Tuesday, January 23, 2007

Daging (lagi) 'Sapi'

Yang saya ceritakan ini adalah kejadian yang dihadapi isteri saya langsung, bukan dari TV, yang telah memberitakan hal yang sama beberapa waktu lalu. Terjadi di kampung halaman isteri saya, di kota kecil yang bernama Magetan. Kejadian ini sudah berlangsung lama, mulai dari isteri saya masih SD sampai sekarang.

Salah seorang tetangga orang tua isteri saya memiliki profesi sebagai penjual daging, yang sekaligus memiliki tempat pemotongan sendiri. Tetangga itu adalah muslim, dan tinggal di lingkungan muslim juga.

Daging yang biasa mereka jual biasanya tidak dipasarkan di kampung kami, melainkan ke luar kampung. Seluruh tetangga tahu bahwa sebagian besar daging yang dijual adalah daging babi. Karena mereka muslim, tentunya tidak mau membeli daging dari tetangga tersebut, yang selanjutnya saya panggil sebagai Bu X.

Bu X mencampur daging babi itu dengan daging sapi. Sebelum dicampur, daging-daging babi itu dilumuri dengan darah agar terlihat merah seperti daging sapi. Meskipun begitu, tetangga tetap tahu karena mereka tidak mungkin menyembunyikan babi-babi hidupnya yang belum disembelih. Maka kemungkinannya hanya satu, dijual di luar kampung.

Bagi muslim, sudah jelas tertulis dalam Kitab Suci-nya bahwa memakan daging babi itu dilarang. Dan muslim juga meyakini bahwa ajaran muslim itu sebenarnya untuk semua umat manusia. Artinya, kalau seorang muslim dilarang makan daging babi maka dia juga dilarang memberikan daging babi ke orang lain untuk dikonsumsi, apapun agamanya. Kalau memberi saja dilarang, maka menjual pun dilarang.

Lebih parah lagi kalau menjualnya tidak terang-terangan, artinya tidak pernah menyebutkan bahwa daging yang dijual itu adalah daging babi. Dan jauh lebih parah lagi, jika daging itu disebutkan sebagai daging sapi.

Selengkapnya...

Daging Korban

Rekan kerja, yang juga tetangga beda RT, berkunjung ke tempat saya. Sebut saja Pak T. Seperti biasa, kunjungan ini hanya dalam rangka silaturahmi saja. Meskipun begitu, ternyata obrolan yang terjadi sangat luas, mulai dari masalah di tempat kerja sampai kegiatan di kampung. Kegiatan terakhir di kampung, dengan Pak T ini sebagai salah satu panitianya, adalah mengelola binatang korban. Kegiatan ini sebagai bagian dari acara keagamaan dalam Agama Islam pada hari besar Idul Adha.

Saat isteri saya menghidangkan minuman, Pak T bertanya ke isteri saya, "Daging korbannya dimasak apa, Bu?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, kami kaget karena kami merasa tidak mendapat daging korban. Sebelum mendapat pertanyaan dari Pak T ini kami sebenarnya biasa-biasa saja waktu tidak mendapat daging korban. Apalagi pemahaman kami selama ini daging korban hanya diberikan ke keluarga tak mampu. Dan Alhamdulillah, kami sudah cukup mampu sehingga tidak perlu mendapat daging korban.

Tetapi dari Pak T, saya mendapat pemahaman baru bahwa sebenarnya yang berhak mendapat daging korban tidak hanya keluarga yang tidak mampu. Kalau semua keluarga tidak mampu sudah mendapat daging korban, keluarga yang tergolong mampu pun akan mendapatkannya.

Sebagai panitia, Pak T mengetahui dengan pasti bahwa nama saya terdaftar sebagai penerima daging korban. Pak T sendiri sudah menanyakan ke pelaksana pembagian daging korban apakah saya sudah mengambil daging korban karena sampai sore saya tidak terlihat. Waktu itu kami memang jalan-jalan ke Galeria Mall, memberi kesempatan anak saya untuk main. Pak T mendapat jawaban bahwa daging korban saya sudah diambilkan oleh seseorang.

