Showing posts with label Keluarga. Show all posts
Showing posts with label Keluarga. Show all posts

Tuesday, July 27, 2010

Bohong Antar Suami-Isteri Berefek ke Orang Lain

Kadang-kadang orang menyangka bahwa jika ia berbohong di sebuah lingkungan, tidak akan berpengaruh terhadap orang-orang di luar lingkungan. Sangkaan ini tidak tepat. Yang benar adalah sebaliknya, yaitu bisa berpengaruh. Kisah yang akan saya tulis ini adalah contohnya, bahwa kebohongan suami-isteri bisa berpengaruh terhadap hubungan dengan orang lain.

Di sebuah kota yang penduduk mayoritasnya adalah non-muslim, hiduplah 2 keluarga muslim. Sebut saja keluarga pak AI dan pak AN. Isteri pak AI (bu AI) bercadar dengan jilbab besar dan bersarung tangan kalau bepergian ke luar rumah. Sedangkan isteri pak AN (bu AN) menutup kepala dan menutup yang lain dengan pakaiannya kecuali telapak tangan dan wajah.

Pak AI dan pak AN ini sering bertemu di masjid. Kadang-kadang mereka mengobrol tentang apa saja. Tentu saja bahan obrolan mereka yang utama adalah tentang Al-Quran dan Al-Hadits. Buat pak AI, pak AN ini termasuk yang dia hormati karena pak AN adalah salah satu imam sholat. Sehingga obrolan yang timbul di antara mereka berawal dari pertanyaan pak AI ke pak AN.

Suatu saat isteri mereka berdua bertemu. Setelah mengobrol hal lain, pembicaraan mengarah ke perbedaan di antara mereka, yaitu masalah cadar. Bu AN mengatakan bahwa cadar bukanlah ajaran Islam sehingga tidak perlu dipakai di negara dengan mayoritas non-muslim itu karena akan sulit. Apalagi sampai menggunakan sarung tangan. Bu AI membela keyakinannya bahwa Islam mewajibkan cadar. Dia juga menambahkan bahwa semua isteri Rasulullah sholallahu 'alaihi wa salam bercadar. Sudah selayaknya kalau setiap wanita meniru isteri-isteri
Rasulullah sholallahu 'alaihi wa salam.

Bu AN juga mengatakan bahwa dia sudah bilang ke suaminya agar memberi tahu tentang cadar ini ke pak AI. Dan bu AN berkata, "katanya pak AN sudah menyampaikan ke pak AI. Apakah belum disampaikan ke bu AI?"

Setelah bertemu suaminya, bu AI menanyakan hal tersebut ke pak AI. Pak AI tidak merasa pernah mendengar hal itu dari pak AN. Bahkan pak AN tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang cadar. Berarti, di antara pak AN dan bu AN ada yang bohong.

Selanjutnya, selama hampir 2 minggu ada perubahan sikap pak AN terhadap pak AI. Sepertinya bukan karena pak AN ataupun pak AI marah. Hanya terlihat ada sedikit penghalang antara mereka berdua. Pak AI sendiri terlihat santai menghadapi perubahan sikap tersebut. Mungkin karena pak AI merasa tidak punya masalah dan beliau juga siap seandainya diajak pak AN untuk berdiskusi tentang cadar. Buat pak AI, senang saja diajak berdiskusi asalkan dengan tujuan mencari kebenaran, bukan untuk mencari menang atau kalah. Pak AI juga yakin mereka berdua mempunyai standar kebenaran yang sama, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits, sehingga lebih mudah untuk berdiskusi.

Kisah itu adalah contoh bahwa efek dari berbohong tidak hanya mengenai orang yang berbohong dan orang yang dibohongi. Orang lain yang tidak tahu apa-apa bisa terkena imbas. Untung saja, mereka berdua hanyalah orang-orang kecil. Bagaimana kalau mereka orang besar? Efeknya akan luar biasa dan bisa menimbulkan korban nyawa. Banyak kisah masa lalu maupun masa sekarang yang bisa menjadi bukti.


Selengkapnya...

