setelah mendapat ijin dari yang bersangkutan. Contohnya adalah Pak T, yang nama sebenarnya adalah Pak Tito Yuwono, Dosen Teknik Elektro, Universitas Islam Indonesia.


Terima kasih, Pak Tito. Jazakallahu khairan katsiira...

Selengkapnya...