Tentu saja kami bertambah kaget. Kami tidak menerima daging korban tersebut. Tambahan lagi, pagi harinya kami tidak mendapat surat untuk pengambilan daging korban. Kalau kami mendapat surat itu, pasti kami akan mengambilnya.

Jika ada keterangan yang berbeda seperti kasus itu, ada 2 kemungkinan, salah satu bohong atau semuanya bohong. Ada 3 kemungkinan pelaku dan kebohongan yang dilakukan:
  • Saya dan isteri, sebenarnya sudah dapat tetapi bilang tidak dapat
  • Orang yang mengambilkan, mengambilkan ternyata diambil sendiri
  • Panitia pelaksana, sebenarnya belum ada yang mengambil

Dan Alhamdulillah, saya dan isteri saya tidak berbohong.

Daging korbannya sendiri bukan hal yang penting buat saya. Yang menjadi pertanyaan penting buat saya, dalam acara ritual keagamaan saja masih ada yang tidak jujur. Apalagi dalam acara korban seperti itu, yang memegang amanat dari orang-orang yang telah menyerahkan binatang korban. Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan yang lain?

Selengkapnya...

Monday, January 22, 2007

SIM Buat Spongebob

Sambil menemani anak pertama - yang masih duduk di bangku TK - sedang sarapan pagi, saya ikut menonton TV. Acara yang kami tonton pada pukul 06 pagi adalah film seri kartun berjudul SPONGEBOB SQUAREPANTS. Terjemahan bebas dari judul film tersebut adalah Spongebob Si Celana Kotak. Bagi yang pernah menonton dalam Versi Bahasa Jerman, judulnya diterjemahkan menjadi SPONGEBOB SCHWAMPKOPF (Spongebob Si Otak Cerdas).

Saya tidak tahu apakah episode yang saya ceritakan ini memang oleh penulisnya ditujukan untuk memuat pesan moral. Pesan moral yang saya tangkap, yang kebetulan berkaitan dengan blog saya.

Ceritanya berawal dari keinginan Spongebob untuk bisa mengendarai mobil, atau tepatnya kapal, karena Spongebob hidup di dasar laut yang bernama Bikini Bottom. Selanjutnya Spongebob mengikuti kursus milik Nyonya Puff (semoga penulisannya benar). Mungkin sudah aturan di Amerika Serikat, tempat film kartun Spongebob dibuat, bahwa yang mengeluarkan SIM Kapal adalah guru yang mengajar di tempat kursus. Tentunya SIM bisa diberikan setelah lulus test yang diadakan oleh guru tersebut.

Setelah mengikuti kursus beberapa kali, yang setiap kursus selalu diakhiri dengan test, Spongebob tidak pernah lulus. Test mengendarai kapal ini terdiri dari 2 jenis test, test tulis dan test praktik mengemudi. Test praktik mengemudi adalah test yang paling berat buat Nyonya Puff. Setiap kali test mengemudi, Nyonya Puff harus duduk di samping pengemudi, dengan pengemudi tentunya adalah Spongebob. Saya sebut berat karena test selalu berakhir dengan kecelakaan yang berat, yang mengakibatkan Nyonya Puff harus dirawat di Rumah Sakit.

Mungkin karena sudah bosan mengalami kecelakaan, Nyonya Puff berusaha untuk meluluskan Spongebob. Agar Spongebob tidak curiga, Nyonya Puff berkata bahwa kelulusan test hanya bisa didasarkan pada test tulis. Test tulisnya pun dibuat sangat mudah dengan 1 pertanyaan, yaitu 'Sebutkan apa yang diperoleh Spongebob selama mengikuti kursus?'. Meskipun Spongebob tidak bisa menjawab, Nyonya Puff tetap meluluskan Spongebob, yang artinya Spongebob mendapatkan SIM.