Sunday, February 14, 2010

Kepolosan Anak-anak

Anak kecil itu memang polos. Berpikirnya sederhana. Karena sederhana, mereka cenderung untuk berkata jujur. Selain itu, mereka juga tidak bisa bermain dengan kata-kata. Kata-kata dari orang tua akan dipahami apa-adanya. Janganlah diharapkan mereka bisa melakukan analogi atau pengembangan terhadap apa yang kita sampaikan. Pernah saya mendapat pelajaran dari seorang psikolog bahwa "anak kecil itu bukan orang dewasa yang bertubuh kecil". Artinya, bahwa jangan berharap bahwa anak kecil itu bisa berpikir seperti orang dewasa.

Kisah saya berikut tentang anak kedua saya yang berumur 4 tahun, insya Allah, cukup menarik untuk diambil pelajaran.

Sejak beberapa waktu yang lalu kami melarang ada gambar atau patung hewan atau manusia di rumah. Terutama jika gambar itu di tempat-tempat yang terhormat seperti dinding, gordein, buku, dll. Masih kami bolehkan jika gambar itu berada di tempat-tempat yang hina seperti karpet, tikar, ataupun keset. Jika terpaksa harus ada gambar maka wajahnya kita rusak, misalnya ditutup wajahnya menggunakan spidol ataupun kertas.

Ternyata anak kedua saya itu, sebut saja AL, sangat konsisten dengan aturan kami ini. Suatu saat dia mendapat hadiah buku yang banyak gambar hewan dan manusianya. Tanpa kami perintah, dia langsung meminta kami untuk menutupi wajah semua gambar yang ada di dalam buku. Demikian juga waktu kami belikan sikat gigi baru. Dia langsung meminta menutup wajah gambar orang yang ada di gagang sikat gigi.

Hingga suatu saat kami belikan mainan kereta yang ada gambar wajahnya, yang disebut dengan Thomas dan Kawan-kawan. Dia membawa kereta-kereta itu ke mamanya dan bermaksud untuk meminta menutup wajah. Mungkin dia merasa kereta itu akan kehilangan identitas Thomasnya - artinya akan menjadi kereta mainan biasa - jika ditutup wajahnya, dia mengurungkan maksudnya dan berkata, "Tetapi, Ma, ini 'kan kereta bukan gambar orang. Jadi wajahnya tidak perlu ditutup. Kalau ini gambar orang maka wajahnya harus ditutup". Begitu kira-kira dia berkilah. Dengan menahan senyum, mamanya mengiyakan karena memang yang harus ditutup adalah gambar wajah orang atau hewan.

Suatu saat, agar tidak mengganggu kakaknya yang sedang belajar, dia diminta mamanya untuk menggambar. Awalnya dia menggambar sekenanya, hanya berupa coretan-coretan. Mamanya pun meminta menggambar orang biar sedikit ada wujudnya. Setelah beberapa saat, dia kembali ke mamanya dan berkata dia telah selesai menggambar orang. Yang ada di kertas tetap hanya berupa coretan-coretan sehingga mamanya menanyakan yang mana gambar orangnya. Dia menjawab bahwa itu adalah wajah orang yang sudah dicoret-coret (dihilangkan) wajahnya. Hehehe.... rupanya dia tetap ingat bahwa wajah gambar orang harus ditutup, atau?

Lain lagi cerita tentang musik. Kami melarang mendengarkan musik, termasuk menyanyi. Tetapi waktu itu kami berkata bahwa di rumah tidak boleh ada musik dan nyanyian.

Seperti biasa, dia diantar dan dijemput mamanya ke taman kanak-kanak. Suatu saat, selama perjalanan pulang dari taman kanak-kanak ke rumah dia menyanyi. Mamanya pun mengingatkan bahwa tidak boleh menyanyi. Dia pun menjawab bahwa dia sedang di luar jadi boleh menyanyi karena yang dilarang adalah menyanyi di rumah. Mamanya tidak bisa berkata apa-apa karena perkataan kami sebelumnya adalah "di rumah tidak boleh ada musik dan nyanyian", bukan dilarang dimana saja.