Nyonya Puff sadar bahwa sebenarnya dia telah berbohong. Yang lebih mengerikan, ia sadar bahwa sebenarnya dia telah menciptakan monster dengan kebohongan itu, monster jalanan. Untuk menutupi rasa bersalah, Nyonya Puff menghibur diri bahwa itu tidak mungkin karena Spongebob tidak punya kapal. Baru saja berpikir seperti itu, orang tua Spongebob datang untuk mengucapkan terima kasih dan sekaligus memberi kabar tentang hadiah kapal baru yang diberikan ke Spongebob.

Nyonya Puff benar-benar sadar bahwa dia telah menciptakan monster. Agar tidak terjadi, Nyonya Puff berencana untuk mencuri kapal Spongebob. Namun, saat mencuri, Nyonya Puff ketahuan dan tertangkap. Akhir cerita, Nyonya Puff dipenjara.

Ada bagian yang tidak bisa saya ceritakan di tulisan ini karena sulit digambarkan dengan kata-kata. Lebih seru kalau menonton filmnya langsung. Misalnya, bagaimana bayangan-bayangan jelek yang akan terjadi jika Spongebob berada di jalanan, dan serunya perebutan kapal antara Nyonya Puff dan Spongebob. Semuanya berawal dari ketidak-jujuran Nyonya Puff.

Selengkapnya...

Virus Kepalsuan

Tulisan ini saya sadur dari Kolom Analisis, harian Kedaulatan Rakyat, yang dimuat pada tanggal 22 Januari 2007. Tulisan tersebut ditulis oleh Bambang Purwoko, dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM, Yogyakarta. Kalau apa yang dilansir Pak Bambang ini benar adanya, sudah saatnya kita melakukan introspeksi.

Virus Kepalsuan
Oleh: Bambang Purwoko

Ada banyak cara untuk melihat watak dan perilaku masyarakat Indonesia. Film dan sinetron adalah salah satunya. Jika film dan sinetron kita lebih banyak berisi adegan kebohongan, sedangkan penonton pun senang dan menikmatinya, berarti kita hidup di tengah masyarakat penikmat kepalsuan. Atau bahkan diri kita adalah bagian dari kepalsuan itu. Penyakit akut virus kepalsuan sudah menjalar di mana-mana.

Kepalsuan dan kebohongan menjadi watak kehidupan di hampir semua bagian. Banyaknya kecelakaan mengerikan pada sarana transportasi massal dalam beberapa tahun terakhir adalah produk dari kepalsuan. Pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus kota, angkutan kota, dan sarana transportasi lain banyak yang sudah tidak layak jalan. Tetapi lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas tidak hirau dengan masalah itu. Surat izin kelayakan tetap saja dikeluarkan. Surat izin kelayakan palsu, tentu saja. Negara mengalami impotensi dan tidak mampu melindungi masyarakat dari bobroknya sistem dan sarana tranportasi. Negara juga impoten di bidang yang lain.

Gaya hidup modern, pertumbuhan ekonomi, bahkan perilaku religius pun ditampilkan penuh kepalsuan. Di bidang politik, kepalsuan terjadi secara lebih menggila lagi. Pembuatan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, sampai ke Peraturan Menteri adalah contoh betapa kepalsuan telah merasuk di level elite sehingga berdampak pada semakin rusaknya kehidupan masyarakat.

Dalam bayangan kita sebagai masyarakat awam, UU, PP, atau Peraturan Menteri adalah kebijakan publik yang dibuat berdasarkan norma-norma ideal untuk kepentingan masyarakat. Para pembuat kebijakan diasumsikan adalah mereka yang memiliki kepribadian dan orientasi yang selalu didedikasikan untuk rakyat. Padahal kenyataannya tidaklah demikian. Undang-undang, PP, dan sejenisnya adalah produk permainan dan rebutan kepentingan ekonomi politik para elite. Peraturan perundang-undangan lebih banyak dibuat berdasarkan kepentingan dan kebutuhan para pembuatnya. Bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Munculnya isu dan pelicin Rp. 2,5 M dari Asosiasi DPRD untuk memuluskan pasal 'rapelan' dalam penyusunan PP 37/2006 sebenarnya bukanlah hal yang mengagetkan. Selama ini, proses penyusunan UU selalu sarat dengan tudingan jual beli pasal. Masyarakat sudah lama tahu bahwa harga atau biaya pengesahan sebuah pasal dalam UU bisa mencapai jutaan rupiah untuk satu anggota legislatif. Artinya, biaya pembuatan UU mulai dari proses penyusunan, pembahasan sampai pengesahan bisa mencapai puluhan miliar rupiah. Terkatung-katungnya proses penyusunan dan pembahasan RUU Keistimewaan DIY selama bertahun-tahun, bisa jadi, juga disebabkan oleh tidak kuatnya dukungan anggaran bagi RUU tersebut.