Lain si kecil dengan kepolosannya, lain pula dengan si besar, kakaknya yang sudah berumur 9 tahun. Pernah mereka berdua di tinggal di rumah oleh mamanya ke supermarket untuk belanja. Setelah pulang dan beristirahat beberapa saat, mamanya mendengar si kecil merengek-rengek ke kakak. Ternyata yang direngekkan si kecil adalah agar kakaknya mengajarinya nyanyian yang tadi dinyanyikan si kakak saat mama mereka masih belanja di supermarket. Kakaknya tidak berkutik dan tidak bisa mengelak saat diintegorasi mamanya tentang nyanyian itu. Karena kepolosannya, anak kecil itu memang tidak bisa berbohong.

Anak kecil itu memang polos. Kadang-kadang membikin orang tuanya dapat tertawa geli. Dan yang paling menguntungkan adalah mereka selalu berkata jujur.


Selengkapnya...

Friday, May 8, 2009

Mencontek

Seperti biasa, setiap malam anak saya (sebut saja Ham) belajar dengan ditemani Mamanya. Model yang diterapkan oleh Mamanya adalah dengan tebak-tebakan. Tebak-tebakan ini dilakukan setelah sebelumnya Ham diberi kesempatan untuk membaca buku. Namun ada yang janggal beberapa malam terakhir ini. Ham selalu duduk manis di lantai yang sama. Dan Ham selalu menjawab dengan tepat meskipun untuk beberapa pertanyaan dia berpikir beberapa saat sambil menunduk.

Ini hal yang aneh. Biasanya Ham selalu mendongakkan kepala saat berpikir. Usut punya usut, ternyata Ham sudah menuliskan materi yang akan ditanyakan di lantai tempat dia duduk. Jadi, saat Mamanya memberi kesempatan membaca, yang biasanya ditinggal sendirian, Ham mencatat hal-hal penting di lantai.

A'udzubillah min dzaalik. Tentu saja kami terkejut. Kami tidak pernah mengajarkan dia untuk melakukan seperti itu. Akhirnya, dengan sangat terpaksa kami bertanya ke Ham apakah dia melakukan hal yang sama saat ulangan. Alhamdulillah, dia belum pernah melakukan.

Tetapi, tanpa kami tanya, akhirnya dia cerita bahwa ada seorang temannya yang melakukan itu saat ulangan. Anak itu, sebut saja S, adalah anak pindahan di kelas 2a, kelasnya Ham. Dan memang semester ganjil kemarin, S mendapat ranking yang tinggi. Padahal dulu waktu kelas 1, anak ini termasuk anak yang tidak diterima di SD itu. Lebih mengejutkan lagi, Ham bercerita bahwa Ibu Guru tahu bahwa S mencontek tetapi membiarkan saja.

Kalau Ham berkata benar, tentu saja sangat disayangkan. Mereka baru anak kelas 2 SD. Tetapi mereka sudah diajari bahwa hasil lebih penting daripada proses. Nilai bagus lebih diutamakan daripada penguasaan pelajaran.

Dengan halus, akhirnya kami berkata ke Ham, bahwa kami tidak setuju Ham meniru anak itu, baik saat ulangan maupun saat belajar dengan Mama. Kami katakan juga bahwa kami lebih suka Ham mendapat nilai yang wajar dan ranking yang biasa asalkan dikerjakan sesuai kemampuan sendiri, daripada mendapat nilai yang bagus dan rangking yang tinggi tetapi dengan mencontek.

Semoga saja Ham memahami penjelasan kami.
Semoga Allah SWT membantu anak-anak kami dan anak-anak kita untuk selalu berjalan di atas kebenaran. Amien.....


Selengkapnya...

Wednesday, March 26, 2008

Ternyata Mengajak Bercanda

Percakapan pagi hari antara seorang ayah dan anaknya menjelang sekolah.
Ayah : "Mas, mandi. Cepat yuk, sudah siang nih"
Anak : "Aah, ayah. Masih mau nonton film"
Ayah : "Tetapi ini sudah siang, Mas. Nanti terlambat sekolah loh"
Anak : "Yaaah.... Tetapi cepat ya!"