Biaya yang besar dalam pembuatan Undang-undang mengindikasikan dua hal penting. Pertama, para pembuat kebijakan menganggap bahwa pembuatan UU adalah sebuah proyek yang bisa dimanipulir untuk meraup keuntungan finansial, baik untuk pribadi maupun kelompok politiknya. Kedua, karena titik berat orientasi pembuatan UU lebih pada keuntungan finansial, perhatian terhadap substansi materi dan kebutuhan masyarakat sebagai subjek yang diatur tidak dianggap sebagai hal penting.

Adalah keliru kalau kita membayangkan bahwa mereka yang berada di pusat kekuasaaan (baik eksekutif maupun legislatif) adalah mereka yang peduli kepada rakyat. Juga keliru kalau orang daerah berharap bahwa pejabat-pejabat di Jakarta adalah meereka yang selalu memikirkan dan bekerja untuk memajukan daerah. Walaupun bekerja di Departemen atau Direktorat yang mengurusi daerah, mereka bahkan tidak sepenuhnya paham berbagai persoalan di daerah. Apalagi berpikir dan bertindak untuk memajukan daerah.

Anggota legislatif di pusat kebanyakan hanya sibuk mengurusi masalah-masalah yang sekiranya membawa keuntungan bagi dirinya selama masa kerjanya yang lima tahun, atau membawa keuntungan jangka panjang bagi partainya. Beberapa teman anggota DPR mengeluhkan kinerja koleganya secara umum. Baik karena alasan sistemik ataupun karena keterbatasan individu. Sebagian besar anggota DPR tidaklah bekerja untuk rakyat. Mereka sibuk dengan urusan-urusan sendiri.

Bagaimana kita harus menyikapi masalah-masalah ini? Pastilah kita sepakat bahwa virus kepalsuan harus diberantas tuntas. Tetapi, darimana harus mulai? Tidak ada solusi yang mudah untuk jangka pendek. Penguatan kesadaran politik rakyat menjadi salah satu aspek penting. Kalau politisi-politisi kita di lembaga legislatif tidak berpihak kepada rakyat, solusinya ya jangan pilih partainya. Bagaimana dengan mereka yang duduk sebagai pejabat di departemen-departemen pemerintah? Kita hanya berharap bahwa presiden (dan para stafnya yang kompeten dan berdedikasi pada semua level) bisa segera merealisir janjinya untuk bersikap lebih tegas lagi dalam manajemen pemerintahan dan pelayanan publik.

Selengkapnya...

Friday, January 19, 2007

Politisi, Peneliti, dan Dosen

Apa sih perbedaan antara Politisi, Peneliti, dan Dosen? Salah satu dosen saya, waktu masih kuliah S1, menjawab dengan tegas. Menurut beliau, perbedaan antara ketiga profesi itu adalah:
  • Politisi : boleh salah dan boleh bohong
  • Peneliti : boleh salah, tetapi tidak boleh bohong
  • Dosen : tidak boleh salah, dan tidak boleh bohong.
Yang dimaksud oleh dosen saya tadi, tentunya berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan, bukan pada individu-individunya. Di luar pekerjaannya, sah-sah saja setiap individu melanggar jawaban dosen saya tadi.

Saya tidak akan mengulas tentang politisi lebih detail karena saya tidak kenal profesi tersebut. Tetapi kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Sebagai contoh dalam kondisi perpecahan antar golongan. Agar bisa mendamaikan, besar kemungkinan seorang politisi harus berbohong. Istilah politis-nya bermuka 12. Pada satu golongan, dia harus berpura-pura seolah-olah mendukung, atau setidak-tidaknya simpati agar bisa diterima. Kalau tidak, pasti akan ditolak mentah-mentah. Demikian juga pada golongan lain. Setelah semua golongan menerima, proses pendamaian baru bisa dilakukan.