Akhirnya, si anak mau mandi juga. Mungkin karena acara TVnya sedang iklan. Dengan segera si ayah memandikan. Karena tadi sudah janji untuk mandi dengan cepat, acara mandi itu bisa berakhir dengan cepat.
Anak : "Loh, kok mandinya cepat?" (Tanyanya dengan penuh rasa heran)
Ayah : "Tadi katanya ingin cepat?" (Balik tanya dengan tidak kalah heran)
Anak : "Oh, iya. Ha... ha... ha... "

Si anak berkata sambil tertawa. Si ayah tidak menyangka bahwa si anak akan tertawa, sehingga tidak ikut tertawa. Tetap dengan wajah datar.
Anak : "Kok ayah tidak ikut tertawa?" (sambil cemberut)
Ayah : "Lah, kenapa ayah harus tertawa?" (masih tidak menyadari)

Si anak pun lari sambil menangis dan merengek ke mamanya. Si mama bertanya kenapa menangis. Si anak pun mengadu bahwa ayah tidak ikut tertawa padahal dia tadi sedang menggoda si ayah. Si mama pun menyampaikan keheranannya ke ayah kenapa tertawa saja tidak mau.

Sambil berangkat mandi, si ayah juga berpikir kenapa tadi tidak ikut tertawa. Dalam hati berpikir apakah dia sudah kehilangan perasaannya sehingga tidak tahu kalau sedang diajak bercanda oleh si anak, karena memang tidak lucu. Setelah selesai mandi, si ayah minta maaf ke si anak.
Ayah : "Mas, sini.. Maaf, ya. Ayah tadi tidak tahu kalau diajak bercanda."
Anak : "Nggak mau!" (tetap dengan wajah cemberut)

Setelah agak lama barulah si anak mau memberi maaf.
Si ayah merasa menyesal juga. Mungkin dalam kasus tertentu, tidak apa-apalah kalau sedikit berpura-pura. Apalagi buat anak kecil seperti itu, yang sedang ingin bercanda dengan si ayah meskipun candaan itu mungkin tidak lucu buat si ayah.

Selengkapnya...

Wednesday, April 25, 2007

"Ada penyakit di Eskrim."

Cerita tentang anak memang tidak ada habisnya. Ada saja kejadian yang menarik kita, termasuk saya. Dan juga menarik untuk ditulis di blog ini :). Dan inilah ceritanya.

Sudah jadi kebiasaan kami, bahwa kami sangat selektif terhadap makanan. Karena kami berasumsi bahwa makanan berpengaruh terhadap perkembangan fisik, yang di antaranya adalah perkembangan otak. Sehingga makanan yang mengandung zat-zat yang berbahaya, kami cegah untuk tidak masuk ke tubuh anak-anak kami. Misalnya zat pewarna tekstil, pengawet makanan, dan pemanis buatan. Karena menyesuaikan dengan bahasa anak, kami menggunakan istilah "ada penyakit" untuk menyebutkan makanan yang mengandung zat-zat berbahaya tersebut.

Untuk makanan yang menyebutkan bahan-bahan pembuatnya, tugas kami menjadi sedikit lebih ringan. Kami cukup menunjukkan bahan-bahan mana yang kami sebut sebagai "ada penyakit" tadi. Karena anak kami sudah bisa membaca, akhirnya anak kami tersebut sudah dapat memilih makanan yang aman. Dia tinggal mengecek apakah ada bahan makanan yang berbahaya, yang sudah kami sebutkan. Kalau ada bahan yang aneh, yang belum dia lihat, biasanya dia langsung menanyakan ke kami. Alhamdulillah, anak kami cukup konsisten dengan hal ini.

Sampai suatu hari, anak kami dikasih tahu temannya yang bernama Nik. Sambil berteriak dari rumahnya, Nik bilang, "Mas, katanya mamaku, eskrim itu ada penyakitnya lho", sambil menyebutkan jenis dan merek eskrim tersebut. Anak kami yang sudah sering makan eskrim tersebut menjadi kaget. Juga sambil berteriak dari rumah, anak kami dengan yakin bilang bahwa eskrim tersebut tidak ada penyakitnya karena dia sudah baca sendiri bahan makanan yang terkandung di dalam eskrim tersebut.

Memang istilah "ada penyakit" sudah digunakan anak kami ke teman-temannya. Sehingga istilah tersebut sudah terbiasa dipakai untuk menyatakan bahan makanan berbahaya.

Akhirnya, adu mulut pun terjadi, mempertahankan pendapatnya. Anak kami tetap pada pendapatnya karena sudah baca sendiri. Sedangkan si Nik mempertahankan pendapatnya karena mamanya yang ngasih tahu.

Isteri saya yang berada di dalam rumah tidak berani keluar karena pada saat itu mama si Nik ada di situ. Padahal anak kami sudah sampai bilang bahwa mama Nik berbohong. Artinya, anak kami berani bilang bahwa mama Nik bohong di depan orang yang dimaksud.

Bingung juga kami menjelaskan. Karena esok harinya, anak kami minta dibelikan eskrim yang dimaksud untuk membuktikan bahwa dia benar. Setelah kami belikan, dengan menyebutkan satu-persatu ke kami, anak kami menanyakan apakah ada bahan yang berbahaya. Dengan yakin pula, kami menjawab, memang tidak ada satupun dari bahan yang disebutkan tadi, terdapat bahan berbahaya.

Benar-benar bingung, bahan mana sih yang menurut mama Nik adalah berbahaya?

Selengkapnya...

Monday, January 8, 2007

"Mama N bohong"

Pulang dari kantor memang sudah terlalu sore. Atau lebih tepatnya sudah petang. Capek, sih. Namun biasanya, masih saya sempatkan untuk bermain dengan anak pertama saya sambil ngobrol. Namun saat itu, bukan anak saya yang cerita, tetapi isteri saya. Isteri saya cerita tentang anak saya, tentang apa yang disampaikan anak saya tadi siang.

Siang tadi, anak saya bermain dengan anak tetangga. Sebut saja bernama N. N ini lebih muda 1.5 tahun dibandingkan dengan anak saya. Siang itu mereka bermain dengan riang. Berbagai permainan sudah mereka lakukan sampai waktu lewat jam 12 siang. Datanglah mama N mau mengajak anaknya pulang.

"N, pulang yuk. Kita mau pergi ke rumah Eyang (kakek/nenek)". Begitulah apa yg disampaikan mama N, mungkin bertujuan untuk membuat anaknya mau pulang. Maka pulanglah si N.

Ditinggal temannya, anak saya agak sedikit kecewa, belum puas dengan permainan mereka. Dia pun berdiri dekat jendela yang menghadap jalan. Karena rumah saya dan rumah keluarga N dekat, kami bisa melihat keluarga N jika keluar dari rumah lewat jendela tersebut. Mungkin anak saya ingin memastikan bahwa keluarga N akan pergi.

Setelah lama ditunggu, ternyata keluarga N tidak keluar. Anak saya tahu pasti bahwa N tidak pergi ke rumah Eyangnya. Sambil uring-uringan, anak saya bilang ke mamanya. Kira-kira seperti ini apa yang disampaikan:
"Ma, ternyata mama N bohong. Katanya mau pergi. Ternyata mereka tidak kemana-mana. Mama N bohong. Wong sudah besar, kok bohong ya, Ma? Anak kecil saja tidak boleh bohong. Tetapi kalau orang besar boleh bohong. ".
Isteri saya kaget juga mendengar ungkapan hati tersebut. Ungkapan dari seorang anak yang berumur 5 tahun. Dan isteri saya tidak bisa berucap apa-apa untuk membela "orang besar".

Selama ini, memang kami berusaha untuk mengajarkan kejujuran terhadap anak saya. Dan kami sendiri berusaha untuk jujur dan menepati janji. Jangan heran kalau kami lebih suka membiarkan anak saya menangis meminta sesuatu yang tidak bisa kami penuhi, daripada berjanji memenuhi yang kami sendiri tidak merasa yakin mampu memenuhi permintaanya. Meskipun janji yang kemungkinan kosong tersebut bisa membikin anak saya berhenti menangis.

Kalau kami tidak memenuhi janji, yang terbayang di anak saya bukan masalah janjinya, tetapi kebohongan kami. Itulah masalah terbesarnya, yang pada akhirnya hilanglah kepercayaan anak saya terhadap kami sebagai orang tua. Kalau anak saya tidak percaya ke kami, siapa lagi yang bisa dia percaya selain orang-orang di luar rumah kami tentunya.

Selengkapnya...