Dalam hal berbuat salah, politisi pun diperbolehkan. Sering kita dengar istilah salah kebijakan. Seorang politisi, sesuai dengan posisinya, memang bisa salah dalam membuat kebijakan. Kesalahan itu tidak bisa dianggap sebagai kesalahan hukum sehingga tidak bisa dihukum. Dan politisi berhak untuk bilang 'bisa diperbaiki tahun depan' atau 'jangan serahkan posisi yang sama ke saya lagi'.

Saya tidak tahu, atau dalam kapasitas yang sesuai, untuk menilai apakah kedua sifat itu baik. Yang bisa saya pastikan hanyalah bahwa sifat itu jelek jika selalu dibawa politisi di mana pun dia berada, di luar aktifitas sebagai politisi.

Sebelum dibahas lebih jauh, perlu saya tekankan bahwa kata yang digunakan untuk membedakan ketiga profesi tersebut adalah boleh dan tidak boleh. Boleh bukan berarti harus. Boleh berbohong, misalnya, bukan berarti harus selalu berbohong. Sedangkan tidak boleh berarti harus dihindari.

Profesi beriktunya adalah peneliti. Buat peneliti memang bisa saja berbuat salah. Misalnya karena kesalahan prediksi (hipotesa) atau teori yang dipakai. Namun, seorang peneliti dituntut untuk menyampaikan hasil penelitiannya apa adanya, tidak boleh bohong dan tidak ada yang disembunyikan, meskipun hasilnya salah. Apapun hasil penelitian, baik salah maupun benar, pasti ada manfaatnya, terutama buat penelitian selanjutnya atau penelitian lainnya.

Yang akan saya sampaikan adalah contoh yang berkaitan dengan hal itu. Seorang mahasiswa meneliti hubungan antara lama kerja polisi dengan kadar karbonmonoksida dalam darah. Karbonmonoksida adalah gas buangan dari kendaraan bermotor. Dugaan awal, memang ada kaitan positif antara kedua variabel, dengan asumsi karena sudah lama bekerja, polisi banyak menghirup udara yang terpolusi dengan karbonmonoksida. Asumsi yang logis. Namun, setelah dilakukan penelitian, ternyata tidak selalu demikian. Artinya, dugaan awal adalah salah.

Meskipun salah, tetapi kalau disampaikan apa adanya, penelitian berikutnya dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Misalnya menambah variabel yang lain. Atau justeru dapat meneliti adanya kemungkinan penetralisir karbonmonoksida dalam darah, misalnya dari makanan/minuman yang dikonsumsi atau olahraga/gerak yang dilakukan oleh polisi.

Yang paling berat, adalah profesi dosen. Seorang dosen memang tidak diperbolehkan memberikan materi yang salah. Alasannya sederhana, jika materi yang disampaikan salah maka kesalahan tersebut akan dapat melekat terus ke anak didik.

Salah saja tidak boleh, apalagi berbohong karena berbohong akan menghasilkan materi yang salah. Misalnya, materi yang benar bilang bahwa 'binatang sapi memiliki 4 kaki'. Sebenarnya dosen menguasai materi tersebut, tetapi kemudian dosen berbohong dan bilang bahwa 'binatang sapi memiliki 3 kaki'. Jelas hasilnya akan berbeda dan salah.

Contoh yang lain, dosen sebenarnya tidak tahu, baik dari buku maupun pengamatan langsung tentang jumlah kaki binatang kaki seribu. Kemudian ditanya anak didik. Karena malu dianggap tidak bisa, dosen tersebut menjawab sekenanya. Ada 2 kemungkinan, jawaban dosen tersebut benar atau salah. Kalau benar, bisa jadi tidak apa-apa. Kalau salah, bisa memalukan anak didiknya kalau ditanya orang lain. Bahkan kemungkinan salahnya lebih besar dari kemungkinan benarnya. Bukankah lebih baik kalau dijawab 'tidak tahu' atau 'belum menemukan referensi'?

Meskipun paling berat, ternyata dosenlah yang paling beruntung. Dalam profesinya, seorang dosen bisa dipastikan juga seorang peneliti. Dan kedua profesi tersebut menuntut untuk tidak berbohong. Artinya, sebagian besar waktu dosen diharuskan untuk berkata sejujurnya.

Kalau boleh saya perinci, keuntungan yang dimiliki oleh dosen adalah
  1. Mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk tidak berbohong karena waktu luang di luar kerja (setelah dikurangi waktu tidur) lebih sedikit dibandingkan waktu kerja.
  2. Mempunyai kesempatan berlatih berkata jujur. Latihan apapun jika dilakukan dengan benar akan membuat penguasaannya menjadi sempurna.


Jadi, saya ucapkan selamat buat orang-orang yang memiliki profesi sebagai dosen, termasuk bapak dan ibu guru. Semoga kesempatan latihan yang diberikan benar-benar bisa meningkatkan penguasaan, yang pada akhirnya dapat diterapkan di kehidupan di luar waktu kerja.

Namun, itu berlaku jika dosen (guru) menyadari sepenuhnya tentang profesi dosen.

Selengkapnya...

Wednesday, January 10, 2007

Kancil dan Anjing

Barusan anak pertama saya menunjukkan buku-buku yang dia beli di sekolah. Kalau bisa disebut sebagai 'beli' karena anak saya belum bayar. Memang kadang-kadang anak saya membeli buku di counter buku sebuah penerbit yang ditempatkan di sekolah. Mereka mengijinkan anak-anak untuk membeli buku dengan pembayaran ditunda keesokan harinya. Contohnya adalah anak saya yang memang tidak mungkin kami beri uang saku, yang besarnya cukup untuk membeli sebuah buku sekalipun. Kami biarkan anak saya melakukan itu, dengan tujuan agar senang membaca buku, apalagi jika dia sendiri yang memilih dan membelinya. Dan juga kalau misalnya kami tidak cocok, buku tersebut bisa dikembalikan keesokan harinya.

Salah satu buku yang dia beli berjudul "Dongeng sebelum tidur". Sesuai dengan judulnya buku ini berisi dongeng-dongeng untuk pengantar tidur. Sebagian dongeng-dongeng tersebut pernah dibacakan ayah saya waktu saya masih kecil. Yang menarik perhatian saya saat ini adalah dongeng fabel tentang kancil, khususnya yang berjudul Kancil dan Anjing.

Ringkasan dari cerita tersebut adalah sebagai berikut:
Pak Tani berhasil menangkap kancil, yang beberapa hari ini telah mencuri mentimun-mentimun di kebunnya. Kancil itu dikurung di sebuah sangkar, dan rencananya akan disembelih untuk dimasak sate. Maka pergilah Pak Tani ke pasar untuk membeli bumbu-bumbu.
Saat Pak Tani pergi, datanglah anjing ke tempat kancil dikurung. Karena heran, si anjing bertanya kepada kancil kenapa dia berada di sangkar. Maka berkatalah si kancil: "Apakah engkau tidak tahu bahwa saya akan dijadikan menantu Pak Tani. Dan saat ini Pak Tani sedang mempersiapkan pesta perkawinan saya dengan anaknya itu".
Selanjutnya terjadilah percakapan yang seru akibat perkataan si kancil tersebut. Si anjing merasa bahwa dia lebih berhak menjadi menantu Pak Tani karena sudah lama bekerja membantu di situ, dan meminta si kancil agar dia dapat memberikan posisinya. Tentunya si kancil tidak akan mudah melepaskan posisinya. Tetapi karena terus didesak, akhirnya si kancil merelakan tempatnya.
Si kancil dilepas oleh si anjing, sedangkan si anjing masuk sangkar. Saat Pak Tani pulang, terkejutlah dia melihat bahwa si kancil telah hilang dan digantikan oleh si anjing. Akhir cerita, si kancil gembira karena terbebas dari kematian, sedangkan si anjing mendapat hukuman dari Pak Tani.

Memang banyak nasehat yang diberikan oleh dongeng tersebut, yang diharapkan dapat diserap oleh anak-anak yang mendengar dan membacanya. Namun, jika tanpa diarahkan oleh buku/orang tua, mana yang akan ditiru oleh anak-anak, kancil atau anjing? Dilihat dari akhir cerita, pasti anak-anak akan meniru kancil karena hanya kancil yang bahagia. Namun, tindakan kancil yang manakah sebenarnya pantas untuk ditiru? Mencurinya? Tentunya tidak. Jelas-jelas mencuri itu tidak baik. Tanpa memandang agama, semua orang pasti setuju. Atau kecerdikannya? Mungkin ini jawaban yang benar. Tetapi kalau kecerdikan itu digunakan untuk membohongi orang lain? Menurut saya, lebih baik jangan ditiru.

Selengkapnya...

Monday, January 8, 2007

"Mama N bohong"

Pulang dari kantor memang sudah terlalu sore. Atau lebih tepatnya sudah petang. Capek, sih. Namun biasanya, masih saya sempatkan untuk bermain dengan anak pertama saya sambil ngobrol. Namun saat itu, bukan anak saya yang cerita, tetapi isteri saya. Isteri saya cerita tentang anak saya, tentang apa yang disampaikan anak saya tadi siang.

Siang tadi, anak saya bermain dengan anak tetangga. Sebut saja bernama N. N ini lebih muda 1.5 tahun dibandingkan dengan anak saya. Siang itu mereka bermain dengan riang. Berbagai permainan sudah mereka lakukan sampai waktu lewat jam 12 siang. Datanglah mama N mau mengajak anaknya pulang.

"N, pulang yuk. Kita mau pergi ke rumah Eyang (kakek/nenek)". Begitulah apa yg disampaikan mama N, mungkin bertujuan untuk membuat anaknya mau pulang. Maka pulanglah si N.

Ditinggal temannya, anak saya agak sedikit kecewa, belum puas dengan permainan mereka. Dia pun berdiri dekat jendela yang menghadap jalan. Karena rumah saya dan rumah keluarga N dekat, kami bisa melihat keluarga N jika keluar dari rumah lewat jendela tersebut. Mungkin anak saya ingin memastikan bahwa keluarga N akan pergi.

Setelah lama ditunggu, ternyata keluarga N tidak keluar. Anak saya tahu pasti bahwa N tidak pergi ke rumah Eyangnya. Sambil uring-uringan, anak saya bilang ke mamanya. Kira-kira seperti ini apa yang disampaikan:
"Ma, ternyata mama N bohong. Katanya mau pergi. Ternyata mereka tidak kemana-mana. Mama N bohong. Wong sudah besar, kok bohong ya, Ma? Anak kecil saja tidak boleh bohong. Tetapi kalau orang besar boleh bohong. ".
Isteri saya kaget juga mendengar ungkapan hati tersebut. Ungkapan dari seorang anak yang berumur 5 tahun. Dan isteri saya tidak bisa berucap apa-apa untuk membela "orang besar".

Selama ini, memang kami berusaha untuk mengajarkan kejujuran terhadap anak saya. Dan kami sendiri berusaha untuk jujur dan menepati janji. Jangan heran kalau kami lebih suka membiarkan anak saya menangis meminta sesuatu yang tidak bisa kami penuhi, daripada berjanji memenuhi yang kami sendiri tidak merasa yakin mampu memenuhi permintaanya. Meskipun janji yang kemungkinan kosong tersebut bisa membikin anak saya berhenti menangis.

Kalau kami tidak memenuhi janji, yang terbayang di anak saya bukan masalah janjinya, tetapi kebohongan kami. Itulah masalah terbesarnya, yang pada akhirnya hilanglah kepercayaan anak saya terhadap kami sebagai orang tua. Kalau anak saya tidak percaya ke kami, siapa lagi yang bisa dia percaya selain orang-orang di luar rumah kami tentunya.

Selengkapnya...